Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

PNS Naik Camry, Hakim Agung Altis

Diprotes, Perbedaan Fasilitas Di MA

Sabtu, 27 Oktober 2012, 10:39 WIB
PNS Naik Camry, Hakim Agung Altis
Toyota New Camry dan Toyota Co­rolla Altis

rmol news logo Toyota New Camry hitam bernomor B 1800 RFS menempati tempat parkir khusus di depan Gedung G Mahkamah Agung (MA) di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Dari pelatnya, bisa diketahui bahwa mobil buatan tahun 2008 itu merupakan kendaraan dinas. Mobil berkapasitas mesin 3.500 cc itu tampak paling mewah di­bandingkan mobil-mobil lain yang menempati area parkir khu­sus gedung G. Tiga mobil yang parkir di sebelahnya Toyota Co­rolla Altis buatan tahun 2003.

Area parkir khusus di sini di­beri label nama jabatan yang ber­hak menempatinya. Camry itu menempati tempat parkir yang diberi tulisan “Sekretaris”. Tuli­san dibuat dengan cat putih de­ngan latar hitam. Dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa mo­bil ini merupakan tunggangan Sekretaris MA, Nurhadi.

Halaman di kompleks MA me­mang telah dipetak-petak untuk tempat parkir khusus mobil-mo­bil pejabatnya. Area di samping kiri gedung utama jadi tempat par­kir khusus hakim agung.

Mo­bil-mobil yang di parkir di sini se­ba­gian besar Altis. Ada yang mo­del baru maupun lama. Altis ini kendaraan dinas para hakim agung.

Perbedaan jenis tunggangan ha­kim agung dengan pejabat eselon I di MA ini kemudian di­per­soalkan Gayus Lumbuun. Ga­yus adalah bekas anggota DPR yang kini jadi hakim agung.

Ia menggugat berbagai fasilitas pejabat sekretariat MA yang di­nilainya di atas fasilitas hakim agung. Selain soal mobil dinas, Ga­yus juga mempersoalkan per­bedaan akomodasi perjalanan dinas hakim agung dengan peja­bat sekretariat.

Gayus merasakan sendiri per­be­daan fasilitas ini saat mela­ku­kan perjalanan dinas ke Manado, Sulawesi Utara pada 16 Oktober lalu. Perjalanan dinas itu dalam rangka persiapan rapat kerja na­sional (rakernas) yang bakal digelar 28-31 Oktober.

Dalam penerbangan itu, me­nurut Gayus, para hakim agung ditempatkan di kelas ekonomi. Se­mentara pejabat eselon I dan II di kelas bisnis. “Kesan di MA bah­wa hakim-hakim agung ada­lah penghuni kelas dua di bawah PNS eselon 1 dan 2,” kata guru be­sar ilmu hukum yang terkenal biasa bicara blak-blakan ini.

Menurut Gayus, ini melanggar Peraturan Menteri Keuangan No­mor 113 Tahun 2012 tentang Per­jalanan Dinas Dalam Negeri Pe­jabat Negara, Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak Tetap.

Di Pasal 10 Peraturan Menkeu itu disebutkan bahwa biaya perjalanan dinas digolongkan jadi tiga. Tingkat A untuk ketua/wakil ketua dan anggota MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan men­teri, wakil menteri, pejabat se­ting­kat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, ketua/wakil ketua/anggota komisi, pe­jabat eselon I serta pejabat lain­nya yang setara. Sementara Ting­kat B untuk pejabat negara lain­nya, pejabat eselon II dan pejabat lainnya yang setara.

Berdasarkan aturan ini, hakim agung MA berhak menempati kelas bisnis dalam penerbangan.

Dari sini, Gayus meminta ins­tansi di luar MA untuk melaku­kan audit terhadap keduangan MA. “Perlu ada pengawasan eks­ternal terhadap kebijakan ang­ga­ran yang digunakan di MA. Ka­lau perlu diaudit,” katanya.

Menurut dia, akar masalah ti­dak transparannya keuangan MA karena pengelolaan administrasi dan tata kelola MA ditangani Sek­retaris yang berstatus PNS. Ini membuat kebijakan keuangan MA jadi tidak transparan dan tidak mendorong semangat kerja para hakim.

“Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan MA mengatur secara mandiri dalam hal kebijakan administrasi dan ke­uangan. Selama ini Sekreta­ris MA dijabat hakim. Baru pada periode ini dipimpin PNS,” kata Gayus.

Sebagai pemegang tata kelola keuangan, Sekretaris MA menga­tur semua hal hingga masalah ad­mi­nistrasi yang sepele. Sek­re­taris, kata Gayus, juga memegang peran dominan mengenaki ke­bijakan anggaran dan alokasi ang­garan kepada pegawai.

“Perlu segera dilakukan pem­benahan untuk menghilangkan kesan hakim agung warga kelas dua di MA. Hal ini untuk mem­bangun semangat kerja yang baik di kalangan para hakim agung dan PNS yang sesungguhnya k­e­lompok eksekutif yang ditem­pat­kan di wilayah kerja yudikatif,” kata Gayus.

Jika hal ini terus dibiarkan, Ga­yus khawatir MA akan terp­uruk. Sebab sejak dari zaman dulu, Sekretaris MA dipegang hakim se­hingga bisa memahami ke­mauan dan kebutuhan hakim agung untuk menunjang kinerjanya.

“Kesan yang ada di MA, hakim agung yang merupakan organ utama di MA yang perlu dibantu oleh PNS eselon 1 dan 2 dan staf-staf yang notabene PNS itu hanya sebagai organ pendukung (auxi­liary organ),” katanya lagi.

Dalam perjalanan dinas, Gayus mengamati hanya mengajak orang itu-itu saja. Ia bukan hanya sekali-dua kali mengamati. “Itu-itu saja de­ngan diikutsertakan staf-staf ese­lon 1 dan 2 dengan ala­san yang ti­dak transparan,” katanya.

Gayus Didukung KY

Soal Audit Keuangan MA

Komisi Yudisial (KY) men­dukung permintaan hakim agung Gayus Lumbuun agar keuangan MA diaudit. Komisi yang me­nga­wasi para hakim itu menilai sudah selayaknya fasilitas untuk ha­kim agung lebih tinggi dari staf.

“Saya seribu persen sepen­da­pat dengan usulan hakim agung tersebut,” kata Suparman Mar­zu­ki, anggota KY.

Menurutnya, sudah menjadi ra­hasia umum jika hakim agung menjadi warga kelas dua di MA. Ruang kerja dan fasilitas yang didapat kalah jauh dibanding PNS yang di tempatkan di lem­baga legislatif itu. “Hakim harus didudukkan sebagai warga ter­hormat.”

Audit keuangan itu bukan ha­nya dilakukan BPK tapi juga oleh auditor independen. Ini untuk me­numbuhkan kepercayaan ma­syarakat terhadap birokrasi di MA. Apalagi birokrasi itu me­me­gang anggaran yang sangat besar. “Di semua lembaga lain kan su­dah diaudit. Demikian juga MA, harus transparan dan akuntabel,” pinta Suparman.

Ia meminta hakim agung lain­nya mengamini dan mendukung apa yang dicetuskan Gayus Lum­buun. Menurut dia, Ketua MA juga harus segera membuat ke­bi­jakan untuk memerintahkan ke­uangan MA diaudit secara transparan.

Juru Bicara KY, Asep Rakhmat Fa­jar yakin Ketua MA Hatta Ali pasti akan merespons keluhan dan kritik Gayus Lumbuun. “Se­moga bisa mendapatkan solusi yang se­suai dengan peraturan,” katanya.

Menurut dia, pada dasarnya se­tiap lembaga harus diaudit pihak eksternal. Tugas itu selama ini su­dah dilakukan BPK.

Asep mengapresiasi bila MA mau melakukan audit agar akun­tabilitas pengelolaan keu­an­gan­nya bisa terjaga.

Pengamat hukum Universitas Trisakti Asep Iwan Iriawan me­nilai fasilitas untuk hakim agung harus lebih tinggi dari pegawai MA. Profesi hakim adalah ter­hormat. Makanya kerap di­pang­gil “Yang Mulia”.

“Kalau wakil Tuhan (hakim) itu lebih tinggi fasilitasnya ha­silnya nanti lebih bagus,” kata be­kas hakim itu.

Ia berharap bila hakim agung sudah memperoleh fasilitas yang bagus, maka kinerjanya harus lebih bagus juga. “Jadi harus di­tun­jukkan dengan prestasi,” ujarnya.

Asep mendukung gerakan bersih-bersih MA yang digagas Gayus. Untuk mendukung gera­kan itu, ia menyarankan hakim lebih dulu instropeksi.

“Jadi kalau mau bersih-bersih dari diri sendiri saja dulu. Saya me­lihat Ketua MA Hatta Ali me­mi­liki modal untuk menjadi pe­mim­­pin yang baik,” katanya.

Ada Apa Djoko Sarwoko Bela Sekretaris MA?

Samakan Dengan Dahlan Iskan

Perang mulut soal perbedaan fasilitas ini bukan hanya antara Gayus Lumbuun dengan Sek­retaris MA Nurhadi, juga dengan Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko.

Djoko yang ditunjuk sebagai juru bicara MA ini membela Nur­hadi yang diserang Gayus. “Jika dia (Gayus) tidak suka dengan kondisi MA sekarang ya keluar sajalah. Daripada membangun permusuhan dan kinerja MA ti­dak kondusif,” katanya seperti di­kutip media online.

Ia menuding Gayus masih ber­gaya politis. Kecewa karena ga­gal jadi pimpinan MA lalu ber­koar-koar. “Kalau Gayus Lum­bu­un dari anggota DPR pindah ke MA yang harapannya mau men­jadi pimpinan tetapi ternyata tidak laku. Jadi dia kecewa berat lalu menciptakan konflik,” kata Djoko yang berlatar belakang hakim karier ini.

Tak hanya itu, Djoko juga me­nilai ucapan Gayus seperti ung­kapan orang gila hormat. “Gayus Lumbuun ngawur itu. Saya sudah delapan tahun jadi hakim agung tidak pernah merasa dinomor­duakan karena saya tidak gila hormat,” katanya.

Mengenai Nurhadi, Djoko me­nilai sebagai pegawai yang ber­pres­tasi dan berdedikasi tinggi. “Nurhadi itu sudah berbuat ba­nyak demi lembaga demi,” belanya.

Djoko merasa tersinggung ketika Nurhadi dituding tidak transparan dalam mengelola ke­uangan MA. “Karena saya ikut membina Nurhadi. Saya ikut sakit hati juga,” kata Djoko.

Gayus heran dengan sikap Djoko yang membela Nurhadi sampai memintanya keluar dari MA. “Saya hanya berusaha me­nyampaikan pendapat saya se­bagai bentuk kritik. Kenapa dia (Djoko) meminta saya keluar dari MA? Memangnya MA ini punya dia?” kata Gayus.

“Komentar Djoko Sarwoko yang menganjurkan saya keluar dari MA menunjukkan Djoko tidak mau melihat perlunya perubahan di MA,” anggap Gayus.

“Itu Kebijakan Pimpinan Lama”

Bagaimana tanggapan Sek­retaris MA Nurhadi? Ia men­jelas sesuai aturan, ketua dan wakil ketua MA mendapat To­yota Royal Crown. Pejabat ese­lon I menggunakan Toyota Cam­ry. Sedangkan hakim To­yota  Altis.

Kenapa kendaraan dinas sek­retaris lebih bagus dari hakim agung? “(Itu) bukan kebijakan se­kretaris. Itu kebijakan pim­pinan (yang) dulu,” kata Nur­hadi seperti dikutip media online.

Mengenai perbedaan ako­mo­dasi perjalanan dinas yang di­ke­luhkan Gayus saat ke Ma­na­do, Nurhadi berdalih ini karena penerbangannya terbatas. Aki­batnya ada hakim agung yang ditempatkan di kelas ekonomi. “Kalau ke Surabaya kan ba­nyak. Itu bisa tertampung se­mua,” katanya.

Menurut Nurhadi, hanya Ga­yus yang protes soal ini. “Se­mua hakim agung tidak ada yang protes dan mengerti kalau ini menggunakan maskapai pener­bangan yang terbatas,” ujarnya.

Ia membantah menempatkan hakim agung sebagai warga ke­las dua di MA. Lagi-lagi dia me­nyebut hanya Gayus yang mengeluhkan itu. “Yang lainnya tidak ada. Tanyakan ke hakim agung yang lain. Justru saya me­lakukan perubahan besar di sini. Saya mendorong kese­ja­h­teraan,” katanya.

Nurhadi mengklaim fasili­tas­nya untuk hakim agung sudah banyak bertambah. Hakim agung bukan kelas dua, tapi su­per kelas satu. “Perubahan itu, bukan saya membela diri. Fakta itu,” katanya.

Perubahan itu, papar Nu­r­hadi,  mulai dari hal sepele uru­san makan sampai pengamanan diri hakim agung. Fasilitas itu, kata dia, belum pernah ada sebe­lum dirinya jadi Sekretaris MA.

“Justru dulu pimpinan hakim agung nggak makan siang, se­karang bisa makan siang. Dulu pimpinan tidak ada pengawal, saya yang mengadakan penga­wal. Justru periode ini yang ban­yak perubahan,” katanya.

Mengenai tudingan pengelo­laan keuangan MA yang tidak transparan, Nurhadi mem­ban­tahnya. “Saya kaget, di mana le­tak tidak transparannya,” katanya.

Ia pun siap berdebat dengan Gayus mengenai penggunaan anggaran. Ia merasa telah mene­rapkan prinsip transparansi se­suai regulasi yang berlaku. “Con­­toh, adanya Tim Evaluasi Penggunaan Anggaran (TEPA). Setiap sebulan dua atau tiga kali kami melakukan rekonsiliasi,” katanya.

Penggunaan anggaran itu, lanjut Nurhadi, dipantau Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Juga diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.

“Audit BPK selalu memantau penggunaan anggaran, dan se­tiap tahun kami membuat la­po­ran tahunan, di dalamnya ada laporan keuangan dan di-pub­lish ke publik,” katanya.

Nurhadi menantang pihak luar untuk mengawasi peng­gu­naan anggaran di MA. “Silakan audit. Siapa saja. Saya tidak per­nah takut. Coba tanya kepada ha­kim itu (Gayus) tidak trans­pa­rannya di mana? Saya berani debat,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA