Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ada Ruko Gosong Yang Ditinggal Pemiliknya

Bekas Kerusuhan Mei 1998 Masih Bisa Dilihat

Senin, 18 Mei 2015, 09:52 WIB
Ada Ruko Gosong Yang Ditinggal Pemiliknya
Ruko Aria Plasa yang terbakar pada kerusuhan Mei 1998/net
rmol news logo Nana, terlihat sibuk menyeduhkan kopi maupun mie kepada pelanggannya di sebuah warung, komplek ruko Aria Plasa, Jalan Gatot Subroto, Jatake Kota Tangerang. Setiap pagi, baik tukang ojeg maupun warga sekitar, ramai mendatangi warung semi permanen ini.

Ukuran warung milik Nana tidak besar, hanya 2x1 meter. Namun, dia menambahkan spot meja dan kursi seadanya untuk menampung hingga lima pen­gunjung. Nana sudah berjualan nyaris 20 tahun, pelanggan tetap­nya pun cukup lumayan.

Menjelang siang, warung mulai sepi. Nana duduk bersantai sambil menikmati segelas kopi. Pandangannya, mengarah ke­pada ruko-ruko yang berbaris dibelakang warungnya. Dua buah ruko, terlihat gosong, tidak terurus. Kaca-kaca di lantai dua dan tiga pecah, pagar besi tergembok menutup di lantai dasar yang menjadi satu-satunya akses masuk.

"Dari kerusuhan Mei 1998 ngga pernah diisi lagi. Ngga tahu yang punya kemana," ujar Nana.

Ingatan pria asal Kuningan, Jawa Barat itu langsung mundur ke tahun 1998. Tepatnya, tanggal 14-15 Mei. Dua hari itu bukan hari biasa, sekalipun lewat 17 tahun, ingatan Nana masih jelas akan peristiwa tragis yang terjadi di daerah itu.

Mulai dari 12 Mei 1998, Nana saat itu ingin pulang ke kampung halaman di Kuningan. Perasaannya selalu membawa kem­bali kepada istri dan anaknya. Sayang, Nana tidak kunjung mendapat bus. Terminal sepi, tidak ada yang berani beroperasi. Nana pun kembali ke warung. Dia, hidup dan mencari penghidupan di warung itu.

Saat itu, suasana politik di ibu­kota sedang panas. Demonstrasi menuntut turunnya rezim Orde Baru terus bergulir. Di Universitas Trisakti, empat mahasiswa meninggal dunia akibat ditembak saat berdemonstrasi. Keempat mahasiswa tersebut yakni Hendriawan Sie, maha­siswa jurusan manajemen; Hery Hartanto, teknik mesin; Elang Mulya Lesmana, arsitektur; dan Hafidhin Royan, teknik sipil.

Semakin hari suhu politik Jakarta semakin memanas. Bahkan, warga mulai ikut turun ke jalan. Mulai membantu maha­siswa dari gang-gang sempit, hingga melakukan penjarahan di sejumlah pusat perbelanjaan kota. Panasnya suhu politik ibukota ternyata merembet ke Tangerang. Termasuk area tem­pat Nana berjualan. Di belakang warung milik Nana, berjejer ruko-ruko yang memang ke­banyakan milik keturunan etnis Tionghoa.

Tiga hari berselang, tepatnya tanggal 15 Mei. Nana yang tinggal di dalam warung tidak beranjak kemana-mana. Pagi hari, suasananya berbeda. Sunyi sepi. Dia pun enggan membuka warung. Benar saja, tiba-tiba ratusan datang dari arah barat. Saat itu, nama jalan tempat Nana berjualan masih dinamai Jalan Raya Serang. Pasalnya, jalan itu menjadi akses penghubung Tangerang dengan Serang.

Warga kampung Jatake, daerah sekitar warung mulai mengetuk-ngetuk ruko-roko yang berada di belakang Warung Nana. Termasuk Nana, diminta untuk meninggalkan warungnya dan menuju ke rawa-rawa tepat di seberang jalan. Di sana sudah ada warga siap melindungi para peng­huni ruko yang memang dikenal baik dengan warga sekitar.

"Ada puluhan orang ngumpet di rawa-rawa," ujar Nana sembari mengatakan banyak bukan warga sekitar mengerubungi area ruko. "Ruko yang gosong ini, dulu jualan sparepart forklift. Habis juga dijarah," tambahnya.

Dalam hitungan menit, seluruh penghuni ruko tunggang langgang menuju rawa-rawa dekat Kampung Jatake. Di sana sudah berbaris pagar manusia lengkap dengan senjata seadanya. Mulai dari bambu, kayu, hingga arit. Tujuannya, melindungi para pemilik ruko.

Begitu penghuni ruko aman terlindungi, tanpa komando massa yang menurut Nana bukan warga sekitar beringas menjarah isi ruko. Beruntung, tidak ada yang menjarah warung milik Nana. Hanya hitungan menit, barisan ruko sepanjang 30 meter terbakar. Api pun menjilat-jilat dan membuat hitam langit biru.

Berdiri di tengah lapangan yang dibelakannya terdapat rawa tempat orang bersembunyi, Nana mengaku ketakutan teramat san­gat. Tidak hanya di tempatnya saja yang langitnya berubah hitam. Dari kejauhan langit ter­lihat menghitam. Arahnya, dari Jalan Raya Serang, melewati Jatake, kemudian ke arah Kota Tangerang. "Ngga tau siapa yang bakar. Ngeri kalau inget-inget lagi," kenangnya.

Berjam-jam Nana berada di lapangan, tidak berani beranjak pergi. Termasuk, warga yang melindungi para penghuni ruko. Sebagian warga, terhasut massa dari luar kampung untuk men­jarah. Suasana semakin kacau. Nana tetap berdiam diri hingga akhirnya seorang warga setempat yang mengenalinya mengajak ke kampung untuk berlindung.

"Setelah itu ngga tau gimana," katanya.

Pemantauan Rakyat Merdeka, hanya dua buah ruko tepat di belakang warung milik Nana yang dibiarkan begitu saja oleh sang pemiliknya. Tidak jelas keberadaan pemilik ruko itu. Termasuk, tidak ada informasi kalau ruko itu dijual. Sementara, ruko-ruko lainnya kembali ber­jualan. Berbagai kebutuhan disajikan. Seperti sembako, alat elektronik, hingga jasa notaris ada di tempat itu.

Mengarah ke timur, tepatnya di Jalan Gatot Subroto Km 6, terdapat pusat perbelanjaan 'Brahmana'. Kondisinya juga terlihat tidak terawat. Namun, tidak terlihat bekas gosong di tempat itu. Pascakerusuhan Mei 98, toko tersebut kembali berbis­nis. Namun, tidak bertahan lama dan bangkrut.

Yadi, pedagang warung di de­pan Toko Brahmana itu menceri­takan jalan-jalan hingga ke arah Jalan Merdeka, Kota Tangerang menjadi lautan api. Ruko-ruko dipinggir jalan raya tersebut dilalap api. Alhasil, langit hitam menjulang di jalan-jalan raya. Sejumlah kendaraan pun dibakar ditengah jalan. Belum diketahui data pasti berapa korban jiwa pada peristiwa di Tangerang itu.

Sementara, di Jakarta, 17 tahun peristiwa Mei 98 diperin­gati oleh keluarga korban yang hilang maupun tewas di Mal Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur selama hari-hari kelam tersebut. Bertajuk, "17 Tahun Menjaga Harapan Membangun Kekuatan Korban".

Kegiatan tersebut dilakukan oleh sejumlah keluarga korban bersama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam) yang didukung Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komunitas Sudutkota.

Dalam rangkaian peringatan itu sejumlah keluarga korban melakukan aksi tabur bunga di depan Mal Klender, yang sempat menjadi saksi kerusuhan dan pembakaran kala Tragedi Mei 1998 berlangsung.

Selain aksi tabur bunga, rangkaian peringatan 17 tahun Tragedi Mei 1998 itu juga menggelar pameran kilas 17 Tahun Peristiwa Mei 1998 melalui pemutaran film tentang peristiwa itu oleh Tim Kampanye Elsam dan refleksi diiringi doa bersama bagi para korban.

Berdasarkan laporan "Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998" yang dikeluarkan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) sedikit­nya terdapat 1.217 korban jiwa, 91 orang luka dan 31 orang hilang akibat tragedi Mei ‘98 yang di Jakarta telah terjadi kekerasan secara massal termasuk pembakaran gedung, supermar­ket, rumah dan mal hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Sementara itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 telah memverifikasi adanya 85 perempuan korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Mei '98,

Dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 kor­ban penyerangan/penganiayaan seksual dan 9 korban pelecehan seksual.

Rangkaian Peringatan 17 Tahun Tragedi Mei 1998 selanjut­nya adalah Peresmian Prasasti Mei ‘98 di Makam Massal Korban Tragedi Mei 1998 di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.

Barakuda Seliweran, Tentara Diturunkan dari Helikopter

"Masak di rumah masing-masing," kalimat itu berulang-ulang didengungkan tentara menggunakan pengeras suara dari dalam barakuda. Pesan itu, disampaikan kepada ratusan massa yang beringas men­jarah di toko-toko dan mall sepanjang Jalan Raya Serang, menuju Kota Tangerang.

Konvoi tendaraan tentara itu efektif memecah massa yang mengerumuni jalan-jalan raya. Namun, beberapa orang tetap menjarah sekalipun kondisi toko-toko dan mall sedang di­lalap si jago merah.

"Ratusan orang pada ngejarah. Ngga tahu dari mana datangnya," ujar Yadi, pen­jaga warung di seberang mall Brahmana, di Jalan Gatot Subroto Km 6, Jatiuwung, Kota Tangerang. Saat kerusuhan terjadi, jalan itu masih bernama Jalan Raya Serang.

Peristiwa itu terjadi pada 14 Mei 1998. Yadi, sang penjaga warung tadinya tidak mengira hari itu menjadi hari yang ke­lam. Pasalnya, tidak ada gejo­lak politik di Tangerang seka­lipun di Jakarta sedang ramai membahas Tragedi Trisakti.

Menurutnya, ratusan orang dengan wajah beringas men­jarah setiap toko-toko maupun mall ukuran besar. Namun, warung kecil seperti milik Yadi, tidak disentuh sama sekali. Pasalnya, warga sekitar yang kerap nongkrong di Warung Yadi, turut melindunginya. Saat peristiwa terjadi, Yadi memilih tutup.

Diceritakan Yadi, pagi hari saat kejadian tidak ada tanda-tanda kerusuhan. Para karyawan Toko Brahmana tetap masuk seperti biasa. Toko berukuran besar itu pun dibuka. Tiba-tiba ratusan orang tidak dikenal datang dari segala penjuru. Merangsek masuk ke dalam toko dan menjarah. Warga sekitar sebagian ikutan menjarah. Para karyawan ber­seragam biru tunggang lang­gang meninggalkan toko.

Tiba-tiba, toko itu terbakar, entah siapa yang menyulut api. Suasana semakin kacau. Para penjarah makin gesit membawa barang-barang di toko pakaian itu. Begitu api membumbung tinggi hingga membuat langit biru menghi­tam, terlihat tiga helikopter wara-wiri di udara.

"Dari lapangan pada turun (tentara) pakai tali. Nyuruh pulang warga, terdengar suara tembakan juga," katanya.

Begitu tentara diturunkan, helikopter-helikopter itu ber­lalu pergi. Para tentara berjaga-jaga di depan toko Brahmana yang hanya berjarak 30 meter dengan Hotel dan Resto Istana Nelayan. Sebagian warga masih ada yang nekad menja­rah sekalipun ada tentara ber­jaga. Kerumunan massa lebih banyak dari tentara.

Selang dua jam, kendaraan barakuda datang melintas, meneriakkan pesan masak di rumah masing-masing”. Yadi menduga, pesan itu diberikan kepada pen­jarah untuk segera pulang ke rumah masing-masing.

Yadi mengaku tidak akan lupa peristiwa itu, dia berharap masa kelam itu tidak terulang. Beruntung, dia dekat dengan warga sekitar sehingga warungnya aman dari penjara­han. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA