Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Warga Meruya Selatan Tak Akan Angkat Kaki

MA Kabulkan Tuntutan Porta Nigra

Selasa, 21 Februari 2012, 09:11 WIB
Warga Meruya Selatan Tak Akan Angkat Kaki
sengketa tanah Warga Meruya Selatan

RMOL. Sodik duduk santai di teras rumahnya di Perumahan Unilever, Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat. Secangkir kopi dan sebuah koran pagi menemaninya melewati senja kemarin.

Dia membolak-balik halaman ko­ran terbitan ibu kota itu. Tak terlihat wajah resah di wajahnya. Pa­dahal, tempat tinggalnya ter­an­cam­ digusur jika Pemerintah DKI Jakarta tak membayar ganti rugi Rp 391 miliar kepada PT Porta Nigra.

Perusahaan itu klaim memiliki 15 hektar lahan di Meruya Se­latan. Tapi dijual pihak lain tanpa persetujuan.

Porta Nigra hendak mengambil lahan yang di atasnya kini telah berubah menjadi pemukiman. Yakni perumahan Unilever, peru­mah­an karyawan wali kota Ja­karta Barat, perumahan DPR 3, pe­­rumahan Mawar, Kavling BRI, Kavling DKI, perumahan Green Villa, dan Intercon Taman Kebon Jeruk.

Ada 5.563 kepala keluarga (KK) atau 21.760 jiwa yang men­diami lahan disengketakan itu. Sejumlah warga memegang ser­tif­ikat atas lahan yang ditempati.

Baru-baru ini tersiar kabar bah­wa Mahkamah Agung (MA) me­ngabulkan gugatan perdata PT Porta Nigra. Putusan perkara no­mor 2971K/PDT /2010 meng­ha­ruskan Pemda DKI membayar ganti rugi material Rp 291 miliar dan immaterial Rp 100 miliar ke­pada Porta Nigra.

Sodik mengaku sudah me­nge­tahui kabar kemenangan Porta Nigra termasuk kemungkinan lahan ini jadi sita jaminan bila Pemda tak membayar ganti rugi.

“Kami tidak akan tinggal diam dengan rencana tersebut dan akan terus mempertahankan tanah yang merupakan haknya,” tegas So­dik yang mengenakan hem putih ini.

Kasus sengketa pernah dibawa kepada DPR. Belakangan, Porta Nigra mengajukan langkah damai dengan warga Meruya Selatan. Salah satu isi perjanjian, lahan yang ditempati warga tak akan dieksekusi.

Kini ancaman eksekusi kem­bali membayangi warga. “Kami dan semua warga di sini siap me­lawan sampai kapanpun,” tegas Sodik.

Seno yang tinggal di peru­mah­an DPR 3 tak khawatir dengan an­caman eksekusi itu. “Dulu tahun 2007 mereka sudah berjanji tidak akan menggusur seluruh rumah yang ada di komplek DPR 3,” kata dia.

Pria yang sudah tinggal di pe­ru­mahan ini sejak 1984 ini me­ngatakan Porta Nigra pernah mem­buat perjanjian dihadapan ang­gota DPR dan Setjen DPR ti­dak akan mengusik pemukiman warga.

“Kalau mereka (PT Porta Nig­ra) masih mengingkari kese­pa­kat­an tersebut, tinggal kita tun­juk­kan dokumen perjanjian yang dulu pernah disepakati,” kata pen­siunan pegawai Setjen DPR ini.

Seno menuturkan, saat ini jum­lah rumah yang berada di kom­plek ini sebanyak 50 rumah de­ngan 50 kepala keluarga. “Du­lu­nya cuma 34 rumah, seiring ber­tambahnya tahun jadi semakin banyak,” katanya.

Ia belum tahu apa yang bakal dilakukan warga jika tempat tinggal mereka dieksekusi. “Saya serahkan ke Setjen DPR yang pu­nya tanah ini. Saya tinggal me­ngikuti saja bagaimana nan­ti­nya,” tutup pria berkulit gelap ini.

Pengamatan Rakyat Merdeka, di atas lahan yang diklaim Porta Nigra sebagai miliknya telah ber­diri pemukiman padat penduduk.

Di perumahan DPR 3 dan pe­rumahan Unilever rumah-rumah ber­diri berhimpitan. Nyaris tak ada lahan tersisa selain peka­rangan.

Kehidupan di dua perumahan ini terlihat normal. Tak terlihat tan­da-tanda kepanikan bakal di­gu­sur. Pada 2007 lalu di sejumlah su­dut perumahan ini dipasang span­duk yang menolak peng­gu­sur­an.

Lahan yang disengketakan juga meliputi Meruya Residence, salah satu pemukiman elite di Ja­karta Barat. Gerbang besar me­nyambut setiap orang yang hen­dak memasuki perumahan ini.

Setiap pengunjung yang akan ma­suk ke komplek harus men­da­pat izin dari pemilik rumah. Bila tidak ada, jangan diharap di­per­bolehkan masuk hunian eksklusif ter­sebut. Rumah-rumah di sini se­muanya berlantai dua.

Petugas keamanan di gerbang pe­rumahan yang ditemui tak tahu mengenai kasus sengketa lahan di sini. “Yang saya dengar yang akan digusur perumahan warga yang berada di belakang kom­pleks ini,” kata penjaga yang ber­kulit gelap.

Gubernur DKI Fauzi Bowo akan melakukan perlawanan ter­hadap putusan MA yang menga­bulkan gugatan perdata Porta Nigra. “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera akan mengajukan perlawanan hukum berupa Pe­ninjauan Kembali (PK) atas pu­tusan MA tersebut,” katanya.

Fauzi meminta warga Meruya Selatan tetap tenang meskipun MA memenangkan gugatan Porta Nig­ra terkait sengketa lahan tersebut.

Ia berjanji Pemprov tidak akan tinggal diam. “Saya tetap akan berjuang dan maju terus pantang mundur bersama-sama dengan masyarakat dengan melakukan upaya-upaya hukum yang ada,” katanya.

Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Sri Rahayu menyampaikan, putusan MA yang mengabulkan gugatan perdata PT Porta Nigra hanyalah satu dari tiga perkara yang berkaitan dengan sengketa lahan di Meruya Selatan. Dua perkara lainnya masih berproses di ranah hukum.

Menurut Sri Rahayu, sebelum melakukan perlawanan hukum pihaknya perlu membaca dulu putusan kasasi MA.

Oleh karena itu, dia meminta masyarakat tetap tenang karena peluang untuk memenangkan perkara ini masih terbuka.

Sebelumnya, gugatan Pemda DKI terhadap Porta Nigra sempat dimenangkan di tingkat penga­dilan pertama maupun banding. Namun putusan itu tak bisa dilaksanakan karena Porta Nigra mengajukan kasasi.

Porta Nigra:

Putusan Kasasi Bisa Dilaksanakan

Langkah Gubernur DKI Fauzi Bowo yang hendak me­ngajukan peninjauan kembali (PK) akan menyurutkan kei­ngin­an PT Porta Nigra untuk se­gera mengeksekusi putusan kasasi MA.

“Sesuai aturan hukum yang ber­laku, PK tidak meng­ham­bat putusan kasasi Mahkamah Agung,” kata Zerry Safrizal, kuasa hukum Porta Nigra.

Zerry menjelaskan dalam putusan kasasi MA, Pemda DKI Jakarta diharuskan mem­bayar Rp 391 miliar kepada Porta Nigra. Ini karena Pemda DKI telah menjual tanah milik kliennya kepada banyak pihak.

“Bagaimanapun harus di­cari siapa yang bertanggung jawab. Kami sepakat tanah yang sudah menjadi aset war­ga tidak dipermasalahkan. Tetapi jangan semua kerugian di­bebankan kepada kami,” ka­tanya.

Ajang Kampanye Jelang Pilgub?

Menjelang pemilihan gu­ber­nur (pilgub) DKI Jakarta, warga Meruya Selatan kembali menghadapi ancaman peng­gu­sur­an. Sodik, warga perumahan Uni­lever yang lahannya jadi ob­yek sengketa mengatakan an­cam­an eksekusi itu pernah mun­cul pada 2007. Juga menjelang pilgub.

Ia menceritakan, saat itu be­be­rapa perwakilan warga pe­ru­mahan ini dikumpulkan di Universitas Mercu Buana. Per­te­muan yang membahas ren­cana menghadapi eksekusi ini dihadiri gubernur saat itu, Su­ti­yoso dan wakilnya Fauzi Bowo.

Fauzi yang hendak maju ke pilgub berjanji akan mem­per­juangkan hak-hak warga yang terancam digusur. Dua bulan ke­mudian, Fauzi datang lagi ke sini. Kali ini bersama calon wagub Prijanto.

Fauzi kembali melontarkan janji. “Kami berdua bersama-sama warga Meruya Selatan memperjuangkan hak-haknya atas tanah,” kata dia.

Rencana eksekusi lahan pun pupus. Sodik heran isu eksekusi kembali mencuat menjelang pil­gub. “Padahal sebelumnya tidak ada berita ini,” ujarnya.

Isu eksekusi ini mencuat se­telah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Por­ta Nigra, pihak yang meng­klaim sebagai pemilik lahan.

Gubernur Fauzi Bowo ber­jan­ji pihaknya akan meng­aju­kan peninjauan kembali (PK) untuk membatalkan putusan kasasi itu. Ia meminta warga te­nang. Fauzi disebut-sebut hen­dak maju ke pilgub untuk me­n­jabat gubernur periode kedua.

Pihak Porta Nigra mene­gas­kan perkara ini berkaitan de­ngan Pemda DKI, tak meli­bat­kan masyarakat. “Kok aneh ya, Gubernur DKI Jakarta dalam pernyataannya membawa-bawa na­ma masyarakat. Padahal ka­mi sangat menghormati ke­pu­tusan perdamaian antara kami de­ngan warga. Dan kese­pa­katan itu tidak bisa diganggu gugat dan kami memegang itu. Kalau yang saat ini kan antara kami dengan Pemprov DKI,” kata Zerry Safrizal, kuasa hu­kum Porta Nigra.

Dalam salinan yang dipegang kuasa hukum, Pemda DKI harus membayar ganti rugi Rp 391 miliar kepada Porta Nigra.

Kepala Bidang Informasi Publik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kur­nia membantah ada politisasi kasus sengketa lahan di Meruya Selatan. “Ini murni putusan pengadilan dan bukan upaya dari kita,” katanya.

Dia mengatakan, rencana eksekusi itu muncul kebetulan saja karena putusan MA keluar men­jelang pilgub. “Doakan saja moga-moga di tingkat PK, ka­mi bisa menang,” kata dia.

Akibat Mandor Ingkar Janji

Tahun 1972-1973, PT Porta Nigra melakukan pembebasan tanah di Kelurahan Meruya Udik, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sekarang di­kenal sebagai Kelurahan Me­ruya Selatan.

Setahun kemudian pada 1974 sampai 1977, tanah dijual kem­ba­li Juhri yang mengaku se­ba­gai mandor dan koordinator war­ga dengan bekerja sama de­ngan Lurah Meruya Udik, Asmat bin Siming.

Tanah dijual dengan meng­gu­nakan surat-surat palsu kepada Pemda DKI seluas 15 hektar de­ngan alasan untuk proyek lintas Tomang. Lalu PT Labrata se­luas 4 hektar, PT Intercon seluas 2 hektar, Copylas seluas 2,5 hektar, Junus Djafar seluas 2,2 hektar dan Koperasi BRI 3,5 hektar.

Tahun 1985, Juhri cs dipi­da­nakan di Pengadilan Negeri Ja­karta Barat. Ia dijatuhi hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Selain itu, Juhri ber­jan­ji akan mengembalikan la­ha­n PT Porta Nigra yang telah di­jual­nya.

Tahun 1996, janji Juhri tidak te­realiasi. Lahan seluas 44 ha te­lah tumbuh menjadi pe­mu­kim­an, sekolah, puskesmas dan gedung pemerintahan. Alhasil, PT Porta Nigra mengajukan gu­gatan perdata ke PN Jakbar.

Tahun 1997, PN Jakbar me­nge­luarkan berita sita jaminan de­ngan perintah untuk mengo­songkan tanah-tanah sengketa dan menyerahkannya kembali kepada PT Porta Nigra dalam kea­daan kosong. Permohonan ini hingga proses kasasi.

Kemudian tahun 2001, Mah­kamah Agung (MA) menge­luarkan putusan Nomor 2863 K/Pdt/1999 tertanggal 26 Juni 2001 yang memenangkan PT Porta Nigra. Di sisi lain, Me­ru­ya Selatan makin ramai dan padat penduduk.

Pada 9 April 2007, PT Porta Nigra mengirimkan permo­honan eksekusi ke PN Jakbar dan dikabulkan.

Kemudian pada 26 April 2007, dua belas instansi di Jakarta Barat melakukan per­temuan dengan Porta Nigra dan disepakati un­tuk mela­­­ku­kan eksekusi 10 RW di Meruya Selatan pada 21 Mei 2007.

Bulan Mei sampai November 2007, terjadi perla­wan­an dari warga. Gubernur Su­tiyoso dan DPRD Jakarta turun tangan. Kasus ini juga di­bawa ke DPR.

Tahun 8 November 2007, PN Jakbar memutuskan kasus Porta Nigra versus warga Meruya Se­latan berakhir damai. Warga tetap berhak menetap di tempat tinggalnya selama ini.

Porta Nigra menerima tetapi tidak ada kata damai untuk la­han Pemprov DKI Jakarta. Porta Nigra pun menggugat Pem­prov DKI Jakarta.

Majelis hakim agung yang di­ketuai M Taufik, Abdul Gani dan Abdul Manan menga­bul­kan gugatan Porta Nigra. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA