Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Selasa, Dokter Spesialis RS Budi Asih Mogok Lagi

Tuntutan Perbaikan Gaji & Fasilitas Belum Dipenuhi

Senin, 26 Desember 2011, 08:59 WIB
Selasa, Dokter Spesialis RS Budi Asih Mogok Lagi
Rumah Sakit Budi Asih
RMOL.Selasa besok, dokter spesialis di Rumah Sakit Budi Asih berencana kembali mogok praktik. Aksi ini dilakukan sampai tuntutan mereka dipenuhi pihak manajemen rumah sakit pemerintah itu.

“Selama (tuntutan) belum ter­penuhi dan masih dalam posisi ti­dak nyaman, kami memilih tidak bertugas setiap Selasa. Apa yang kami inginkan sudah jelas,” ujar dr Asep Syaiful Karim, SpPD ke­pada Rakyat Merdeka.

Asep adalah Ketua Ketua Ko­mi­te Medis Rumah Sakit Budi Asih. Dokter spesialis penyakit da­lam itu mengatakan aksi mo­gok praktik ini merupakan ben­tuk protes atas minimnya peng­ha­si­lan yang mereka terima. Juga bu­ruk­nya pengelolaan ru­mah sakit ini.

Menurut Asep, gaji dokter dan perawat di sini jauh di bawah rata-rata. Seorang dokter spesialis hanya digaji Rp 1,6 juta per bulan. Mereka menuntut agar gaji dinaikkan.

“Jangan sampai karena gaji yang kecil itu membuat kinerja pegawai tidak maksimal, dan me­reka terpaksa mencari pekerja lain di luar jam kerja. Karena ter­birit-birit mencari nafkah di luar. Akibatnya tidak fokus merawat pasien,” ujarnya.

Para dokter spesialis bukan ha­nya protes kepada pihak rumah sa­kit tempat mereka bekerja, tapi juga ke Badan Kepegawaian Dae­rah DKI Jakarta. Rumah Sa­kit Budi Asih berada di bawah naungan Pemprov DKI Jakarta.

Protes ke Badan Kepegawaian Daerah sudah disampaikan dua tahun lalu. Tapi tak ditanggapi. Ke­kesalan Asep dan kawan-ka­wan akhirnya memuncak. Me­re­ka memutuskan melakukan mo­gok praktik setiap Selasa.

“Kalau tuntutan kami dipenuhi, kami juga tidak ingin sampai me­lakukan aksi mogok kerja. Tapi percayalah, kalau mogok ker­ja ini demi kepentingan se­mua, ter­ma­suk pasien,” klaimnya.

Maksudnya? Sambil mem­be­tulkan jas putih khas dokter, Asep mengatakan, bila tuntutan di­pe­nuhi akan berpengaruh ter­hadap semangat dan kinerja para dokter spe­­sialis. Imbasnya, pe­la­y­anan ke­pa­da pasien pun men­jadi lebih baik.

Selasa lalu, sekitar 20 dokter spe­sialis di Rumah Sakit Budi Asih menggelar aksi mogok praktik. Para dokter sengaja me­milih hari Selasa agar tak terlalu mengganggu pelayanan ter­ha­dap pasien. “Kalau hari Senin, pasien banyak dan menumpuk,” terang Asep.

Sebelum melakukan mogok, para dokter memasang pengu­mu­man di depan pintu poliklinik. Isi­nya setiap Selasa, dokter spesialis di Rumah Sakit Budi Asih tidak akan memberikan pelayanan. Dengan adanya pemberitahuan ini, pasien bisa mencari rumah sakit lain untuk mendapatkan pengobatan.

Kendati sudah memasang pe­ngumuman, banyak pasien yang tak tahu. Mereka kecele lantaran telah datang jauh-jauh ke Rumah Sakit Budi Asih tapi tak men­da­pat pengobatan.

Seperti dialami Ria, 33 tahun. Pe­­rempuan yang tinggal di Mang­garai Selatan, Jakarta Se­la­tan mengantar adik perem­puan­nya yang sakit perut. Selasa lalu, Ria dan adiknya sudah tiba di RS Budi Asih yang terletak di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur,  jam delapan. Mereka sengaja datang pagi agar mendapat nomor ant­re­an kecil, sehingga lebih awal di­panggil masuk ke ruang peme­rik­saan. Begitu di benak mereka.

Namun dua jam menunggu, nama adik Ria tak juga dipanggil. Ria lalu mencari tahu kepada petugas rumah sakit kenapa nama adiknya tak juga dipanggil. “Saya baru ternyata dokternya sedang mogok,” kata dia. “Karena kesal dan lelah me­nunggu, saya akhir­nya pulang,” sambung Ria.

 Esok hari, Ria dan adiknya kembali datang ke rumah sakit ini. Kali ini mereka bakal men­dapat pengobatan. Asep dan dok­ter spesialis lainnya sudah me­menuhi janji hanya mogok setiap Selasa. Hari Rabu mereka sudah kembali melayani pasien yang datang ke poliklinik.

Lantaran pelayanan poliklinik terhenti sehari, terjadi penum­pu­kan pasien yang hendak berobat. Poliklinik dokter spesialis ter­letak di lantai dua. Pasien terlihat mengantre di loket pendaftaran.

Petugas loket memanggil satu per satu pasien berdasarkan no­mor antrean. Petugas akan mem­beritahukan klinik yang harus dituju pasien sesuai dengan kelu­han yang diderita.

Hampir sepuluh menit sekali, pasien keluar-masuk ke ruangan pemeriksaan. Umumnya mereka yang berobat sudah berusia lanjut. Ada juga pasien anak-anak yang didampingi orangtuanya.

“Kalau dibanding kemarin (Selasa) dan hari sebelumnya, sampai siang ini pasien yang datang untuk berobat jauh lebih besar. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari aksi kemarin atau tidak,” jelas perempuan petugas loket pendaftaran saat ditemui Rakyat Merdeka, Rabu lalu.

Menurut Asep, banyak pasien yang tak tahu aksi mogok praktik dokter spesialis karena kertas pemberitahuan ada yang men­copot. “Kami mengimbau pasien tak datang hari Selasa demi mencegah terjadinya penum­pu­kan pasien,” kata dia.

Direktur RSUD Budi Asih, dr Nanang Hasani SpOG, MARS mengatakan, pihaknya sudah menam­pung aspirasi para dokter spesialis yang melakukan mo­gok praktik.

“Kami berjanji akan mem­per­juangkan tuntutan para dokter. Tapi kan tidak bisa dike­but se­perti jalan tol. Harus ada tahapan penyelesaian,” kata Nanang.

Untuk itu, Nanang berharap para dokter dapat memahaminya dan tetap melayani pasien seperti biasa. Namun bila para dokter spesialis itu ngotot untuk mogok praktik setiap Selasa, ia tak bisa melarang.

“Pada aksi mogok kerja per­tama, kami juga mengizinkan. Ka­lau para dokter sudah mene­tapkan hari Selasa sebagai hari mogok kerja, itu hak mereka,” katanya.

Dari Urusan Laundry Sampai Ruangan Kurang Dingin

Minimnya gaji hanya salah satu faktor penyebab dokter-dok­ter di Rumah Sakit Budi Asih me­lakukan aksi mogok praktik.

Menurut Ketua Komite Medis Rumah Sakit Budi Asih dr Asep Syaiful Karim, SpPD, fasilitas yang disediakan untuk para dokter spesialis yang bertugas di sini juga minim.  Ia lalu menye­butkan, minim­nya linen atau baju operasi. Lan­taran jumlahnya ter­batas, operasi di­batasi hanya de­la­pan kali sehari.

Selain itu, pihak rumah sakit tak menyediakan mesin cuci (laundry) untuk linen. Sehingga pro­ses pencucian dikerjakan pi­hak luar atau outsourcing. Proses pencuciannya pun lama.

Asep juga mengeluhkan ruang ope­rasi yang kurang dingin. Me­nu­rut dia, temperatur di ruang ope­rasi disetel pada kisaran 20-25 de­rajat Celsius. Kelemba­ban­nya 68 persen. Kata dia, idealnya suhu ruang operasi 19-20 derajat Celsius.

 Ia mengkhawatirkan dengan suhu ruangan yang masih tinggi bisa membahayakan pasien yang menjalani operasi. Pasien bisa terkena infeksi. Sebab, kuman dan bakteri masih hidup pada suhu itu.

Asep juga mempersoalkan ruang rawat inap yang tak nya­man lantaran pendingin udara (AC) kerap rusak. Ketidak­nya­man ini bukan hanya dirasakan pasien yang dalam proses pe­nyembuhan, tapi juga para dokter yang mengontrol.

Mau Jadi Dokter? Siapkan Rp 300 Juta

Selama ini pendidikan ke­dok­teran sangat mahal. Inilah yang membuat biaya pengo­ba­tan juga mahal.

“Pendidikan kedokteran me­mang mahal. Karena ilmu ke­dokteran berbeda dengan ilmu non eksakta yang yang tidak me­merlukan bahan-bahan un­tuk praktik. Fakultas Ke­dok­teran memerlukan tambahan fasilitas seperti rumah sakit,” ujar Dekan Fakultas Ke­dok­te­ran Universitas Atmajaya Dr Satya Juwana, SpKJ.

Hal senada disampaikan be­kas dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr Menaldi Rasmin Sp.P(K) FCCP. “Menyelenggarakan pen­didikan kedokteran me­mang butuh biaya tinggi,” ujarnya.  

Saat masih menjadi dekan, ia pernah melakukan survei pada 2002. Hasilnya, biaya pendidi­kan mahasiswa strata dokter per semester Rp 15,5 juta. Saat ini ten­tu biaya pendidikan lebih membengkak.

Menurut Menaldi, saat itu biaya pendidikan sebesar itu tak semua ditanggung mahasiswa. Setiap semester, mahasiswa FKUI hanya ditarik Rp 1,5 juta. Akibatnya FKUI mengalami defisit Rp 22,8 miliar per tahun.

DPR berencana membuat undang-undang yang mengatur mengenai pendidikan kedok­te­ran. Komisi X telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk me­rancang aturan itu.

Rohmani, anggota Panja me­ngatakan, pihaknya akan mem­bahas berbagai masalah pen­di­di­kan kedokteran. Mulai dari cara menekan biaya pendi­di­kan kedok­teran sehingga akses ter­hadap bi­dang ini lebih luas.  Sebab, pen­di­di­kan kedokteran juga ber­tujuan menempatkan ke­dokteran atau kesehatan sebagai public good.

“Kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap warga negara. Oleh karena itu biaya yang dikeluarkan rakyat harus terjangkau dan ber­kualitas,” kata anggota Fraksi Par­tai Keadilan Sejahteran (PKS) ini.

Rohmani menjelaskan, seorang mahasiswa kedokteran mem­bu­tuh­kan Rp 100-300 juta untuk me­nye­lesaikan pendidikannya. Menurut dia, bila biaya ini bisa ditekan akan memengaruhi biaya berobat.

Kesehatan, menurut dia, adalah salah satu indikator kesejahteraan. Pe­merintah tidak boleh lalai men­jal­­ankan kewajibannya menjamin kesejahteraan rakyat.

“Sudah sewajarnyalah bila ne­gara menyediakan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Dan ini bisa dimulai dari biaya pendidikan ke­dokteran yang murah. Untuk ke­lompok masyarakat miskin yang memiliki kapasitas akademik bisa di­gratiskan,” jelas Rohmani.

Menurutnya, RUU yang sedang digarap itu harus bisa meng­ak­o­mo­dasi semua lapisan masyarakat. “Sa­lah satu ruh dari RUU ini adalah pendidikan kedokteran harus bisa dijangkau semua golongan, bukan golongan elite saja. Syaratnya, yang bersangkutan mampu secara akademik, dan secara kepribadian, memiliki jiwa sosial yang tinggi,” ujarnya menandaskan. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.