Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sopir Bisa Kantongi Rp 400 Ribu Sehari

Omprengan Berani Beroperasi Siang Hari

Sabtu, 05 Januari 2013, 09:39 WIB
Sopir Bisa Kantongi Rp 400 Ribu Sehari
ilustrasi, Omprengan berpelat hitam

rmol news logo Daihatsu Luxio F 1622 CY yang ditabrak BMW X5 Rasyid Amrullah Rajasa ternyata dipakai mengangkut penumpang. Saat kejadian, mobil itu sedang mengangkut 10 penumpang yang hendak ke Bogor. Padahal, Luxio itu berpelat hitam, bukan angkutan umum.

Mobil berpelat hitam yang dija­di­kan angkutan penumpang alias omprengan ini, mudah ditemui di Jak­arta. Layaknya angkutan umum, mereka juga ngetem me­nunggu penumpang.

Salah lokasi ngetem omp­re­ngan ini adalah di sekitar UKI, Ca­wang, Jakarta Timur. Om­pre­ngan di sini melayani rute Ja­kar­ta-Bogor. Mobil-mobil pelat hi­tam ini tak hanya beroperasi ma­lam hari—saat angkutan umum resmi sudah tidak ada. Tapi juga siang hari.

Bila malam hari, omprengan ini mangkal persis di bawah jem­batan penyeberangan sebelah hal­te bus Transjakarta. Mobil-mobil yang ngetem di sini hampir s­e­mua­nya jenis minibus.

Lokasi ini cukup strategis. Bila sudah penuh penumpang, sopir omprengan tinggal membelokkan mobil ke kolong interchange Ca­wang, sudah masuk tol Jagorawi.

Bagaimana di siang hari? Asep, pedagang asongan yang biasa mang­kal di kawasan ini meng­a­ta­kan, omprengan tetap ada. Ha­nya saja tempat ngetemnya berbeda.

Kata dia, kalau siang, ompre­ngan mundur sedikit ke arah Ke­bon Pala, Halim. Di sini ada tem­pat parkir “khusus” untuk om­pre­ngan ngetem menunggu penumpang.

Lokasi mangkal omprengan se­telah lampu merah Halim, sebe­lum terowongan Cawang. Tak jauh dari pool taksi. Tempat par­kir “khusus” omprengan adalah badan jalan yang ditunggui calo penumpang.

Dua perempuan turun dari Mikrolet M26 jurusan Kampung Melayu-Kalimalang di pinggir Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur. Usai membayar ongkos, kedua­nya menghampiri empat mobil yang parkir persis di depan tem­pat Mikrolet berhenti.

Seorang pria berambut gon­drong yang berdiri di depan mo­bil omprengan menghampiri ke­dua perempuan. Berbicara se­ben­tar, pria itu mengantarkan ke­dua­nya ke arah salah satu omprengan.

Omprengan itu Daihatsu Luxio warna silky gold metalik. Dari pelat nomornya, mobil itu dire­gister sebagai kendaraan pribadi di wilayah Polda Metro Jaya. Lu­xio ini parkir di barisan kedua se­belah kiri. Kedua perempuan yang mengenakan seragam PNS itu lalu masuk ke dalam mobil dari pintu di bagian tengah kabin yang dibuka dengan cara digeser.

Enam orang sudah lebih dulu naik omprengan ini. Empat du­duk di belakang. Dua duduk di tengah. Jok di samping sopir ma­sih kosong.

Menunggu sekitar 15 menit, ha­­nya ada satu tambahan penum­pang. Pria gondrong yang jadi calo penumpang meminta sopir berangkat. Setelah melengok ke be­lakang dan menghitung pe­num­­pang yang naik, sopir me­mutar kunci kontak. Omprengan ini pun meninggalkan tempat ngetem.

“Ini mobil tujuan ke Bogor. Ber­hentinya di Terminal Ba­ranang Siang. Daripada naik bus, lebih cepat naik mobil ini,” kata pria gondrong itu.

Berapa tarifnya? “Murah. Cuma 10 ribu untuk satu orang, sekali jalan. Langsung masuk tol dan tidak pakai ngetem lagi. Da­ripada naik bus, bisa lebih mahal. Lagipula kalau mau ke Bogor, harus ke Terminal Kampung Ram­butan dulu,” jawabnya.

Omprengan di sini marak setelah bus angkutan kota antar provinsi (AKAP) dilarang masuk UKI. Bus-bus itu dianggap biang kemacetan di kawasan ini. Dulu, dari Terminal Kampung Rambu­tan bus-bus itu selalu mampir ke UKI untuk menarik penumpang.

Setelah bus AKAP tak boleh ma­suk UKI, penumpang yang hen­dak ke Bogor harus ke Ter­mi­nal Kampung Rambutan. Dari situ, baru naik bus jurusan Bogor yang langsung masuk tol Jagorawi.

Setelah 10 menit Luxio melaju, dari arah belakang terlihat mobil Carry silver berjalan pelan. De­ngan sigap, pria gondrong tadi memberi­kan aba-aba kepada sopir Carry agar parkir dengan car­a mundur. Mobil ini menem­pati tempat parkir Luxio yang su­dah berangkat.

Dari kaca depan yang terbuka, terlihat sopir Carry ini seorang pria berusia 40 tahunan. Postur badannya tinggi dan rambutnya cepak. Pria ini mengenakan ke­meja warna hijau, seperti se­ra­gam harian anggota militer.

Usai memarkirkan ken­da­ra­an­nya, sopir itu membuka kemeja hi­jau. Menggantinya dengan ke­meja merah garis-garis yang diambilnya dari tas hitam yang dibawanya.

“Ya. Seperti yang Mas lihat. Me­mang sopir mobil omprengan ini macam-macam. Ada yang me­mang kerjaannya cuma sopir, tapi ada yang pegawai,” kata pe­milik warung kelontong tidak jauh dari tempat omprengan ngetem.

Mobil yang dipakai buat me­ngompreng ini pun, kata dia, ber­macam. Ada yang memang milik sopir omprengannya. Tapi ada juga yang disewa dari orang lain. Bah­kan yang memakai mobil kantor untuk mengangkut pe­numpang.

“Mirip angkutan aja. Banyak so­pir omprengan ini yang mobil­nya boleh sewa dari seseorang de­ngan sistem setoran. Tapi saya nggak tahu berapa setorannya,” jelasnya.

Ini dibenarkan Hadi, sopir om­prengan yang biasa mangkal di kawasan UKI ini. Pria yang sudah jadi sopir omprengan sejak dua ta­hun lalu ini, menggunakan mo­bil pribadinya buat mengangkut penumpang.

“Biar bekas, mobil saya ini ma­sih terlihat bagus karena tahun ke­l­uarannya masih baru. Saya mem­beli­nya dengan cara kredit di showroom jual-beli dekat rumah di daerah Bekasi sana,” katanya sambil menunjuk pada Toyota Avanza hitam.

“Uang dari usaha omprengan inilah yang kemudian saya kum­pulkan buat bayar cicilan mobil setiap bulannya. Tidak ada seto­ran, nantinya mobil jadi milik kita,” tambahnya.

Berapa penghasilan dari omprengan ini? Hadi mengatakan setiap hari dia bisa mengantongi uang Rp 400 ribu. Penghasilan itu sudah bersih setelah dipotong buat bensin, bayar tol dan calo.

“Mobil ini sekali jalan kapasi­tasnya 10 orang dengan tarif Rp 10 ribu. Itu sudah ketahuan, satu rit (bolak-balik) bisa dapat Rp 200 ribu,” terangnya.

“Biasanya di Bogor sana, saya angkut penumpang lagi untuk ke Jakarta. Tiga shift saja saya narik pada malam hari. Hasilnya cukup lumayan,” katanya sambil ter­senyum.

“Gimana Mau Nutup Setoran Kalau Penumpangnya Diambil”

Keluhan Sopir Angkutan Resmi

Dulu omprengan beroperasi untuk menggantikan angkutan umum resmi pada malam hari. Be­lakangan, mobil-mobil berp­e­lat hitam yang dipakai buat me­ngangkut penumpang ini juga ber­operasi pada siang hari.

Ini terjadi di daerah-daerah ping­giran Jakarta. Omprengan itu bersaing dengan angkutan resmi seperti KWK. Sejak trayek bus reguler dihapus karena bersing­gu­ngan dengan Koridor IX bus­way, omprengan bermunculan me­layani rute Tomang-Pluit.

Sopir angkutan resmi pun re­sah. Sebab, penghasilan mereka berkurang karena omprengan ber­operasi siang hari. Para sopir kemudian mengadukan hal ini ke Dinas Perhubungan. Dinas Per­hu­­bungan bekerja sama dengan ke­polisian lalu melakukan pener­tiban. Namun omprengan muncul lagi dan mengangkut penumpang.

Tak hanya di Tomang, ompre­ngan ini beroperasi di Jalan Ca­kung-Cilincing menuju Tanjung Priok. Setiap pagi dan sore, mobil berpelat hitam ini bersaing de­ngan KWK untuk menarik pe­num­pang yang umumnya buruh pabrik.

Kepala Operasional KWK Ja­karta Utara, Farid Efendi me­nga­dakan, keberadaan omprengan ini meresahkan para sopir angkot. Pendapatan sopir angkot menjadi berkurang, karena penum­pang­nya diambil omprengan.

“Kami sering berselisih paham dengan sopir omprengan karena rebutan penumpang. Saya harap petugas dapat menindak tegas omprengan, karena mereka tidak resmi,”

katanya. Bahkan waktu operasi angkutan gelap ini bersamaan dengan angkot, yakni pagi hingga malam hari. “Gimana mau nutup setoran kalau penumpangnya di­ambil. Omprengan itu enak tidak pakai setoran, sedangkan kita kan pakai,” keluhnya.

Di daerah Kalideres dan Kam­pung Rambutan, angkot berpelat hitam juga mudah ditemui. Apa­lagi saat malam hari. Rute om­prengan ini pun berbeda-beda. Di Kalideres, omprengan itu mela­yani rute Tangerang, Bitung, Ci­kupa sampai Balaraja. Semen­tara, omprengan yang mangkal di Kampung Rambutan ada yang me­layani rute sampai Depok mau­pun Bogor.

Dishub: Hindari Naik Angkutan Yang Tak Punya Izin Trayek

Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengimbau masyarakat hati-hati dalam memilih ang­kutan untuk bepergian. Hindari naik angkutan yang tidak me­miliki izin trayek maupun tak sesuai rutenya.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono me­ngatakan, kasus kecelakaan maut di tol Jagorawi yang me­nimpa omprengan Daihatsu Lu­xio cukup menjadi pelajaran pen­ting bagi masyarakat.

“Angkot berpelat hitam itu melanggar peraturan. Dia nye­wa, bawa-bawa orang jelas sa­lah, itu omprengan gelap. Yang punya mobil jadi harus ber­tang­gung jawab penuh,” ujarnya.

“Warga yang menggunakan angkot gelap pun dinilai salah. Jika terjadi kecelakaan begini siapa yang mau tanggung ja­wab. Masyarakat juga harusnya memberikan pelajaran yang baik, ada angkutan resmi ke­napa harus naik angkot gelap,” tambahnya.

Menurut Udar, musibah ter­­sebut tidak akan terjadi jika penumpang mengikuti pe­ratu­ran yang ada. Bahkan un­tuk ang­kutan resmi saja, kata dia, pe­numpang juga harus was­pada.

“Jangan naik angkot yang sopirnya tidak pakai seragam. Yang angkotnya ilegal. Kalau warganya saja tidak perhatikan hal itu yah mereka (sopir) nggak akan kapok-kapok,” jelasnya.

Beberapa penumpang yang menjadi korban perampokan, pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan karena menaiki angkutan umum yang bukan rutenya. Aksi kejahatan itu di­akukan sopir tembak dan kom­plotannya.

Kemenhub Tak Bisa Menindak

Omprengan Berpelat Hitam

Kementerian Perhubu­ngan tak bisa menindak ompre­ngan yang banyak beroperasi di jalan. Alasannya, mobil yang di­jadikan omprengan itu ber­pe­lat hitam, bukan kuning.

“Yang di bawah koordinasi kami adalah angkutan yang ber­pelat kuning,” kata Bambang S Ervan, Juru Bicara Kementerian Perhubungan.

Menurut dia, penertiban mo­bil-mobil berpelat hitam adalah kewenangan polisi, bukan Ke­menterian Perhubungan ata­u­pun Dinas Perhubungan.

“Kendaraan pribadi yang dijadikan angkutan umum, jelas melanggar. Ini tugas kepolisian untuk menindaknya. Karena sudah mengalihfungsikan ken­daraannya secara ilegal,” kata Bambang.

Kementerian Perhubungan hanya bisa menindak angkutan umum yang memiliki izin tra­yek. “Kita yang mengeluarkan izin trayek. Kita pula yang ber­hak untuk mencabutnya. Ma­ka­nya kalau angkutan resmi, kita bisa tertibkan. Tapi kalau yang pelat hitam, itu bukan ke­we­nangan kami,” katanya lagi.

Walaupun tak bisa menindak, Kementerian Perhubungan atau­pun Dinas Perhubungan bisa membantu mengurangi me­rajalelanya omprengan. Asalkan sopir angkutan umum yang merasa dirugikan dengan keberadaan omprengan ini me­laporkannya ke Dinas Per­hubungan.

“Nanti Dinas Perhubungan bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk melakukan penertiban. Jadi, harus bekerja sama dengan polisi untuk m­e­nertibkan pelat hitam ini,” te­gasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA