WAWANCARA

Meutia Hatta: Stop Kekerasan Siswa Dengan Solusi Jitu...

Rabu, 03 Oktober 2012, 09:00 WIB
Meutia Hatta: Stop Kekerasan Siswa Dengan Solusi Jitu...
Meutia Hatta

rmol news logo Kekerasan pelajar terus terjadi. Seakan tidak ada upaya jitu untu mencegah jatuhnya korban. Yang ada hanya saling menyalahkan.

Menanggapi hal itu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Meutia Hatta me­minta semua pihak terkait men­cari solusi jitu mencegah ke­ke­rasan itu.

”Stop kekerasan siswa. Se­mua­nya harus introspeksi diri. Lalu men­cari solusi yang jitu,’’ kata Me­utia Hatta kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Menurut putri proklamator Bung Hatta itu, guru harus mam­pu melakukan komunikasi per­so­nal dan melakukan bimbingan le­bih optimal terhadap peserta didik.

”Saya melihat anak didik kita mengalami stres komulatif. Be­ban pelajarannya sangat berat. Padahal, ada pelajaran yang tidak menarik. Akhirnya stres dan me­lakukan tindakan destruktif,’’ pa­parnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa Anda bilang ada stres komulatif?

Saya saudah meneliti, saat ini terlalu banyak bahan yang harus dipahami anak-anak. Mereka  dipaksa untuk tahu semua pelajar­an.

 Terjadi tekanan mental, se­hinga mudah marah, agresif dan me­rusak.

Apa pelajaran yang tidak menarik itu?

Mata pelajaran  dalam satu s­e­mes­ter terlalu banyak. Apalagi ti­dak ada bimbingan yang mak­si­mal dari guru, sehingga kurang mendapatkan penjelasan menge­nai mata pelajaran yang diajar­kan, terutama kepada anak yang merasa kesulitan memahami. Ini menimbulkan stres. Apalagi da­lam satu semester menda­pat­kan 19 mata pelajaran.

Memang idealnya berapa?

Idealnya dalam satu semester tujuh mata pelajaran saja, tapi yang fokus. Terutama pelajaran yang dapat mempersatukan kita dan membina karakter anak bangsa.

Tapi yang lebih bahaya lagi, saya melihat pelajaran Pancasila su­dah terdistorsi. Padahal Pan­ca­sila itu kan instrument untuk me­nyatukan antar bangsa yang berbeda.

Anda bilang, guru kurang me­lakukan komunikasi perso­nal, dalam hal apa itu?

Saya dapat informasi, guru se­karang masuk kelas  dan anak murid disuruh mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS), lalu disuruh mem­buat Pekerjaan Rumah (PR) dan dinilai. Guru  kurang men­jelaskan soal mata pelajaran itu, sehingga pendekatan komunikasi per­sonal kurang. Itu yang perlu di­tingkatkan.

 

Apa media massa, khususnya televisi yang menyuguhkan film  atau sinetron  mengenai ke­kerasan,  mempengaruhi me­reka?

Itu juga mempengaruhi peri­la­k­u anak-anak yang membuat mental keras, agresif dan menga­rah pada perilaku merusak. Ter­lebih pergaulan mereka yang dibiarkan bebas.

Apa Kemendikbud kurang tegas?

Saya kira semua harus in­tros­peksi, tidak bisa lepas tanggung jawab. Apa yang dianggap ku­rang, ya dibenahi. Jangan diam saja.

Ada yang menilai peran orang­tua perlu dimaksimalkan untuk mengawasi anaknya, tan­ggapan Anda?

Saya rasa ini tanggung jawab bersama antara guru dan orangtua untuk memberikan pendidikan. Tidak hanya menggantungkan satu pihak saja.

Selama ini kan antara guru dan orangtua tidak mau mengaku paling bertanggung jawab atas kekerasan siswa.

 

 O ya, apa sekolah yang sis­wa­nya sering tawuran diga­bung menjadi satu?

Saya melihat psikologinya. Ka­lau digabung belum tentu  meng­hasilkan efek yang baik. Kalau digabung malah menjadi parah, tentu bisa rusuh semua. Tidak digabung saja, tawuran. Apalagi digabung, kekerasan bisa masuk ke kelas-kelas.

Apakah kepala sekolah yang siswanya tawuran perlu di­ganti?

Sebuah sekolah memiliki buda­yanya masing-masing. Satu sekolah tentu memiliki ciri khas spe­sifik. Kalau itu menjurus pada hal yang negatif, maka ditata ulang, termasuk mengganti  ke­pala sekolahnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA