Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keluarga Mega Kirim Tiga Karangan Bunga

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Il Wafat

Kamis, 22 Desember 2011, 08:56 WIB
Keluarga Mega Kirim Tiga Karangan Bunga
Kim Jong Il
RMOL. Kim Jong Il wafat Sabtu pekan lalu. Nuansa duka akibat kematian pria yang memimpin Korea Utara sejak 1994 ini sampai ke Jakarta.

Bendera Korea Utara di halaman kedutaan besar negara itu Jalan Teluk Betung Nomor 2 Jakarta Pusat, berkibar terkena tiupan angina, Selasa siang. Ben­dera itu tak tersangkut penuh di tiangnya.

Pengibaran bendera tak penuh maupun setengah tiang itu me­rupakan pertanda duka. Para staf Kedutaan Besar Korea Utara di Ja­karta seolah ingin menun­juk­kan rasa kesedihan mendalam atas kematian pemimpin mereka.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Il meninggal pada Sabtu, 17 Desember 2011, pukul 08.30 pagi waktu setempat. Pria berusia 69 tahun yang memiliki 200 julukan ini meninggal di dalam kereta ka­rena kelelahan fisik setelah be­ker­ja terlalu keras.

Kim juga pernah terkena stroke pada 2008 lalu, dan sempat absen beberapa bulan. Kim Jong Un, put­ra bungsu Kim Jong Il yang masih berusia kepala dua naik menggantikan ayahnya.

Saat Rakyat Merdeka berkun­jung Selasa lalu, halaman Ke­du­ta­an Besar Korea Utara dipenuhi karangan bunga duka cita atas wa­fatnya Kim Jong Il.     

Karangan bunga itu diletak­kan berjejer di dinding halaman se­be­lah kiri yang berbatasan dengan rumah sebelah. Hingga tak ada lagi ruang tersisa di dinding itu.

Dua karangan bunga akhirnya diletakkan di depan pintu masuk kantor kedutaan. Karangan-ka­rangan bunga itu berasal dari sejumlah tokoh.

Di antaranya, dari Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan adiknya, Rachmawati Soe­kar­noputri. Rachmawati adalah Ketua Perhimpunan Persa­ha­ba­tan Indonesia-Korea Utara (PPIK).

Pihak Kedutaan Besar Korea Utara di Jakarta diwawancarai mengenai kematian pemimpin mereka. “Maaf kami belum bisa berkomentar karena masih berduka,” kata staf kedutaan yang mengaku bernama Kim.

Kedutaan Besar Korea Utara terletak persis di seberang halte bus Transjakarta Latuharhary, Jakarta Pusat.

Kantor kedutaan menempati areal seluas 3 ribu meter persegi. Di bagian depan dibatasi dengan pagar warna putih setinggi 2,5 meter. Di atasnya dipasangi besi yang diruncingkan.

 Di tengah-tengah dinding disediakan pintu masuk selebar tiga meter warna hijau. Pintu ini digunakan untuk keluar masuk kendaraan milik kedutaan.

Di samping kanan pintu masuk dipasang papan yang dilengkapi kaca. Ukurannya tak terlalu. Se­pin­tas mirip majalah dinding (mad­ding). Di papan itu ditempel delapan foto tentang aktifitas Kim Jong Il semasa hidup dan Par­tai Pekerja Korea.

Sebuah pintu masuk juga dise­dia­kan di dinding pagar paling kanan juga. Tapi, pintunya lebih besar. Hanya selebar meter. Pintu ini untuk keluar masuk tamu ke­du­taan yang berjalan kaki.

Sebuah papan pemberian ber­warna merah ditempel di sini. Isi­nya jadwal menerima tamu.  “Kun­jungan tamu, pagi jam 9.00-12.00 WIB. Sore hari 14.00-17.00 WIB. Tidak menerima tamu hari Sabtu dan Minggu,” demikian tulisan di papan itu.

Pintu utama yang berada di tengah selalu ditutup. Pintu ini baru dibuka bila ada kendaraan yang ingin masuk maupun ke luar kedutaan. Pintu dibuka dengan cara digeser.

Saat Rakyat Merdeka datang, pintu ini sering buka tutup. Bebe­rapa mobil bak terbuka (pick up) tampak berdatangan membawa karangan bunga.

Di belakang pintu masuk sebe­lah kanan dipasang tiang setinggi enam meter. Di samping kanan tiang bendera terdapat pos penga­ma­nan yang tidak terlalu besar.

Tidak ada satupun petugas ke­amanan yang berjaga di pos ini. Be­berapa staf kedutaan yang mengenakan pakaian jas warna hi­tam hilir mudik di halaman me­na­ta karangan bunga yang datang.

Di halaman sebelah kiri dipe­nuhi dengan beberapa mobil de­ngan pelat nomor diplomatik. Se­dangkan halaman sebelah kanan digunakan untuk menempatkan karangan bunga

Di tengah kompleks kedutaan ter­dapat bangunan satu lantai de­ngan bentuk atap mengerucut. Se­dangkan di belakangnya ber­diri bangunan tiga lantai. Ba­ngu­nan ini merupakan tempat tinggal para staf kedutaan.

Restoran Pyong Yang Tutup Empat Hari

Hari menjelang siang, Silalahi pelan-pelan menutup pintu pa­gar Pyong Yang Restaurant yang berada di Jalan Gandaria Nomor 58, Jakarta Selatan.

Setelah pagar ditutup, petu­gas keamanan ini memb­ersih­kan sampah-sampah yang ber­serakan di halaman restoran. “Restoran tutup selama empat hari. Hari Jumat besok baru buka lagi,” katanya.

Pria berumur 60 tahun ini me­ngatakan, restoran tutup se­jak Senin. “Tempat ini tutup ka­rena menghormati mening­gal­nya pemimpin Korea Utara,” kata pria asli Medan ini.

Nama Pyong Yang sengaja dipakai sebagai petunjuk bahwa restoran ini berasal dari Korea Utara. Pyong Yang adalah ibu kota negara itu.

Menurut Silalahi, restoran ini me­mang dibangun oleh peme­rintah Korea Utara pada 2008. Ini satu-satunya restoran Korea Utara di Indonesia. “Nggak ada di tempat lain,” ujar pria yang me­ngenakan topi merah ini.

Pria berkulit gelap ini me­nga­takan, semua pelanggan res­to­ran ini adalah orang Korea Uta­ra, terutama yang bekerja di Ke­dutaan Besar. “Kalau orang In­donesia nggak ada yang makan di tempat ini,” katanya.

Silalahi menjelaskan, resto­ran ini buka setiap hari dari pu­kul 11.00-22.00 WIB. “R­a­mai­nya kalau malam saja. Siang hari nggak ada orang, karena me­reka masih bekerja,” katanya.

Restoran Pyong Yang berada di pinggir Jalan Raya Gandaria Ja­kar­ta Selatan. Restoran dua lantai ini menempati lahan se­luas 12x12 meter. Di cat warna merah yang me­rupakan ikon dari Korea Utara.

Di bagian atas teras di pasang papan nama warna merah yang ditulis dengan bahasa Hangul (Ko­rea) dan bahasa Inggris “Pyong yang Restaurant”.

Di bagian depan terdapat pa­gar besi setinggi 80 centimeter da­lam keadaan tertutup. Pagar warna abu-abu ini bisa dilipat. Di bela­kangnya terdapat dua tiang pe­nyangga kanopi yang dite­m­pat­kan di tengah-tengah halaman.

Halaman rumah makan ini mam­pu menampung empat mo­bil. Namun saat itu sedang ko­song karena restoran libur. Be­berapa pot bunga diletakkan di halaman untuk memperindah tempat parkir mobil kendaraan.

Masuk kedalam restoran terdapat dinding kaca dengan ukuran cukup lebar. Di din­ding tersebut ditempel kertas A4 yang bertuliskan huruf Ha­ngul yang hanya bisa dibaca orang Korea.

Di samping kanan dinding, terdapat ruang yang sedikit men­jorok ke dalam yang digu­nakan untuk pintu masuk. Pintu terbuat dari kaca ini dalam ke­adaan tertutup rapat.

Sedangkan bangunan di lan­tai dua bagian depannya dilapisi dengan teralis kayu untuk meng­halau cahaya matahari. Jen­dela dibalik teralis kayu ti­dak terlihat dengan jelas dari luar.

Silalahi menjelaskan, pe­lan­g­gan yang datang ke res­toran ini  kebanyakan memesan Kim­chi. Kimchi adalah ma­ka­nan tra­di­sio­nal Korea. Ma­ka­nan ini se­je­nis asinan sayur ha­sil fer­men­tasi yang diberi bum­bu pedas.

Setelah digarami dan dicuci, sayuran dicampur dengan bum­bu yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih, jahe dan bubuk cabai merah. “Apa­lagi harganya cukup murah dibanding restoran yang lain, ” katanya.

Selain Kimchi, restoran ini juga sering memasak daging babi sebagai menu utamanya. Da­ging babi diolah menjadi ber­bagai ma­sakan. “Kebanyakan orang Korea suka daging ini,” katanya.

Dari Pakai Gincu Sampai Pegang Palu

Perempuan Korut Di Luar Negeri

Pegawai Pyong Yang Res­tau­rant seluruhnya wanita. Me­reka didatangkan langsung dari Korea Utara.  “Sehari-harinya me­reka tinggal di restoran ini. Tapi sekarang mereka tinggal di ke­dutaan untuk berpartisipasi dalam acara meninggalnya pe­mimpin mereka,” kata Silalahi, penjaga rumah makan ini.

Pria yang telah bekerja sejak restoran dibuka pada 2008 lalu ini menambahkan, pegawai di sini tidak hanya pandai me­ma­sak, tapi bisa melakukan sejum­lah pekerjaan.

Perempuan pegawai restoran ini mampu menyanyi dan me­nari untuk menghibur para tamu. Tentunya, yang mereka ba­wakan adalah nyanyian mau­pun tarian Korea.

Perempuan-perempuan asal Korea Utara itu juga dituntut bisa merawat restoran. Mereka tak sungkan untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakoni pria. Seperti mengecat dan me­masang cone block di halaman restoran.

“Banyak warga di sini heran kok wanita bisa memasang b­e­gituan (cone block). Hasilnya rapi lagi,” kata Silalahi.

Banyaknya tugas yang di­emban pegawai restoran, kata Si­lalahi, patut dimaklumi kare­na Ko­rea Utara negara yang ti­dak kaya. Sehingga tidak bisa mem­berikan fasilitas dana besar un­tuk perkembangan restoran ini.

Apalagi restoran ini tidak terlalu menguntungkan lantaran hanya melayani orang Korea. “Paling banyak yang datang ha­nya 30 orang. Itu pun pas wee­kend. Jadi secara hitung-hitu­ngan bisnis, rugi,” katanya.

Minimnya pendapatan resto­ran berdampak kepada pen­da­pa­tan Silalahi. “Setiap bulan saya hanya mendapat gaji 1 juta. Itu pun kotor,” katanya.

Sebuah media besar di Aus­tralia pernah menurunkan tu­li­san bahwa restoran Korea Utara di Jakarta diduga merupakan alat propaganda komunis rezim Kim Jong Il. Juga dituding se­baga tempat pencucian uang, pe­mal­suan, perdagangan sen­jata, per­dagangan obat ter­larang.

Diplomasi Bunga Ala Soekarno

Hubungan Indonesia-Korea Utara merupakan salah satu fak­tor penting untuk meme­ta­kan posisi Indonesia pada Orde Lama dalam perang dua kubu: Blok Barat dan Blok Timur.

Soekarno mengusulkan ada­nya poros poros†Peking (Bei­jing)-Jakarta-Pyongyang pada 1964 untuk menyambut keda­ta­ngan Presiden Korea Utara Kim Il Sung.

Pembentukan poros ini pula yang menjadi salah satu pen­do­rong CIA masuk ke Indonesia untuk menghentikan kekuatan Blok Timur di Asia Tenggara.

Masa keakraban Jakarta de­ngan Pyongyang punya sisi romantiknya tersendiri. Bunga Kimilsungia yang menjadi bu­nga nasional Korea Utara ada­lah bunga anggrek dendrobium asal hutan Makassar

Alkisah, pada 13 April 1965, Kim Il Sung melakukan kun­ju­ngan diplomatik ke Indonesia. Soekarno lalu mengajak Kim Il Sung melihat-lihat ke Kebun Raya Bogor.

Kim Il Sung sempat berhenti sejenak untuk menikmati dere­tan anggrek dendrobium yang tengah mekar. Melihat kole­ga­nya tertarik dengan bunga itu, Soekarno langsung mem­be­ri­kan bunga itu kepada Kim Il Sung. Bunga ini sekaligus se­bagai hadiah ulang tahun untuk sang tamu.

Tak hanya itu, Soekarno mem­berikan nama bunga itu “Ki­mil­sungia”. Nama itu per­paduan kata “Kim Il Sung” dan “In­do­nesia”. Sejak itulah nama Ki­mil­sungia diabadaikan sebagai bunga nasional Korea Utara. Sekaligus simbol persahabatan Indonesia dan Korea.

Di Korea Utara, bunga di­kem­bangkan varietasnya. Awal­nya, hanya tiga kuntum bunga di setiap pohon. Belakangan berhasil dikembangkan jadi enam sampai tujuh kuntum. Se­telah kejatuhan Soekarno, hu­bu­ngan Indonesia lebih mesra dengan musuh Korea Utara: Korea Selatan.

Perdagangan Indonesia-Ko­rea Selatan terus melonjak ni­lainya dari tahun ke tahun. Bahkan Korea pernah tercatat sebagai negara ketiga terbesar penanam investasi di Indonesia.

Dua mobil produksi Korea Selatan pun sempat hendak di­jadikan prototipe mobil nasio­nal. Tapi proyek ini kandas se­te­lah Soeharto lengser.

Selama Orde Baru, hubungan dengan Korea Utara tersisihkan. Baru setelah reformasi bergulir, hubungan kedua negara mulai dibina kembali.

Untuk mengenang hubungan baik kedua negara, pemerintah Korea Utara mulai 1999 meng­gelar “Festival Bunga Kimil­su­ngia”. Festival ini sekaligus se­bagai penghormatan terhadap mendiang Kim Il Sung.

Indo­ne­sia menjadi satu-satunya negara yang mendapat kehormatan memberikan sam­bu­tan di acara itu. Korea Utara sempat mena­warkan bantuan senjata kepada Indonesia. Di antaranya kapal selam dan radar dengan harga murah. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA