Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tidur Di Tenda Sumbangan, Cuma Minum Suplemen

Bercengkrama Dengan Peserta Aksi Jahit Mulut

Kamis, 29 Desember 2011, 09:01 WIB
Tidur Di Tenda Sumbangan, Cuma Minum Suplemen
ilustrasi, Aksi Jahit Mulut
RMOL. 28 peserta aksi jahit mulut yang datang dari Riau masih bertahan di depan Gedung DPR, Jakarta, meski kondisinya satu persatu ambruk. Mereka tak putus asa sebelum tuntutannya dikabulkan.

Panas matahari yang sangat menyengat membangunkan ti­dur­nya. Dengan kondisi tubuh yang lemah, Tahyan mencoba me­raih air mineral yang terge­letak di sampingnya.

Botol pun berada digeng­ga­man­nya. Namun, pria berusia 30 tahun ini tidak bisa minum de­ngan leluasa karena mulutnya ter­kunci rapat dengan benang.

Sebuah sedotan dimasukkan ke dalam botol dan disedotnya pe­lan-pelan air tersebut melalui sela-sela mulut . Beberapa teguk air masuk ke mulutnya.

Usai minum, warga Pulau Pa­dang, Meranti, Riau ini tidak me­ngeluarkan sepatah katapun dan memilih tidur kembali di tenda yang berada di depan ger­bang ma­suk Gedung DPR Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

“Dia sudah enam hari nggak makan nasi. Jadi tubuhnya sudah sangat lemah.” kata Mukti, salah soerang warga Pulau Padang yang tergabung dalam Forum Ko­munikasia Masyarakat Pe­nye­lamat Pulau Padang (FKMP3).

Tahyan tidak sendirian, ada satu warga lagi yang melakukan aksi jahit mulut dan terbaring le­mah disampingnya.

Mukti, mengatakan, Tahyan baru keluar dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Selasa pagi (27/12), karena men­derita kritis setelah beberapa ti­dak makan nasi.

Pria 37 tahun ini menjelaskan, warga yang melakukan aksi jahit mulut ada 28 orang. Namun saat ini hanya dua orang yang ada di­tenda karena dalam kondisi le­mah, sedangkan sisanya sedang menggelar demonstrasi di Kantor Kementerian Kehutanan (Ke­menhut).

Mukti menambahkan, warga yang melakukan aksi jahit mulut akan terus bertambah bila tun­tutan tidak segera dipenuhi oleh Kementerian Kehutanan.

“Bah­kan 76 warga Pulau Pa­dang yang datang ke Jakarta se­muanya akan melakukan aksi ja­hit mulut hing­ga tuntutan ter­penuhi,” katanya.

Pria berkumis ini menegaskan, tuntatan warga Pulau Padang adalah dicabutnya Surat Ke­pu­tu­san (SK) Menteri Kehutanan Nomor 327 tahun 2009 tentang perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT RAPP di Ka­bu­paten Meranti, Propinsi Riau, atau meninjau ulang surat Surat Ke­putusan (SK) Menteri Ke­hu­tanan tersebut.

Hal ini dilakukan, karena ber­dampak buruk bagi lingkungan se­kitar. Mukti menjelaskan, Pu­lau Padang mempunyai luas 110 ribu hektare, dari jumlah terse­but seluas 41 ribu hektare di­gu­­na­kan PT RAPP untuk Hutan Ta­naman Industri.

Bila dibiarkan, dalam waktu  ti­dak lama lagi Pulau Padang akan terendam air laut karena la­han gambutnya ditebang habis. “Padahal gambut selama ini di­gunakan untuk menangkal ter­ja­ngan air laut,” katanya.

Mukti menambahkan, pengo­pe­rasian PT RAPP di Pulau Pa­dang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar. “Pe­ru­sa­haan hanya mendapat izin dari pihak aparatur desa, sementara penduduk tidak diberi tahu sama sekali,” katanya.

Mukti mengatakan, PT RAPP telah beroperasi selama enam bu­lan di Pulau Padang dan telah membuat kanal-kanal besar, serta mess karyawan untuk kelancaran proses produksi.

Dia khawatir operasi pabrik da­lam waktu lama akan me­nganggu perekonomian warga Pulau Pa­dang. Warga akan semakin sulit mencari kayu bakar, membuka lahan perkebunan dan pemu­ki­man masyarakat.

Pria empat orang anak ini me­nu­turkan, alasan warga Pulau Pa­dang datang ke Jakarta, karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan saat melakukan aksi jahit mulut di kantor Kabupaten Meranti dan di gedung DPRD Me­­ranti. Mereka selalu beralasan bahwa semua perizinan keh­u­ta­nan yang mengeluarkan adalah Menteri Kehutanan.

“Berbekal jawaban yang tidak memuaskan itu akhirnya kami sepakat datang langsung ke Ja­karta,” katanya.

Kepergian warga Pulau Padang ke Jakarta juga tidak mudah, war­ga Pulau Padang harus naik kapal laut selama dua hari menuju Ke­pu­lauan Riau. Setelah itu 73 war­ga menggunakan bus selama em­pat hari hingga sampai ibu kota ini. Sedangkan tiga warga me­milih menggunakan pesawat.

Sampai di Jakarta Jumat (16/12) kemudian membuat tenda plastik dengan bahan seadanya di depan gerbang masuk DPR untuk tempat tinggal. “Namun malam­nya ada perwakilan ormas yang menyumbang terpal besar yang bisa dibuat tenda,” katanya.

Langkah selanjutnya, hari Senin (19/12) delapan warga me­lakukan aksi jahit mulut yang di­la­kukan sendiri, selanjutnya Se­lasa (20/12) sebanyak 10 warga melakukan aksi jahit mulut yang dibantu tim medis dari salah satu parpol besar.

Tidak cukup sampai di situ, Rabu (21/12) sebanyak 10 orang lagi juga melakukan aksi serupa yang juga dibantu tim medis. “Jadi sampai saat ini sudah ada 28 orang yang melakukan aksi itu.” katanya.

Mereka yang melakukan aksi jahit mulut tidak ada yang makan, hanya minum suplemen penam­bah stamina. Karena tidak ada asupan makanan, kata Mukti, Ka­mis (22/12) tujuh orang sempat mendapat perawatan di RSCM karena mengalami cidera perut. “Tapi saat ini mereka sudah ke­luar semua dan tetap melanjutkan aksi jahit mulut,” katanya.

Bupati Meranti Sesalkan Sikap Pemerintah Pusat

Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir menyesalkan sikap Kementerian Kehutanan yang me­lempar persoalan perizinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti.

Menurut Irwan, jika perizinan itu dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, maka pencabutannya dikembalikan kepada yang me­nge­luarkan izin, bukan justru me­lem­par kepada pemerintah daerah.

“Sekarang pusat terkesan me­ngobok-obok pemerintah daerah dengan masyarakat dan dengan pemerintah Kabupaten. Kami sa­ngat menyesalkan hal itu terjadi,’’ kata Irwan melalui Ke­pala Bagian Humas Kabupaten Meranti Yulizar.

Menurut Bupati, selama ini si­kap yang ditunjukkan Pemkab Ke­pulauan Meranti terkait HTI su­dah cukup jelas, yakni meminta me­ninjau ulang izin tersebut. Bah­kan Pemkab sudah dua kali di­masa Bupati Irwan saat ini me­nyu­rati Kemenhut dan satu kali di masa Penjabat Bupati Syam­suar lalu.

“Sekarang justru pusat me­lempar lagi persoalan izin HTI ke Pemkab Kepulauan Meranti,’’ kata Bupati melalui Kabag Hu­mas Yulizar.

Menyikapi adanya hasil per­te­muan Forum Komunikasi Ma­sya­rakat Penyelamat Pulau Pa­dang (FKMPPP) dengan pihak ke­menterian pada 16 Desember lalu yang meminta Bupati Ke­pulauan Meranti untuk me­nge­luarkan rekomendasi pencabutan izin operasional PT RAPP di Pu­lau Padang, Bupati mengatakan bahwa hal itu adalah keputusan yang harus dipertanyakan kem­bali, sebab terkesan Kemenhut me­lemparkan persoalan itu ke­pada Pemkab kepulauan Meranti.

“Pusat terkesan cari aman. Me­reka yang mengeluarkan izin, kita yang disuruh mere­kom­e­n­da­si­kan mencabut izin. Itukan do­main pu­sat,” katanya.

“Silahkan saja Menhut yang mencabut izin HTI di Pulau Pa­dang itu, kok malah melempar ke Pemkab Kepulauan Meranti. Ka­lau memang Menhut mencabut, pe­merintah daerah sebagai pelak­sanan kebijakan pusat akan men­jalankannya,’’ tambah Bupati.

Mengenai poin pencabutan izin da­lam notulensi pertemuan FKMPPP dengan Kemenhut itu ha­rus ada rekomendasi dari Pem­kab Kepulauan Meranti, lanjut Bu­pati itu bisa jadi bola liar ter­hadap Pemkab Kepulauan Me­ran­ti, karena diduga implikasi hu­kum yang ditimbulkan setelah itu, dikhawatirkan Pemkab Ke­pulauan Meranti justru menjadi tumbal konspirasi dari keputusan pusat tersebut.

Bila rekomendasi dari Bupati Ke­pulauan Meranti itu kuat dan ber­sifat final, seperti tidak ada im­plikasi hukum yang ditimb­ul­kan, pihaknya akan secepatnya me­ngeluarkan.

“Tapi kan tidak demikian, perlu ada kajian ilmiah alasan penca­bu­tan, dan harus ada analisa hu­kum­nya. Makanya kita sesalkan sikap Kemenhut itu meng­gan­tung tak ber­tali dengan melempar bola pa­nas ini ke daerah,’’ kata Bupati.

Selain itu, Bupati Kepulauan Me­ranti juga menyayangkan ada­nya aksi jahit mulut warga Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti di Jakarta. Masyarakat harus faham duduk persoalan yang ada, jangan sampai dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab,  dan ter­kesan Pemkab Meranti lah yang salah dan bertanggung jawab atas semua ini.

“Izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) ini dikeluarkan Bupati Bengkalis. Anehnya pusat jus­tru me­lemparkan konflik HTI ini ke­pa­da Pemkab Me­ranti,” ujarnya.

Mandi & Cuci Baju Di Kantor Menteri Zulkifli

Selama menginap di depan ger­bang masuk DPR, Mukti, sa­lah soerang warga Pulau Pa­dang yang tergabung dalam Fo­rum Komunikasia Ma­syarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMP3) mengaku, tidak ada aksi pengusiran yang dilakukan pihak kepolisian maupun Pam­dal DPR. “Mereka paling cuma mengusir secara lisan saja, tapi tidak kami pedu­likan,” katanya.

Soal akomodasi selama di Ja­karta, Mukti menuturkan, ber­asal dari patungan antar warga. Tidak hanya itu, beberapa war­ga Jakarta yang bersimpati de­ngan gerakan ini juga mem­bantu memberikan nasi bungkus.

Walapun masalah akomodasi terpenuhi, kata Mukti, ada per­ma­salahan lain yang juga diha­dapinya, yaitu kesulitan untuk mandi atau mencuci baju kotor.

“Kolam di DPR sudah tidak boleh dibuat mandi. Akhirnya kami mandi dan nyuci di kamar mandi yang ada di komplek Kemenhut,” katanya.

Hampir sepuluh hari lebih melakukan aksi di Jakarta, kata Mukti pihaknya sudah mela­kukan ­audiensi dengan Ketua DPR Marzuki Alie dan dari Pihak Kementerian Kehutanan yang diwakili Sekjen.

“Namun jawaban mereka sama saja, akan mengevaluasi SK Menhut dan mengirim surat ke Bupati Meranti terkait per­masalahan ini,” katanya.

Tapi, warga Pulau Padang be­lum puas dengan jawaban ter­sebut dan masih menunggu aksi nyata dari Menhut Zulkifli Ha­san dengan mencabut SK ter­sebut. “Kalau tidak, kami akan tetap bertahan di Jakarta sampai kapanpun,” katanya.

Kondisi di depan pintu ger­bang masuk gedung DPR di Ja­lan Gatot Subroto mirip pemu­kiman kumuh. Beberapa tenda berukuran kecil dan besar di­di­rikan untuk menampung warga Pulau Padang yang melakukan aksi di Jakarta.

Di antara tenda yang berdiri, terdapat tenda besar berukuran 6x15 meter. Di bagian atasnya terbuat dari terpal warna biru, se­dangkan dinding-dindingnya ditutupi dengan beberapa span­duk panjang.

Untuk lantai mengunakan karpet plastic tipis. Di dalam ten­da banyak baju berge­lan­tu­ngan milik warga. Sementara tas-tas milik dikumpulkan men­jadi satu ditengah-tengahnya.

Di tenda tersebut hanya ada lima warga yang sedang istira­hat, sedangkan sisanya sedang melakukan audiensi dengan Kementerian Kehutanan.

Di samping tenda besar dipa­sang spanduk besar warna me­rah yang bertuliskan, “Aksi ja­hit mulut. Presiden atau Menhut Zulkifli Hasan harus mampu menyelamatkan Pulau Padang. Hentikan operasional PT RAPP di Pulau Padang. Cabut SK Menhut Nomor 327 tahun 2009 se­karang juga.

Mencabut Izin Perusahaan Harus Dari Bupati Setempat

Sekretaris Jenderal (Sek­jen) Kemenhut, Hadi Daryanto menyatakan, bahwa untuk men­cabut izin perusahaan, diper­lu­kan rekomendasi bupati setem­pat, meskipun kewenangan mem­beri dan mencabut izin itu berada di Kemenhut.

Hadi mengaktan, warga Pu­lau Padang mempunyai tun­tu­tan yang tidak bisa ditawar, ya­itu cabut izin. Tapi, ada pro­se­­dur­nya dalam tata usaha ne­gara. Untuk mencabut, sama de­ngan memberi.

Harus ada rekomen­dasi pe­me­rintah daerah, karena ini me­mang terkait desen­tra­li­sasi. “Ti­dak bisa tidak, dari bu­pati, mes­kipun kewenangan un­tuk mem­beri dan mencabut izin (itu) dari Menteri Kehutanan,” jelasnya.

Hadi menjelaskan, pihak Ke­menhut sendiri sudah menemui demonstran dari Pulau Padang pada 16 Desember.

Ditam­bah­kan­nya, sudah ada kesepakatan bersama yang dibuat oleh para kepala desa, dan diketahui oleh bupati dan DPRD setempat.

“Sudah sepakat dengan bu­pati dan masyarakat, untuk me­ngidentifikasi areal kebun yang ditanami karet. Mereka kan ta­kut, kalau ada perusahaan, areal mereka tak bisa ditanami (lagi). Bukan karena mereka anti-pe­rusahaan. Itu yang se­dang dili­hat lagi,” katanya.

Marzuki Ajak Dialog Di Nusantara III

 Kamis (22/12), Ketua DPR Marzuki Alie mendatangi pe­serta aksi jahit mulut dari warga Pulau Padang, Kepulauan Me­ranti, Riau.

Marzuki yang di­dampingi anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Pieterson S. Zulkifili mengajak perwakilan warga Pulau Pa­dang berdialog di lantai tiga Nu­santara III gedung DPR, Jakarta.

Dalam pertemuan tersebut, Marzuki meminta Bupati Ke­pu­lauan Meranti bersikap bijak­sana dan berpihak kepada rak­yat, agar rakyat tidak terlunta-lunta di Jakarta.

Marzuki berjanji akan me­ngirim surat kepada Menteri Ke­hutanan, Zulkifli Hasan dan Bupati Kepulauan Meranti, Ir­wan Nasir atas sengketa lahan di Pulau Padang, Meranti. Men­hut akan diminta segera mem­batalkan SK Menhut No.327 tahun 2009, sedangkan Irwan Nasir diminta mencabut izin operasional HTI PT Riau An­dalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Meranti.

Marzuki akan mengirim surat ke Bupati Kepulauan Meranti dengan tembusan ke Komisi IV yang terkait persoalan lahan. Karena melanggar hukum, SK 327 bertentangan dengan kepu­tusan presiden.

“Saya akan tindak lanjuti, akan telepon Pak Zulkifli (Men­­hut) , saya akan buat surat­nya. Kita tanyakan masalahnya nasib para petani yang digusur ini dan komisi terkait pertanian dan pertanahan yaitu Komisi IV DPR RI akan memanggil pe­jabat yang bersangkutan,” ujarnya.   [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA