Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Setiap Ditanya, Pendatang Baru Genggam Uang Saku & Jaketnya

Melihat Arus Urbanisasi Di Terminal Kalideres, Jakarta

Kamis, 15 Agustus 2013, 09:57 WIB
Setiap Ditanya, Pendatang Baru Genggam Uang Saku & Jaketnya
ilustrasi
rmol news logo Arus urbanisasi dari berbagai daerah menuju Ibu Kota Jakarta biasanya terjadi secara massal setelah Lebaran. Diprediksi, pasca Lebaran ini, ada sekitar 1 Juta pendatang baru yang datang ke Jakarta.

Jakarta memang bukan kota yang tertutup, selain dikarenakan sebagai pusat pemerintahan dan juga pusat perekonomian di Indonesia, daerah tujuan warga untuk merantau dan mencari kerja masih lebih mayoritas memilih Jakarta sebagai kota tujuannya.

    Kondisi ini ternyata malah menimbulkan berbagai masalah sosial dan juga perekenomian berkelanjutan serta problem kriminalitas yang sering diwanti-wanti oleh berbagai pihak.

Perpindahan penduduk dari daerah ke Jakarta, juga masih terjadi pasca lebaran 2013 ini. Seperti pantauan Rakyat Merdeka di terminal bis Kalideres, Jakarta Barat, kemarin.

Tepat jam satu siang, bus Sinar Jaya dari Cilacap, Jawa Tengah, tiba di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Puluhan penumpang mengantri turun melalui pintu bus. Seorang kernet naik ke atap bus untuk menurunkan barang-barang penumpang yang tidak tertampung di bagasi.

Wahyu, warga Cilacap terlihat tidak mengantre mengambil barang baik di bagasi maupun atap bus. Tiga tas gemblok yang dibawa bersama adiknya, Faziz, ditaruh di bagian dalam bus. Kebetulan, kedua bersaudara itu duduk di bagian belakang.

Menapakkan kaki di Terminal Kalideres, Wahyu dan Faziz celingak-celinguk melihat melihat sekeliling terminal. Sebuah telepon genggam dikeluarkannya untuk menghubungi pamannya yang berencana menjemput. Tempat duduk di tepian terminal, menjadi pilihan beristirahat.

“Mau dijemput om, baru kali ini ke Jakarta,” papar Wahyu sembari menghela nafas sembari menyandarkan punggungnya di bangku tunggu.

Kedatangan Wahyu ke Ibukota untuk mencari penghidupan yang menurutnya tidak dia dapat di kampung halamannya, Cilacap. Dua tahun berpengalaman sebagai kuli bangunan, dan memiliki saudara di daerah Cengkareng, Jakarta Barat, membuatnya berani mangadu nasib di Jakarta.

Menurut dia, bekerja sebagai kuli bangunan di Cilacap cukup untuk hidup. Jika ada proyek, dalam sehari dia dibayar Rp 50-70 ribu. Merasa masih muda, pria berusia 22 tahun ini penasaran ingin hidup lebih baik di Jakarta. Adiknya, Faziz, lebih muda lagi, 20 tahun.

“Katanya om ada proyek di Jakarta, kita ngikut aja,” ujarnya.

Selain kemampuan menjadi pekerja bangunan, mereka ternyata tidak banyak barang-barang yang dia bawa untuk mengadu nasib di Jakarta. Satu tas berisi pakaian, oleh-oleh dari Cilacap, dan fotocopi ijasah SMP miliknya sebagai modal bekerja.

“Uang ngga banyak, 500 ribu. Maunya ngga nguli, kerja apa ajalah,” pasrah Wahyu.
Rencanaya, Wahyu akan tinggal sementara di Cengkareng, mengontrak bersama om-nya yang belum berkeluarga. Kesepakatan itu, dia dapat ketika om-nya tidak mudik ke kampung halaman tahun ini.

Saat berkomunikasi via telepon, ada tawaran bekerja di Jakarta, dan langsung diterima Wahyu. “Sekalian bawa adik (Faziz),” kata Wahyu , yang hanya dijawab dengan anggukan kepala sang adik.

Dijelaskan Wahyu, om-nya sudah tiga tahun di Jakarta dan dianggapnya bisa menghidupi serta mengirim uang ke kampung halaman. Selain urusan uang, pria berkulit cokelat itu mengaku ingin tahu kehidupan Jakarta yang dianggapnya lebih mapan dibandingkan kehidupan di kampung.

Saat ditemui Rakyat Merdeka, kedua bersaudara itu terlihat hati-hati terhadap orang lain. Barang-barang bawaan dijaga ketat agar tidak hilang. Sesekali, saku celana dan jaket dia genggam. Memastikan hartanya masih utuh.

Situasi di Terminal Kalideres belum memperlihatkan kesibukan luar biasa. Terminal bus yang menjadi salah satu lokasi penampungan bus dari daerah Jawa dan Sumatera itu masih berjalan normal pada musim arus balik ini. Di ruang tunggu terminal juga tidak banyak penumpang yang menunggu. Hanya puluhan orang terlihat duduk dan berdiri mengecek barang bawaan, atau pun langsung meninggalkan terminal begitu turun dari bus.

Selang setengah jam, Wahyu dan Faziz belum  beranjak dari bangku ruang tunggu terminal bis Kali Deres. Menjadi pendatang baru, tentu membuatnya berhati-hati terhadap orang lain. Kedua bersaudara itu, setia menanti sang paman yang memastikan diri akan menjemputnya.

Sudah menjadi rahasia umum, pasca Lebaran adalah momentum para pendatang untuk mengadu nasib di ibukota. Argumentasi ekonomi yang belum merata antara pusat dan daerah menjadi alasan utama para pendatang untuk hidup lebih baik di Jakarta.

Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyebut, jumlah pendatang baru ke Jakarta pasca Lebaran tahun ini diprediksi menembus angka  1 juta orang. Untuk mengatasi jumlah pendatang tersebut, Pemerintah DKI Jakarta diminta menyediakan lapangan pekerjaan untuk para pendatang tersebut.

“Setiap Lebaran jumlah pendatang di Jakarta bisa mencapai satu juta orang. Namun sampai hari ini belum pasti, tapi kira-kira sudah diatas 500 ribuan,” papar Muhaimin di Istana Negara, Selasa (13/8).

Ia menegaskan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menekan angka urbanisasi. Dengan membuat lapangan kerja baru dan memanfaatkan peran sektor informal.

“Karena rata-rata pendatang ini bekerja di sektor informal,” tegasnya, sembari berpesan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan industrinya, agar dapat menurunkan jumlah pendatang tahunan ke ibukota.

Catatan Rakyat Merdeka, berdasar data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, jumlah pendatang baru pascalebaran yang memasuki Jakata sejak 2003 terus menurun. Pada 2003 terpantau ada 204.830 pendatang, tahun 2004 sebanyak 190.356 orang, tahun 2005 sebanyak 180.767 orang.

Sementara, tahun 2006 sebanyak 124.427 orang, tahun 2007 sebanyak 109.617 orang dan 2008 menurun signifikan menjadi 88.473 orang. Lalu, tahun 2009 tercatat jumlah pendatang baru sebanyak 69.554 orang atau menurun sebesar 21,38 persen atau sebanyak 18.919 orang.

Tahun 2010, jumlah pendatang baru pun kembali menurun menjadi sekitar 60 ribu orang. Sementara pada 2011, jumlah pendatang baru hanya mencapai 51.875 orang. Jumlah pendatang baru tahun 2012 mencapai 47.832 orang.

Tren penurunan jumlah pendatang baru terjadi karena Dinas Dukcapil gencar melakukan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) pascalebaran, yang dilakukan sebanyak tiga kali.

Tanpa Kemampuan Memadai Mending Pulang Kampung

Taufik terlihat berdiri di badan jalan terminal Kalideres, Jakarta Barat. Tepatnya, di bagian kedatangan bus dari arah Bengkulu, Sumatera Selatan. Kemarin siang, adalah jadwal tiba istri dan anaknya yang mudik ke kampung halaman.

Pria asal Cilacap, Jawa Tengah itu mengaku jadi perantau sejak tahun 1986. Kini, dia telah menetap di Karawaci, Tangerang, dengan memiliki seorang istri dan dua anak. Menurutnya, hidup menjadi perantau harus memiliki kemampuan yang mumpuni.

“Dulu  saya pertama ke Jakarta, kota ini belum ramai. Saya kerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik. Yang penting punya ijazah (SMA). Maaf-maaf ya, kalau ngga punya keahlian apalagi kurang sekolah, mending balik lagi,” saran Taufik.

Mengganggap ekonominya cukup, lantaran memiliki rumah di Kawasan Karawaci, dan bisa menyekolahkan dua anaknya, Taufik enggan mengajak saudaranya untuk mengadu hidup di Jakarta atau Tangerang.

Menurutnya, pengorbanan yang dia rasa dahulu, seperti pindah-pindah kontrakan dan sulitnya mencari pekerjaan sebagai buruh tidak dialami saudaranya dari Cilacap.

“Tahun delapan puluhan itu dua orang adik saya ikut ke Jakarta, Alhamdulillah kerja semua. Sekarang nggak dulu, karena saya juga urus keluarga saya,” ujarnya.

Taufik tidak menyangkal,  bahwa banyak warga yang berasal dari Cilacap yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di Jakarta. Pasalnya, pembangunan ekonomi dianggapnya belum merata. Terlebih, akses jalan yang tidak pernah bagus di kampungnya menjadi penyebab terhambatnya perekonomian.

“Saya berani ngomong kalau hancurnya ekonomi Cilacap, dikarenakan akses jalannya juga hancur,” ungkapnya.

Dijelasakan Taufik, penghasilan utama warga Cilacap adalah bertani, berkebun, dan sebagian nelayan. Jika jalan rusak,  biaya untuk transportasi mengangkut barang-barang bertambah pula. Tentunya, dalam menyalurkan hasil bumi ke kota lain juga akan terhambat dari segi waktu dan kualitas barang.

Selang 20 menit, bus dari Bengkulu pun tiba. Isteri dan anaknya pun tiba dari kampung halaman sang isteri. Lepas kangen, mereka bertiga saling bersalaman dan berpelukan. Merasa barang-barang sudah ditangan, sekeluarga itu pun menepi di trotoar.

Lili, istri Taufik juga seorang perantau. Sebelumnya tinggal dan bermukim di Tangerang menumpang di rumah saudaranya dan memiliki keahlian sebagai pekerja salon. Berjodoh dengan Taufik, keduanya pun menikah dan  tinggal di Tangerang.

Sejak tiga tahun lalu, Lili sudah mempunyai salon kecil-kecilan di depan rumahnya di Karawaci. Sudah berpenghasilan, wanita berjilbab itu mengaku enggan membawa sanak saudara dari Bengkulu untuk bekerja.

“Dulu pernah bawa, tapi nggak dapet kerja. Balik lagi (ke Bengkulu),” kenangnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA