Toyota New Camry hitam bernomor B 1800 RFS menempati tempat parkir khusus di depan Gedung G Mahkamah Agung (MA) di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Dari pelatnya, bisa diketahui bahwa mobil buatan tahun 2008 itu merupakan kendaraan dinas. Mobil berkapasitas mesin 3.500 cc itu tampak paling mewah diÂbandingkan mobil-mobil lain yang menempati area parkir khuÂsus gedung G. Tiga mobil yang parkir di sebelahnya Toyota CoÂrolla Altis buatan tahun 2003.
Area parkir khusus di sini diÂberi label nama jabatan yang berÂhak menempatinya. Camry itu menempati tempat parkir yang diberi tulisan “Sekretarisâ€. TuliÂsan dibuat dengan cat putih deÂngan latar hitam. Dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa moÂbil ini merupakan tunggangan Sekretaris MA, Nurhadi.
Halaman di kompleks MA meÂmang telah dipetak-petak untuk tempat parkir khusus mobil-moÂbil pejabatnya. Area di samping kiri gedung utama jadi tempat parÂkir khusus hakim agung.
MoÂbil-mobil yang di parkir di sini seÂbaÂgian besar Altis. Ada yang moÂdel baru maupun lama. Altis ini kendaraan dinas para hakim agung.
Perbedaan jenis tunggangan haÂkim agung dengan pejabat eselon I di MA ini kemudian diÂperÂsoalkan Gayus Lumbuun. GaÂyus adalah bekas anggota DPR yang kini jadi hakim agung.
Ia menggugat berbagai fasilitas pejabat sekretariat MA yang diÂnilainya di atas fasilitas hakim agung. Selain soal mobil dinas, GaÂyus juga mempersoalkan perÂbedaan akomodasi perjalanan dinas hakim agung dengan pejaÂbat sekretariat.
Gayus merasakan sendiri perÂbeÂdaan fasilitas ini saat melaÂkuÂkan perjalanan dinas ke Manado, Sulawesi Utara pada 16 Oktober lalu. Perjalanan dinas itu dalam rangka persiapan rapat kerja naÂsional (rakernas) yang bakal digelar 28-31 Oktober.
Dalam penerbangan itu, meÂnurut Gayus, para hakim agung ditempatkan di kelas ekonomi. SeÂmentara pejabat eselon I dan II di kelas bisnis. “Kesan di MA bahÂwa hakim-hakim agung adaÂlah penghuni kelas dua di bawah PNS eselon 1 dan 2,†kata guru beÂsar ilmu hukum yang terkenal biasa bicara blak-blakan ini.
Menurut Gayus, ini melanggar Peraturan Menteri Keuangan NoÂmor 113 Tahun 2012 tentang PerÂjalanan Dinas Dalam Negeri PeÂjabat Negara, Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak Tetap.
Di Pasal 10 Peraturan Menkeu itu disebutkan bahwa biaya perjalanan dinas digolongkan jadi tiga. Tingkat A untuk ketua/wakil ketua dan anggota MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan menÂteri, wakil menteri, pejabat seÂtingÂkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, ketua/wakil ketua/anggota komisi, peÂjabat eselon I serta pejabat lainÂnya yang setara. Sementara TingÂkat B untuk pejabat negara lainÂnya, pejabat eselon II dan pejabat lainnya yang setara.
Berdasarkan aturan ini, hakim agung MA berhak menempati kelas bisnis dalam penerbangan.
Dari sini, Gayus meminta insÂtansi di luar MA untuk melakuÂkan audit terhadap keduangan MA. “Perlu ada pengawasan eksÂternal terhadap kebijakan angÂgaÂran yang digunakan di MA. KaÂlau perlu diaudit,†katanya.
Menurut dia, akar masalah tiÂdak transparannya keuangan MA karena pengelolaan administrasi dan tata kelola MA ditangani SekÂretaris yang berstatus PNS. Ini membuat kebijakan keuangan MA jadi tidak transparan dan tidak mendorong semangat kerja para hakim.
“Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan MA mengatur secara mandiri dalam hal kebijakan administrasi dan keÂuangan. Selama ini SekretaÂris MA dijabat hakim. Baru pada periode ini dipimpin PNS,†kata Gayus.
Sebagai pemegang tata kelola keuangan, Sekretaris MA mengaÂtur semua hal hingga masalah adÂmiÂnistrasi yang sepele. SekÂreÂtaris, kata Gayus, juga memegang peran dominan mengenaki keÂbijakan anggaran dan alokasi angÂgaran kepada pegawai.
“Perlu segera dilakukan pemÂbenahan untuk menghilangkan kesan hakim agung warga kelas dua di MA. Hal ini untuk memÂbangun semangat kerja yang baik di kalangan para hakim agung dan PNS yang sesungguhnya kÂeÂlompok eksekutif yang ditemÂpatÂkan di wilayah kerja yudikatif,†kata Gayus.
Jika hal ini terus dibiarkan, GaÂyus khawatir MA akan terpÂuruk. Sebab sejak dari zaman dulu, Sekretaris MA dipegang hakim seÂhingga bisa memahami keÂmauan dan kebutuhan hakim agung untuk menunjang kinerjanya.
“Kesan yang ada di MA, hakim agung yang merupakan organ utama di MA yang perlu dibantu oleh PNS eselon 1 dan 2 dan staf-staf yang notabene PNS itu hanya sebagai organ pendukung (auxiÂliary organ),†katanya lagi.
Dalam perjalanan dinas, Gayus mengamati hanya mengajak orang itu-itu saja. Ia bukan hanya sekali-dua kali mengamati. “Itu-itu saja deÂngan diikutsertakan staf-staf eseÂlon 1 dan 2 dengan alaÂsan yang tiÂdak transparan,†katanya.
Gayus Didukung KY
Soal Audit Keuangan MA
Komisi Yudisial (KY) menÂdukung permintaan hakim agung Gayus Lumbuun agar keuangan MA diaudit. Komisi yang meÂngaÂwasi para hakim itu menilai sudah selayaknya fasilitas untuk haÂkim agung lebih tinggi dari staf.
“Saya seribu persen sepenÂdaÂpat dengan usulan hakim agung tersebut,†kata Suparman MarÂzuÂki, anggota KY.
Menurutnya, sudah menjadi raÂhasia umum jika hakim agung menjadi warga kelas dua di MA. Ruang kerja dan fasilitas yang didapat kalah jauh dibanding PNS yang di tempatkan di lemÂbaga legislatif itu. “Hakim harus didudukkan sebagai warga terÂhormat.â€
Audit keuangan itu bukan haÂnya dilakukan BPK tapi juga oleh auditor independen. Ini untuk meÂnumbuhkan kepercayaan maÂsyarakat terhadap birokrasi di MA. Apalagi birokrasi itu meÂmeÂgang anggaran yang sangat besar. “Di semua lembaga lain kan suÂdah diaudit. Demikian juga MA, harus transparan dan akuntabel,†pinta Suparman.
Ia meminta hakim agung lainÂnya mengamini dan mendukung apa yang dicetuskan Gayus LumÂbuun. Menurut dia, Ketua MA juga harus segera membuat keÂbiÂjakan untuk memerintahkan keÂuangan MA diaudit secara transparan.
Juru Bicara KY, Asep Rakhmat FaÂjar yakin Ketua MA Hatta Ali pasti akan merespons keluhan dan kritik Gayus Lumbuun. “SeÂmoga bisa mendapatkan solusi yang seÂsuai dengan peraturan,†katanya.
Menurut dia, pada dasarnya seÂtiap lembaga harus diaudit pihak eksternal. Tugas itu selama ini suÂdah dilakukan BPK.
Asep mengapresiasi bila MA mau melakukan audit agar akunÂtabilitas pengelolaan keuÂanÂganÂnya bisa terjaga.
Pengamat hukum Universitas Trisakti Asep Iwan Iriawan meÂnilai fasilitas untuk hakim agung harus lebih tinggi dari pegawai MA. Profesi hakim adalah terÂhormat. Makanya kerap diÂpangÂgil “Yang Muliaâ€.
“Kalau wakil Tuhan (hakim) itu lebih tinggi fasilitasnya haÂsilnya nanti lebih bagus,†kata beÂkas hakim itu.
Ia berharap bila hakim agung sudah memperoleh fasilitas yang bagus, maka kinerjanya harus lebih bagus juga. “Jadi harus diÂtunÂjukkan dengan prestasi,†ujarnya.
Asep mendukung gerakan bersih-bersih MA yang digagas Gayus. Untuk mendukung geraÂkan itu, ia menyarankan hakim lebih dulu instropeksi.
“Jadi kalau mau bersih-bersih dari diri sendiri saja dulu. Saya meÂlihat Ketua MA Hatta Ali meÂmiÂliki modal untuk menjadi peÂmimÂÂpin yang baik,†katanya.
Ada Apa Djoko Sarwoko Bela Sekretaris MA?
Samakan Dengan Dahlan Iskan
Perang mulut soal perbedaan fasilitas ini bukan hanya antara Gayus Lumbuun dengan SekÂretaris MA Nurhadi, juga dengan Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko.
Djoko yang ditunjuk sebagai juru bicara MA ini membela NurÂhadi yang diserang Gayus. “Jika dia (Gayus) tidak suka dengan kondisi MA sekarang ya keluar sajalah. Daripada membangun permusuhan dan kinerja MA tiÂdak kondusif,†katanya seperti diÂkutip media online.
Ia menuding Gayus masih berÂgaya politis. Kecewa karena gaÂgal jadi pimpinan MA lalu berÂkoar-koar. “Kalau Gayus LumÂbuÂun dari anggota DPR pindah ke MA yang harapannya mau menÂjadi pimpinan tetapi ternyata tidak laku. Jadi dia kecewa berat lalu menciptakan konflik,†kata Djoko yang berlatar belakang hakim karier ini.
Tak hanya itu, Djoko juga meÂnilai ucapan Gayus seperti ungÂkapan orang gila hormat. “Gayus Lumbuun ngawur itu. Saya sudah delapan tahun jadi hakim agung tidak pernah merasa dinomorÂduakan karena saya tidak gila hormat,†katanya.
Mengenai Nurhadi, Djoko meÂnilai sebagai pegawai yang berÂpresÂtasi dan berdedikasi tinggi. “Nurhadi itu sudah berbuat baÂnyak demi lembaga demi,†belanya.
Djoko merasa tersinggung ketika Nurhadi dituding tidak transparan dalam mengelola keÂuangan MA. “Karena saya ikut membina Nurhadi. Saya ikut sakit hati juga,†kata Djoko.
Gayus heran dengan sikap Djoko yang membela Nurhadi sampai memintanya keluar dari MA. “Saya hanya berusaha meÂnyampaikan pendapat saya seÂbagai bentuk kritik. Kenapa dia (Djoko) meminta saya keluar dari MA? Memangnya MA ini punya dia?†kata Gayus.
“Komentar Djoko Sarwoko yang menganjurkan saya keluar dari MA menunjukkan Djoko tidak mau melihat perlunya perubahan di MA,†anggap Gayus.
“Itu Kebijakan Pimpinan Lamaâ€
Bagaimana tanggapan SekÂretaris MA Nurhadi? Ia menÂjelas sesuai aturan, ketua dan wakil ketua MA mendapat ToÂyota Royal Crown. Pejabat eseÂlon I menggunakan Toyota CamÂry. Sedangkan hakim ToÂyota Altis.
Kenapa kendaraan dinas sekÂretaris lebih bagus dari hakim agung? “(Itu) bukan kebijakan seÂkretaris. Itu kebijakan pimÂpinan (yang) dulu,†kata NurÂhadi seperti dikutip media online.
Mengenai perbedaan akoÂmoÂdasi perjalanan dinas yang diÂkeÂluhkan Gayus saat ke MaÂnaÂdo, Nurhadi berdalih ini karena penerbangannya terbatas. AkiÂbatnya ada hakim agung yang ditempatkan di kelas ekonomi. “Kalau ke Surabaya kan baÂnyak. Itu bisa tertampung seÂmua,†katanya.
Menurut Nurhadi, hanya GaÂyus yang protes soal ini. “SeÂmua hakim agung tidak ada yang protes dan mengerti kalau ini menggunakan maskapai penerÂbangan yang terbatas,†ujarnya.
Ia membantah menempatkan hakim agung sebagai warga keÂlas dua di MA. Lagi-lagi dia meÂnyebut hanya Gayus yang mengeluhkan itu. “Yang lainnya tidak ada. Tanyakan ke hakim agung yang lain. Justru saya meÂlakukan perubahan besar di sini. Saya mendorong keseÂjaÂhÂteraan,†katanya.
Nurhadi mengklaim fasiliÂtasÂnya untuk hakim agung sudah banyak bertambah. Hakim agung bukan kelas dua, tapi suÂper kelas satu. “Perubahan itu, bukan saya membela diri. Fakta itu,†katanya.
Perubahan itu, papar NuÂrÂhadi, mulai dari hal sepele uruÂsan makan sampai pengamanan diri hakim agung. Fasilitas itu, kata dia, belum pernah ada sebeÂlum dirinya jadi Sekretaris MA.
“Justru dulu pimpinan hakim agung nggak makan siang, seÂkarang bisa makan siang. Dulu pimpinan tidak ada pengawal, saya yang mengadakan pengaÂwal. Justru periode ini yang banÂyak perubahan,†katanya.
Mengenai tudingan pengeloÂlaan keuangan MA yang tidak transparan, Nurhadi memÂbanÂtahnya. “Saya kaget, di mana leÂtak tidak transparannya,†katanya.
Ia pun siap berdebat dengan Gayus mengenai penggunaan anggaran. Ia merasa telah meneÂrapkan prinsip transparansi seÂsuai regulasi yang berlaku. “ConÂÂtoh, adanya Tim Evaluasi Penggunaan Anggaran (TEPA). Setiap sebulan dua atau tiga kali kami melakukan rekonsiliasi,†katanya.
Penggunaan anggaran itu, lanjut Nurhadi, dipantau Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Juga diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.
“Audit BPK selalu memantau penggunaan anggaran, dan seÂtiap tahun kami membuat laÂpoÂran tahunan, di dalamnya ada laporan keuangan dan di-pubÂlish ke publik,†katanya.
Nurhadi menantang pihak luar untuk mengawasi pengÂguÂnaan anggaran di MA. “Silakan audit. Siapa saja. Saya tidak perÂnah takut. Coba tanya kepada haÂkim itu (Gayus) tidak transÂpaÂrannya di mana? Saya berani debat,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: