Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

2 Bulan Disembunyikan Di Gubuk Ladang Sawit

Tinggalkan Malaysia, Pengungsi Rohingya Telantar Di Jakarta

Kamis, 11 Juli 2013, 10:01 WIB
2 Bulan Disembunyikan Di Gubuk Ladang Sawit
ilustrasi, Pengungsi Rohingya
rmol news logo Mohamad Qosim, duduk di lantai beralaskan karpet di lantai 3 Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jalan Diponegoro Nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Di sampingnya, istri dan anak-anaknya tertidur pulas.

Sudah empat hari Qosim dan keluarganya menginap di YLBHI. Tak banyak aktivitas yang dilakukannya. Ada belasan orang lainnya yang menempati lantai tiga  kantor YLBHI. Mereka adalah pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar. Mereka hendak ke Australia. Namun, terdampar di Indonesia.

“Kami tak punya apa-apa lagi, uang habis,” kata Qosim.  Untuk bertahan hidup, mereka mengandalkan sumbangan dari orang-orang.

Terlunta-lunta, mereka akhirnya ditampung di kantor YLBHI. Qosim menuturkan, mereka meninggalkan Malaysia karena statusnya tak jelas. Sebelumnya, etnis Rohingya memilih mencari suaka ke negeri jiran itu.

Etnis Rohingya, kata Qosim, diterima di Malaysia. Namun, di negara itu mereka tak bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Tak bisa memiliki tempat tinggal dan kartu kependudukan. Anak-anak tak bisa mendapat pendidikan.

“Kami kabur karena anak kami tidak boleh sekolah. Demi masa depan mereka (anak-anak) kami kabur. Mau ke Australia,” kata pria yang memakai sarung itu.

Biaya hidup di Malaysia, menurut Qosim, sangat besar. “Sewa rumah mahal, 1.000 ringgit lebih,” ujarnya. Sementara para pengungsi sulit mendapatkan pekerjaan karena tak punya identitas.

“Saya kerja ilegal di sana sebagai supir. Kalau tertangkap kita harus bayar denda,” tutur Qosim.

Enam bulan lalu, 18 etnis Rohingya berencana meninggalkan Malaysia. Mereka pun mengumpulkan semua uang yang dimiliki untuk bisa ke Australia. Akhirnya terkumpul 4.200 ringgit. Uang itu diserahkan kepada orang yang bisa mengatur perjalanan ke negara tujuan.

“Tadinya mereka minta 5.000 (ringgit),” kata Qosim.

Bermodalkan kartu UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), mereka bisa mudah meninggalkan Malaysia. Kartu UNHCR adalah satu-satunya kartu identitas yang dimiliki para pengungsi Rohingya.

Dari Malaysia, para pengungsi menuju ke Medan, Sumatera Utara. Mereka sempat disembunyikan di gubuk di tengah ladang perkebunan kelapa sawit.

Bersembunyi selama dua bulan, istri Qasim malah melahirkan putranya di gubuk itu. Perjalanan dilanjutkan menggunakan bus menuju Jakarta. Perjalanan untuk sampai ke ibukota ditempuh sangat lama: empat bulan.

Mereka berpindah-pindah tempat persembunyian. Qosim hanya ingat pernah singgah di Bogor, Jawa Barat. “Kami tidak bisa baca dan tulis. Handphone tidak pegang, jadi kami mengikuti saja,” katanya.

Tak kunjung sampai ke Australia, Qosim pun bertanya kepada orang yang mengatur perjalanan. Orang itu malah meminta tambahan biaya. Lantaran sudah tak punya uang, orang itu sempat marah-marah kepada Qosim dan memberikan bogem mentah ke wajahnya.

Pengungsi Rohingya akhirnya ditinggalkan begitu saja di Bandara Soekarno Hatta. Qosim mengaku bisa mengenali kawasan itu karena ada patung Soekarno dan Hatta. Kedua tokoh itu sangat dikenal masyarakat Malaysia.

Dibantu seseorang, para pengungsi bisa mendapat tempat berteduh di Masjid Sunda Kelapa, Menteng. Dua hari di sini, Qosim dan kawan-kawan diajak menginap di kantor YLBHI.

Walaupun sudah kehabisan uang, Qosim tetap bertekad ingin ke Australia. Ia mengaku memiliki famili di Negara Kanguru itu.

Ia berharap, di Australia kehidupan keluarganya akan lebih baik. Kelima anaknya bisa mendapatkan pendidikan. “Yang kita inginkan bisa hidup di sana dan anak kami sekolah,” kata Qosim.

Selama menginap di YLBHI, mereka kerap mendapat bantuan pakaian dan makanan. Menurut Qosim, itu lebih dari cukup. Yang penting, mereka bisa punya berteduh untuk sementara waktu.

Julius Ibrani dari YLBHI ditunjuk untuk mengadvokasi para pengungsi Rohingya ini selama di Indonesia. Dia mengaku sudah ke kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain itu, Julius juga mendatangi Kementerian Luar Negeri. “Intinya, kita bantu mereka agar bisa sampai Australia,” katanya.

Ketua LBH Jakarta Febyonesta mengatakan, akan melakukan koordinasi dengan UNHCR mengenai status etnis Rohingya ini. Lantaran mereka sudah ada di Indonesia, dia berharap pemerintah memberikan perlindungan kepada para pengungsi ini.

Pemantauan Rakyat Merdeka, ruangan utama kantor YLBHI di lantai 3 dirombak sebagai tempat tinggal para pengungsi. Mereka tidur di lantai beralaskan karpet.

Dari belasan pengungsi, hanya dua orang yang lancar berbahasa Melayu. Keduanya lalu ditunjuk untuk menjadi juru bicara pengungsi selama di Jakarta. Untuk keperluan mencuci dan memasak, mereka memanfaatkan peralatan yang ada di kantor ini. Aktivitas kantor YLBHI tak terganggu oleh keberadaan pengungsi itu.

“Lebih Baik Mati Daripada Kembali”


Pengungsi etnis Rohingya yang ditampung di kantor YLBHI, menolak untuk dikembalikan ke Myanmar. Konflik etnis di negara asal mereka telah meninggalkan kenangan pahit.

“Lebih baik anak-anak saya diracun sendiri. Dari pada disuruh kembali,” kata Muhamad Qosim, salah satu pengungsi.

Sebelumnya pengungsi Rohingya ini menetap di Malaysia. Enam bulan lalu, mereka meninggalkan negeri jiran menuju Australia. Namun, kehabisan uang dan telantar di Jakarta.

Qosim mengatakan, ada saudara dari ibunya yang sudah lebih dulu tinggal di di Australia. Namun dia tak tahu nama familinya itu. 

“Serahkan pada Allah saja, saya tidak diberi nama. Tapi mereka pernah mendatangi kami di Malaysia, mengajak untuk tinggal di Australia,” akunya.

Julius Ibrani dari YLBHI mengatakan, akan memperjuangkan 18 pengungsi Rohingya ini   sampai ke Australia. Ia sedang mentabulasi data dan kronologis perjalanan para pencari suaka ini dari Malaysia.

Setelah pendataan rampung, Julius akan menemui Kementerian Luar Negeri. “Mereka juga sedang istirahat, kita tidak terlalu buru-buru,” kata Julius.

Ia berharap, pemerintah mau membantu para pengungsi ini untuk bisa tinggal di Australia.

“Kita minta pemerintah Indonesia juga proaktif dengan PBB. Para pengungsi harus dijamin tempat tinggalnya, pendidikan, hingga pekerjaannya,” tegasnya.

Menurut Julius, tidak mudah proses mendapatkan suaka di Australia. Apalagi mereka tak memiliki sanak famili di negara tujuan suaka. Para pengungsi, lanjutnya, hanya mengatakan ada warga Rohingya yang sejahtera tinggal di Australia.

“Jadi rumit, kita tidak akan melepas begitu saja para pengungsi,” pungkas Julius.

Indonesia Jadi Tempat Transit Pencari Suaka

Australia menjadi pilihan para pencari suaka untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang lebih layak. Para pengungsi cuma menumpang perahu ala kadarnya mengarungi Samudera Indonesia untuk sampai ke Australia.

Sejak 2001 hingga tahun 2012, tercatat hampir 1.000 orang meninggal di laut dalam upaya mencapai daratan Australia. Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) menerima lebih dari 16 ribu klaim suaka pada tahun lalu.

Saat ini, 18 pengungsi etnis Rohingya berada di  Jakarta. Sempat ditelantarkan, mereka dibantu YLBHI untuk mendapatkan suaka di Australia.

Etnis Rohingya itu bukanlah pencari suaka pertama yang ingin menuju Australia dan menjadikan Indonesia sebagai tempat transit. Salah satu tempat transit para pengungsi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), yang paling dekat dengan Australia.

“Seiring dengan meningkatnya jumlah imigran ilegal yang hendak mencari suaka di Australia, Nusa Tenggara Timur, disebut-sebut menjadi daerah transit paling nyaman untuk para pencari suaka karena dekat dengan negara tujuan para imigran,” ujar Sekda Provinsi NTT, Salem.

Duta Besar Indonesia untuk Australia Najib Ripat Kesoema mengatakan, sejak September 2008 hingga tahun lalu, hampir seluruh pembawa imigran ilegal ke Australia adalah nelayan atau anak buah kapal (ABK) dari Indonesia.

Jumlah ABK Indonesia yang ditangkap di Australia sebanyak 881 orang. Hingga September 2012 sebanyak 410 ABK dewasa dan 26  ABK di bawah umur  yang ditahan di detensi Imigrasi dan berbagai penjara di seluruh negara bagian di Australia. Sedangkan jumlah ABK yang sudah dipulangkan sebanyak 471 orang.

“Yang lebih memprihatinkan, dari jumlah di atas, sebanyak 267 adalah ABK  di bawah umur yang ikut menjadi pelaku penyelundupan manusia dari Indonesia ke Australia,” ujarnya.

Ia mengaku, dilihat dari sebaran daerah asal ABK WNI yang terlibat dalam kasus penyelundupan manusia, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Banten dan Maluku. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA