Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Wakapolri Koleksi Moge Harley Davidson Klasik Buatan 1936

Hobi Mewah Para Pejabat

Minggu, 05 Februari 2012, 08:54 WIB
Wakapolri Koleksi Moge Harley Davidson Klasik Buatan 1936
ilustrasi, Harley Davidson
RMOL.Pria berkumis rapi itu berdiri di samping Harley Davidson ULH warna merah tahun 1936. Kaki kanannya menekan pedal starter, motor besar buatan Amerika itu pun menyala. Suara bergemuruh keluar dari knalpot yang ceper di bagian ujung saat gas diputar.

Pria itu adalah Wakil Kepala Polri Nanan Soekarna. Saat menghadiri acara pertemuan penggemar motor besar di Parkir Selatan Senayan, Jakarta, September lalu, penampilan orang nomor dua di kepolisian terlihat berbeda.

Dandanan jenderal bintang tiga itu bak biker. Ia mengenakan kaos merah panjang dan celana jeans motif abu-abu. Rompi dengan emblem Harley Davidson me­lapisi dadanya.

Nanan yang pernah jadi kan­didat kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri juga tak lupa mengenakan aksesoris dompet rantai, sabuk kulit berkepala be­sar, sepatu kulit runcing dan kaca mata hitam.

Nanan memang penggemar dan penunggang motor besar. Ia terpilih menjadi ketua umum Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) periode 2011-2016.

Hobi Nanan terhadap motor besar dipersoalkan kalangan wa­kil rakyat. Saat rapat kerja dengan jajaran Polri, Rabu lalu (1/2) ang­gota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan “menyerang” Nanan lantaran dianggap memiliki hobi mewah.

“Semua (hobi) yang mahal-mahal. Kalau bahasa Pak Busyro (pimpinan KPK) menyatakan hedonis, itu hobi yang hedonis se­mua. Mana ada Harley yang har­ganya Rp 20 juta,” kata Trimedya Panjaitan dalam rapat di DPR, Jakarta, Rabu (1/2).

Selain menjabat ketua umum HDCI, Nanan juga menjadi ketua umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan Ketua Umum Per­sa­tu­an Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin).

Melihat banyaknya jabatan yang dipegang Nanan di luar ke­dinasan, Trimedya lalu memp­e­r­tanyakan tugas Nanan sebagai Wakapolri. Menurut dia, tugas Wakapolri sangat banyak karena mengurusi internal institusi.

“Saya nggak tahu apakah Wa­kapolri punya waktu yang besar untuk mengurusi itu semua,” sindirnya.

Anggota Komisi III lainnya, Achmad Basarah menganggap hobi Nanan Sukarna ini jelas melukai perasaan masyarakat banyak. Kebiasaan mengendarai motor besar mewah juga bisa memunculkan kecurigaan.

“Ka­lau sudah demikian akan muncul pertanyaan berikutnya dari mana Nanan memperoleh uangnya?” kata dia.

“Hobi moge Wakapolri bisa me­nyulut kecurigaan publik bahwa Wakapolri tersebut hidup bermewah-mewah karena HD (Harley Davidson) adalah motor dengan harga ratusan juta rupiah per unitnya,” sambung politisi PDIP ini.

Menurut Basarah, kalau meli­hat besaran gaji Wakapolri tak cukup untuk bisa membeli motor mewah tersebut. Tapi mungkin saja, motor itu dibeli dari uang ta­bungan dan usaha yang halal.

“Saat ini adalah situasi di mana semua pejabat negara harus selalu mawas diri dan hati-hati dalam tindak tanduk dan berperilaku di tengah masyarakat agar tidak menimbulkan penilaian buruk yang dapat berimplikasi terhadap citra lembaga yang dipim­pin­nya,” kata Sekretaris Fraksi PDIP ini.

Basarah menyarankan Nanan untuk fokus terhadap tugasnya sebagai Wakapolri dan menang­galkan semua jabatan di luar ke­dinasan. “Sebaiknya fokus men­jalankan tugasnya sebagai Wa­kapolri karena saat ini Polri se­dang menghadapi tantangan yang maha berat dan tidak mudah,” tegasnya.

Tantangan itu yakni men­ci­p­ta­kan rasa aman di masyarakat. Belakangan ini di sejumlah dae­rah terjadi tindakan anarkis yang menyebabkan jatuh korban jiwa maupun harta benda. Kepolisian nyaris tak bisa mencegahnya.

Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga mengritik hobi mewah Waka­polri. “Bisa muncul pertanyaan dari mana membeli moge?” katanya.

Ia juga mempersoalkan duduk­nya Nanan sebagai ketua umum HDCI. “Tentu akan menjadi per­tanyaan, pantaskah polisi yang gajinya kecil itu punya moge dan menjadi ketua organisasi moge. Bukankah hobi moge itu hobinya kalangan jet set, apakah polisi yang bergaji kecil itu mulai ber­gaya jet set,” ujar Neta.

“Itu Semua Amal Ibadah”

Bagaimana Nanan menang­gapi kritik atas hobinya naik Harley Davidson? Baginya hobi ini tidaklah mewah. Kata dia, suka berkendara terhadap motor be­sar tak berarti harus memilikinya.

“Apakah saya harus punya motor (Harley Davidson)? Punya teman saya. Saya bisa pinjam. Tidak bisa kebeli (oleh) saya,” kata Nanan.

Nanan mengaku memiliki sebuah Harley Davidson yang ke­rap dipakai saat klubnya meng­gelar acara. Motor itu keluaran tahun 1980-an. “Tapi meskipun keluaran lama, kondisinya masih bagus. Karena saya rajin untuk merawatnya,” tuturnya.

Ia menjadi ketua perkumpulan Harley Davidson karena posisi ini dianggap memiliki hubungan de­ngan tugasnya sebagai polisi.

Sebagai ketua umum HDCI, Nanan bisa mengimbau kepada anggotanya untuk melengkapi kendaraan motor gede miliknya dengan surat-surat resmi. Se­hing­ga ke depan, tidak ada lagi motor gede bodong atau illegal.

Nanan juga berupaya me­ner­tib­kan para pengendara motor be­sar. Selama ini, pengendara motor kerap memakai pengawalan saat konvoi. Sirene dari pengawalan itu membuat bising sepanjang ja­lan yang dilalui. Selain itu, pe­ngendara motor kerap kebut-ke­bu­tan dan bersikap arogan ter­ha­dap pengguna jalan lainnya.

“Slogan saya menjadi Ketua HDCI adalah no accident dan no complain. Tujuannya yakni kami ingin pengguna motor gede juga menjadi teladan bagi masyarakat. Kalau masih ada pengguna motor gede yang melanggar lalu lintas, silakan laporkan dan akan saya tindak,” tegasnya.

Nanan juga mencoba me­ngu­bah kesan eksklusif yang selama ini melekat pada pengendara mo­tor gede. Para penggemar hobi ini bisa diarahkan ke hal lebih po­sitif. Misalnya kegiatan sosial dan kemanusiaan.

“Kita ini organisasi hobi, maka­nya mari tinggalkan pang­kat dan jangan sampai HDCI dipolitisir. Kalau bisa berguna buat masyarakat kenapa tidak? Itu kan semua amal ibadah. Saya tidak digaji lho,” tuturnya.

Nanan juga berdalih bahwa posisinya sebagai ketua umum Per­bakin juga memiliki hubu­ngan dengan tugas kepolisian. “Itu semua ada hubungannya de­ngan kepolisian yang nanti erat kaitannya dengan penertiban senjata api,” jelasnya.

Semua aktivitas di berbagai organisasi hobi itu, kata dia,  sepengetahuan Kapolri Jenderal Timur Pradopo.  Lantas bagai­ma­na Nanan membagi waktu tugas dengan hobi? Pria kelahiran Pur­wakarta 30 Juli 1955 mengatakan semua aktivitas hobi dilakukan di luar waktu dinas.

“Saya tidak pernah melakukan kegiatan dalam jam kerja, kadang malah sampai pukul 21.00-22.00 WIB dan biasanya saya lakukan pada libur kerja atau hari Minggu. Setiap kegiatan juga seizin Ka­polri walaupun di luar jam kerja,” katanya.

Bekas Irwasum Polri ini menu­tur­kan sudah memiliki keterta­ri­kan terhadap motor besar sejak remaja. “Waktu kecil. Saat orang tua lagi tidur, diam-diam saya coba bawa motor Harley. Tapi ke­mudian motornya jatuh. Kan be­rat. Tapi dari situ saya malah se­makin menarik untuk me­naiki­nya,” kenangnya.

DPR Juga Pernah Disindir Hedonis

Busyro Muqoddas saat ma­sih menjabat ketua Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) pernah menyindir gaya hidup hedonis para pejabat. Kritik itu mengarah kepada politisi DPR yang kini mempersoalkan hobi Wakapolri Nanan Soekarna menunggang Harley Davidson.

“Mereka sangat perlente. Mobil dinas saja Crown Royal Saloon yang jauh lebih mewah dari mobil perdana menteri ne­geri tetangga. Mereka lebih men­cerminkan politisi yang prag­matis-hedonis,” kritik Busyro.

Sentilan itu disampaikan Busy­ro dalam pidato kebudaya­an di Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis 10 November 2011. Gaya hidup hedonis, lanjut dia, sangat terkait dengan korupsi.

Sentilan Busyro itu disambut sejumlah kalangan. Politisi muda Golkar, Indra J Piliang, me­nyebutkan bahwa gaya hi­dup pejabat sekarang kontras de­ngan gaya hidup pendiri negeri.

“Anggota DPR sekarang punya mobil sekian miliar, Alphard segala macam. Selalu ada kaitannya dengan materi. Sementara materi adalah hal yang dihindari para pahlawan. Bandingkan,” kata Piliang.

Ia menyebut sejumlah pah­lawan, seperti Agus Salim, yang sama sekali tidak mempunyai mobil. Tidak pernah berge­li­mang harta tapi dihormati. Bah­kan sampai kini.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengimbau ang­go­ta DPR yang bergaya hidup mewah untuk lebih berempati ke­pada rakyat yang mereka wa­kili. “Banyak cara hidup yang tidak pantas di tengah rakyat yang mau cari makan saja ma­sih susah,” kata Mahfud.

Mahfud mengakui banyak juga anggota DPR yang sudah kaya sebelum mereka dilantik men­jadi wakil rakyat. Tapi, im­buh­nya, tak sedikit juga yang kaya mendadak setelah menjabat.

“Misalnya sekarang rumah­nya tiba-tiba jadi lima dan di­atas­namakan orang lain. Mobil­nya begitu banyak, pegang sa­ham di sana-sini, menampilkan gaya hidup yang berlebihan,” ujar Mahfud yang juga bekas anggota DPR.

Gaya hidup mewah sebagian anggota DPR, kata Mahfud, bisa memicu tindakan korupsi. “Korupsi dalam arti hukum itu mengambil uang negara dengan memperkaya diri sendiri de­ngan cara-cara melawan hu­kum. Tapi banyak juga korupsi yang nonkonvensional,” kata Mahfud.

Foke Ngaku Cuma Merawat Warisan

Koleksi Mobil Antik

Tidak banyak yang tahu kalau Gu­bernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memiliki hobi mengolek­si mobil-mobil antic. Bahkan pria yang akrab Foke ini tak pernah absent menghadiri pa­me­ran mobil antik yang digelar setiap tahun.

Lantaran hobinya ini, Foke didapuk menjadi penasihat Indonesia Classic Car Owners Club (ICCOC), organisasi pe­milik mobil antik.

Walaupun diketahui mengo­leksi mobil antik, Foke enggan mengungkapkan mobil-mobil apa yang dimilikinya. Menurut dia, mobil-mobil itu merupakan warisan keluarga.

“Saya memang jadi tukang rawat mobil-mobil yg pernah dipakai oleh keluarga saya, mu­lai dari kakek sampai yg ada se­karang,” kata pria berkumis ini.

Beberapa mobil koleksinya sempat ditawar dengan harga tinggi. Tapi dia menolak mele­pasnya. “Saya kurang paham apa­kah ini bisa dinilai sebagai investasi atau tidak,” tambahnya.

Saat menyaksikan pameran mobil klasik 4th Otoblitz Inter­national Classic Car Show ta­hun 2010 lalu, Foke sempat memperhatikan mobil Porsche 911 R Classic. Buatan yang bodinya dicat kuning ini buatan 1972. Kabarnya, saat kuliah di Jer­man, Foke pernah menung­gangi mobil ini.

Foke menjanjikan mobil-mo­bil klasik ini akan tetap men­da­pat tempat. “Mereka tidak membutuhkan keistimewaan. Tapi yang pasti, karena ini me­nyangkut sejarah, tentu kita akan usahakan semua bisa les­tari,” katanya.

“Untuk standar emisi, kita punya. Bahkan di California yang ketat kalau berurusan de­ngan emisi saja mobil klasik masih bisa lestar. Tentu disini juga bisa,” tambahnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA