Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kursi Baru Sudah Datang, Ditaruh Di Pojok Gedung

Ganti Mebel 11 Ruangan, MA Habiskan Rp 11,4 Miliar

Senin, 30 Januari 2012, 09:26 WIB
Kursi Baru Sudah Datang, Ditaruh Di Pojok Gedung
Mahkamah Agung (MA)

RMOL. Mahkamah Agung (MA) hendak mengganti mebel di dua ruang rapat dan ruang pimpinan. Pembelian furnitur baru ini menghabiskan dana Rp 11,4 miliar.

Informasi mengenai penga­daan mebel ini termuat di website MA. Dalam pengumuman lelang bernomor 023/PPU-BUA/IX/2011 disebutkan rencana pe­nga­daan mebel untuk dua ruang rapat dan sembilan ruang pimpinan.

Untuk pengadaan mebel di ruang rapat Wirjono Projodikoro dan Murdjono dianggarkan dana Rp 1,8 miliar. Sisa dananya untuk mebel ruang pimpinan. Seperti apa furnitur yang meng­habiskan dana sampai belasan miliar itu? Yuk, kita intip.

Rakyat Merdeka mendatangi gedung MA yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis lalu (27/1). Gedung ini menghadap Monumen Na­sional (Monas).

Gedung utama MA memiliki empat pilar tinggi. Dinding ba­gian depan ditutupi kaca hitam. Logo MA dipasang di bagian te­ngah. Pintu masuk utama terletak di sini. Untuk masuk perlu me­naiki beberapa anak tangga. Tapi Rakyat Merdeka tak masuk dari pintu ini.

Untuk sampai ke ruang rapat Wirjono dan Murdjono yang ter­letak di lantai dua gedung utama, lebih cepat lewat pintu utara.

Sama seperti pintu masuk uta­m­a yang menghadap selatan, un­tuk sampai ke pintu masuk utara juga perlu menaiki anak tangga yang dilapisi marmer warna putih.

Pintu masuk ini terbuat dari kaca. Membuka dan menutup secara otomatis bila ada orang mendekat.

Melewati pintu masuk lang­sung berhadapan dengan pintu metal detector. Dua petugas keamanan berjaga di sini. Setiap tamu diminta melewati pintu ini sebelum masuk ke dalam gedung. Bila dianggap tidak membawa benda-benda yang berbahaya, tamu dipersilakan menuju ke meja resepsionis.

Meja terlekta di sebelah kiri di belakang metal detector. Meja ini di­tunggui seorang staf perem­pu­an. Saat Rakyat Merdeka me­nyampaikan hendak melihat-lihat ruang Widjono maupun Murdjo­no, petugas keamanan yang ber­jaga di sini tak mengizinkannya.

“Kecuali kalau dapat izin dari pihak Humas, siapa pun berhak untuk masuk. Sebaiknya temui saja Pak Andri di Humas untuk minta izin,” saran petugas ke­amanan itu.

Rakyat Merdeka lalu beranjak ke ruang Humas yang terletak di seberang gedung utama. Pintunya yang terbuat dari kaca selalu ter­buka. Tak jauh dari pintu ini ter­dapat meja resepsionis yang di­tunggui seorang petugas ke­ama­nan dan staf perempuan.

Sama seperti di pintu utara, setiap tamu selalu ditanya hendak kemana dan apa keperluannya ke­tika masuk ke sini. Setelah diberitahu tujuan kedatangan, staf resepsioni mencoba menghu­bu­ngi seseorang lewat telepon.

Setelah menunggu sekitar 30 menit, akhirnya Rakyat Merdeka diperbolehkan masuk ke ruang Humas.  Di sini, seorang staf Hu­mas yang mengaku bernama Friska juga menanyakan apa tu­juan datang ke MA.

“Lebih baik, temui Pak Andri saja untuk minta izin. Biar nanti saya anter ketemu beliau,” jelas­nya sambil mempersilakan me­nuju ruangan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Andri yang dimaksudnya adalah Andri Tri­s­tianto, Kepala Sub Bagian Humas MA.

“Mau apa Mas,” tanya Andri tanpa beranjak dari tempat du­duk­nya saat ditemui Rakyat Mer­deka.  Setelah menyampakan tujuan kedatangan ke sini, dengan nada tinggi Andri menolak mem­berikan izin bagi Rakyat Merdeka untuk melihat ruang Widjono dan Murdjono. Ia tak menjelaskan ala­san pelarangan itu.

Saat melewati pintu utara, Rakyat Merdeka sempat melihat puluhan kursi yang diletakkan berjejer. Terbungkus plastik, kur­si-kursi yang terbuat dari besi itu tampak masih baru.

Bentuk kursi ini tinggi dengan bantalan sampai kepala. Bantalan ini dilapisi kulit warna hitam.

Di sini juga diletakkan bebe­rapa meja yang bisa dilipat. Ben­tuk­nya seperti meja kerja. Kon­disinya juga terlihat baru. Agar tidak terjatuh, puluhan kursi dan meja tersebut di ikat dengan tali.

Di sudut ruangan tak jauh dari sini juga diletakkan beberapa kursi dengan model sama. Ke­be­radaan kursi-kursi bisa ter­lihat dari ruang gedung karena diletak­kan menempel dengan pintu kaca.

Inikah mebel baru untuk ruang rapat dan pimpinan MA? Petugas keamanan yang berjaga di situ mengaku tak tahu. Tapi dia me­nyebutkan mebel-mebel itu be­lum lama ada di situ.

Saat ditanya mengenai mebel-mebel ini, Andri menolak men­je­laskannya. “Berbeda dengan DPR, kami di MA sangat trans­paran. Lihat saja di website kami, semua sudah dijelaskan,” kata dia.

Sebelumnya, Kepala Biro Umum MA Dudung Ramdani mengatakan, mebel di ruang rapat dan ruang pimpinan perlu diganti karena sudah berusia lebih dari 10 tahun.

“Mebel yang sekarang dari tahun 2000-an. Itu sudah kita tambal-tambal,” ujarnya.

Pengadaan mebel, sambung dia, juga untuk memenuhi kebu­tuhan ruang kerja enam hakim agung yang baru dilantik. [Harian Rakyat Merdeka]

MA: Kami Tidak Bermewah-mewah

Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa mengatakan pihaknya tak bermewah-mewah dalam pengadaan mebel untuk ruang rapat dan pimpinan.

“Kalau Anda melihat mebel MA, hanya Rp 12,5 miliar un­tuk beberapa unit. Itu (ang­ga­ran) sangat kecil,” ujarnya be­be­rapa waktu lalu.

Menurut dia, mebel di MA tak pernah diganti sejak 20 tahun lalu. “Banyak yang rusak dan tidak layak pakai lagi,” klaim Tumpa.

Namun hakim agung yang bakal pensiun Maret mendatang ini mengatakan, mebel di ruang kerjanya tak ikut diganti. Sebab, masih layak pakai. “Kalau rua­ngan saya tidak ada yang rusak, karena memang jarang digu­na­kan. Jadi tidak ada yang di­ganti,” kata Tumpa.

Penegasan sama disampai Sekretaris MA Nurhadi. “(Pe­ngadaan mebel) ini sesuai ke­bu­tuhan karena sudah banyak yang rusak dan tidak bisa di­gu­nakan lagi. Kami tidak ber­me­wah-mewah,” kata dia.

“Jadi jangan dinilai angkanya yang Rp 11,4 miliar ya. Tapi dilihat peruntukannya. Nominal sebesar itu digunakan untuk pe­ngembangan ruangan, relokasi ruangan seiring dengan penam­bahan jumlah hakim agung, jumlah staf, dan jumlah berkas yang masuk. Perlu ada pengem­bangan ruangan yang dalam hal ini adalah penggantian lemari, meja-meja, dan kursi,” terang Nurhadi.

“Bayangkan saja, sebagian besar mebel di MA itu meru­pakan inventaris lama, pe­nga­daannya di bawah tahun 1990,” kata Nurhadi sambil menunjuk meja yang bertuliskan daftar inventaris tahun 1988.

Nantinya, mebel lama yang masih layak pakai dikirim ke pengadilan di daerah. Sebab, banyak pengadilan yang masih kekurangan mebel. Sementara anggaran untuk pembelian me­bel pengadilan belum disetujui.

“Pengadilan Tata Usaha Ne­gara Serang sudah mulai ber­ope­rasi namun belum memiliki mebel. Nah, hal itu menjadi prioritas kami. Jadi apa hal ter­se­but disebut bermewah-me­wah?” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Yayasan Lem­baga Bantuan Hu­kum Indo­nesia Alvon Kurnia berpen­dapat MA lebih baik me­ngu­tama­kan program bantuan hu­kum bagi masyarakat kecil serta pendidikan dan latihan ke­tim­bang mengganti mebel.

“Memang sudah ada dana (untuk program bantuan hu­kum), tapi lebih bagus di­per­banyak lagi alokasi dananya da­ripada buat beli mebel pim­pinan,” ujarnya.

Menurut Alvon, pembelian mebel baru untuk ruang pim­pinan tak perlu sampai meng­habiskan belasan miliar. “Ang­gaplah satu pimpinan dapat anggaran mebel Rp 20 juta. Lalu dikalikan 9 orang. Kan cuma Rp 180 juta,” jelas Alvon.

Menurut Alvon, apa yang dilakukan MA ini sungguh ironis di saat masih banyak ge­dung pengadilan di daerah yang kondisi buruk dan mem­pri­hatinkan.

“Lihat di pengadilan-penga­dilan. Banyak kursi dari kayu yang umurnya sudah puluhan tahun. Sudah reyot, belum di­ganti-ganti. Ini masalah prio­ritas, dan MA tidak bisa mem­buat prioritas itu,” tandas Alvon. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA