Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kayu Melintang di Rel, Gagal Kumpul Bersama Keluarga

Mereka yang Bertugas Saat Idul Fitri

Sabtu, 03 September 2011, 06:50 WIB
Kayu Melintang di Rel, Gagal Kumpul Bersama Keluarga
ilustrasi, masinis kereta api
RMOL. Santoso sibuk membersihkan kaca depan lokomotif kereta bernomor CC 20410 dengan kain di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Setelah kaca bersih dari debu dan kotoran, pria bertopi biru ini mengecek klakson kereta Argo Sindoro jurusan Jakarta-Semarang. “Ini pemeriksaan terakhir sebelum berangkat,” kata masinis
yang  mengenakan seragam biru ini.

Pria asal Jakarta ini mendapat tu­gas mengemudikan lokomotif yang menarik 10 gerbong itu ha­nya sampai Stasiun Cirebon. Ma­sinis lain akan melanjutkan per­jalanan dari Cirebon ke Stasiun Ta­­wang, Semarang. “Sesuai atur­an dari pusat (PT KAI) masinis ha­nya boleh membawa kereta pa­ling lama empat jam,” katanya.

Santoso mengatakan, per­ja­la­nan dari Jakarta ke Cirebon akan ditempuh selama empat jam. “Se­telah sampai di Cirebon saya is­tirahat untuk melepas lelah be­be­rapa jam, habis itu membawa ke­reta lagi,” ujar Santoso.

Rencananya, Santoso  mem­bawa kereta Bima jurusan Su­rabaya-Jakarta dalam perja­la­nan balik. Kereta ini tiba di Sta­siun Cirebon pukul 2 dini hari. “Saya yang akan membawa dari Cire­bon ke Jakarta,” katanya.

Ayah satu anak ini bertugas sebagai masinis dengan sistem enam hari kerja dan satu hari libur dalam se­minggu. “Jadi hari li­burnya tidak tentu, tergantung giliran saja,” katanya.

Saat liburan Lebaran, Santoso tidak diizinkan mengambil cuti mulai H-7 sampai H+7 Idul Fitri. Sebab, pada waktu tersebut pe­numpang yang menggunakan kereta sedang membludak.

“Kalau mau me­ngam­­bil cuti sebulan setelah Lebaran. Biasanya baru diper­bo­lehkan,” katanya.

Selain masinis, pegawai oper­­sional perjalanan kereta juga ti­dak boleh mengambil cuti saat Lebaran. “Sedikit terhibur karena banyak juga teman yang bertugas selama Lebaran,” akunya.

Bukan kali ini saja Santoso tak bisa merayakan Idul Fitri ber­sama keluarga. Sudah tujuh kali Lebaran dilaluinya di perjalanan sejak diangkat menjadi masinis.

“Awalnya istri mengeluh de­ngan kerjaan saya. Tapi setelah saya jelaskan bahwa menjadi ma­sinis juga ibadah, akhirnya dia pa­ham dan menerima kondisi te­r­se­but dengan lapang dada,” urainya.

Sebetulnya dalam hati Santoso merasa berat meninggalkan ke­luar­ga pada saat Idul Fitri. Ter­uta­ma saat mendengar gema tak­bir yang bersahut-sahutan di se­panjang rel.”Seringkali hati me­rinding dan ingin menangis men­dengar suara takbir. Tapi mau ba­gaimana lagi. Ini bagian dari tugas yang harus diembannya,” katanya.

Menurut dia, kalau terus mene­rus bersedih justru membuat tidak fokus menjalankan tugas se­hing­ga bisa membahayakan per­ja­lanan kereta.

Untuk menghilangkan kesedi­han tersebut, Santoso memilih ngobrol dengan sesama masinis. “Ka­lau sudah ngobrol bareng ke­se­dihan pasti hilang. Mereka sama-sama jauh dari keluarga,” katanya.

Sebetulnya, tutur Santoso, tiga tahun lalu dirinya mempunyai ke­sempatan berlebaran dengan istri dan anak. Kebetulan hari raya itu bertepatan dengan jadwal libur­nya. “Saya senang bukan ke­pa­lang bisa berkumpul de­ngan ke­luarga karena ini peristiwa yang sangat langka,” kisah Santoso.

Namun tanpa dinyana, dalam perjalanan ke Jakarta kereta yang dibawanya harus berhenti di te­ngah jalan karena ada rintangan ba­lok kayu di rel yang akan dilalui. Kereta tidak di­perboleh­kan melin­tas sampai dilakukan pemeriksaan bahwa rel aman dilewati.

“Padahal tinggal dua jam lagi sampai Jakarta. Tapi karena pro­ses pengangkatan rintangan dari rel memakan waktu lama, ak­hirnya keinginan untuk shalat Id bareng keluarga tidak menjadi ke­nyataan. Mungkin sudah nasib kali,” kenang Santoso.

Walaupun demikian, Santoso sangat mencintai pekerjaannya sebagai masinis kereta karena bisa membantu orang banyak ber­silaturahmi dengan keluarganya di kampung halaman. “Bila orang yang saya bawa senang, tentu kan saya dapat pahala. Itu ibadah juga,” ujarnya.

Warung Makan Tutup, Sulit Ngisi Perut

Handy Talky  (HT) di atas meja kerjanya terus-menerus berbunyi. Suara anak buah yang melaporkan kondisi keamanan di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sayup-sayup terdengar.

Dengan tangkas, Bambang S  menyambar radio komunikasi itu memberikan perintah kepada petugas di lapangan.

”Tetap waspada dan laporkan bila ada kejadian yang meresah­kan ma­syarakat,” kata pria yang men­jabat sebagai Kepala Posko Ke­amanan Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu.

Pria yang mengenakan sera­gam polisi dengan dua melati  di pundaknya ini mengaku men­dapatkan tugas sebagai kepala pos­ko keamanan di sini selama Operasi Ketupat. Operasi ini di­gelar selama 14 hari, dari se­minggu sebelum hingga seming­gu setelah Lebaran. “Tidak ada hari libur,” katanya.

Selama operasi berlangsung, kata polisi berpangkat Ajun Ko­misaris Besar itu, dirinya tidak diperbolehkan mengambil cuti. Setelah operasi baru boleh me­ngambil cuti.

Polisi yang terlibat dalam ope­rasi hanya boleh cuti kalau menghadapi kondisi daru­rat. Misalnya, ada anggota ke­luarga yang terkena musibah.

Bambang yang berasal dari Madiun, Jawa Timur ini, me­ngi­sah­kan, dirinya tidak pernah ber­lebaran bersama keluarga selama 35 tahun atau sejak menjadi polisi. “Bagi polisi tugas adalah nomor satu, keluarga nomor dua,” ujar Bambang.

Bambang mengatakan, dirinya masuk Kepolisian tahun 1975 melalui jalur Bintara. Setelah 35 tahun berkarier, dia me­nempati jabatan sebagai Kepala Bagian Pengamanan Objek Vital Kepo­lisian Daerah Metro Jaya.

Lama tidak pernah berlebaran dengan keluarga, Bambang me­ngaku matanya sering ber­kaca-kaca bila mendengar kumandang takbir menjelang shalat Id. Saat itulah dia teringat keluarga.

“Apalagi kalau pas melihat keluarga lain bisa berkumpul bersama, pasti iri melihatnya,” curhat Bambang.

Bambang lalu bercerita ketika masa awal menjadi polisi dan mendapat tugas berjaga di hari Lebaran. Pada 1978, dia ditugas­kan di Stasiun Pasar Senen. “Waktu itu saya nangis begitu men­dengar takbir pagi-pagi karena ingat orangtua yang tinggal di Madiun,” kisahnya.

Kesedihannya makin parah lantaran kesulitan mencari ma­kan. Sebab, semua warung ma­kan tutup. Ia pun sempat k­e­la­paran. “Lengkap sudah pen­de­ritaan. Saat itu handphone belum ada, ya akhirnya saya ngobrol sama teman-teman yang sama-sama jaga untuk menghilangkan kesedihan,” katanya.

Untuk mengurangi rasa ke­ce­wa keluarganya karena ditinggal bertugas, Bambang memilih nyad­ran atau berziarah ke ma­kam leluhur di Madiun.

“Biasanya kalau sudah diajak nyadran, mereka sudah senang dan tidak terlalu sedih saat di­tinggal bertugas saat lebaran,” cerita Bambang.

Lumayan, Sekali Jalan Dapat Rp 400 Ribu

Bus dengan sedikit penum­pang melaju pelan-pelan mema­suki Terminal Lebak Bulus, Ja­karta Selatan. Bus jurusan Ja­karta-Madiun ini kemudian parkir. “Lagi istirahat sebentar sambil menunggu penumpang penuh,” kata Budi, supir bus PO Rosalia Indah.

Pria yang mengenakan kaca­mata ini akan membawa pe­num­pang yang hendak ke Solo dan Madiun. Bus yang diken­darainya dijadwalkan berangkat pukul 14.00 WIB. “Kalau lan­car jam 9 pagi besok sudah sam­pai Madiun. Kalau macet bisa sampai sore hari,” katanya.

Sebagai supir bus malam, Budi mengaku sudah 12 tahun tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. “Pada hari biasa sistem kerjanya dua hari ker­ja satu hari libur. Tapi, kalau Lebaran bisa masuk terus agar semua penumpang bisa ter­angkut,” jelas Budi.

Budi mengaku selalu ter­enyuh bila mendengar suara tak­bir di perjalanan. Ia langsung  teringat keluarganya di Solo. “Tapi mau gimana lagi, kalau di rumah terus malah nggak dapat duit,” katanya.

Untuk melepas rasa kangen keluarga, kata pria asli Solo ini mencuri-curi kesempatan me­nelepon saat bus berhenti di res­toran untuk memberi kesem­pa­tan penumpang makan malam. “Saya langsung telepon anak dan istri untuk mengobati rasa kangen,” ujarnya.

Perasaan sedih tak bisa kum­pul keluarga saat Lebaran bisa terobati oleh imbalan besar yang diperoleh. “Kalau Lebaran  se­ka­li bawa bus ke Madiun bisa dapat 400 ribu. Lumayan bisa beli buat oleh-oleh keluarga,” katanya.

Menurut Budi, keluarganya bisa memahami bila dia tak bisa pulang saat Lebaran ka­rena harus mengangkut pe­numpang. Ke­luar­ganya me­nilai, pekerjaan se­bagai supir bus juga mulia karena mem­bantu orang mudik.

Polisi Dilarang Ambil Cuti Saat Lebaran

Kepala Biro Operasi Polda Met­ro Jaya Kombes Su­jar­­no me­­ngatakan, pihak Kepolisian meng­guna­kan kekuatan penuh untuk men­jaga keamanan ma­syarakat yang akan merayakan hari raya Idul Fitri.

Untuk memberikan keama­nan penuh kepada masyarakat, Sujarno melarang anggota po­lisi cuti pada saat Lebaran. Mereka harus bekerja ekstra untuk melayani jutaan ma­sya­rakat yang akan melak­sanakan mudik  selama H-7 sampai H+7 Lebaran.

“Kalau mau cuti, ya jangan bekerja sebagai polisi. Karena pada saat-saat seperti ini, polisi dibutuhkan sekali untuk mem­beri kenyamanan bagi ma­sya­rakat, misalnya kenyamanan saat mudik, saat Idul Fitri, saat rekreasi dan sampai selesainya musim Lebaran,” katanya.

Sujarno mengatakan, dalam Operasi Ketupat tahun 2011, Polda Metro Jaya mengerahkan 2/3 personelnya untuk menjaga keamanan masyarakat Kota Jakarta dan sekitarnya. Seba­nyak 18.446 personel diturun­kan dalam operasi ini untuk me­ngantisipasi berbagai ke­mung­kinan ancaman.

Operasi Ketupat juga mel­i­batkan beberapa instansi lain yang berjumlah 2.680 personel dalam bentuk tim gabungan. Sebanyak 1.500 orang dari Sa­tuan Polisi Pamong Praja, 200 orang dari Dinas Perhubungan DKI, 650 orang dari Pemadam Kebakaran, 30 orang Dinas Kesehatan, 100 orang Pramuka, dan 200 anggota TNI.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA