yang mengenakan seragam biru ini.
Pria asal Jakarta ini mendapat tuÂgas mengemudikan lokomotif yang menarik 10 gerbong itu haÂnya sampai Stasiun Cirebon. MaÂsinis lain akan melanjutkan perÂjalanan dari Cirebon ke Stasiun TaÂÂwang, Semarang. “Sesuai aturÂan dari pusat (PT KAI) masinis haÂnya boleh membawa kereta paÂling lama empat jam,†katanya.
Santoso mengatakan, perÂjaÂlaÂnan dari Jakarta ke Cirebon akan ditempuh selama empat jam. “SeÂtelah sampai di Cirebon saya isÂtirahat untuk melepas lelah beÂbeÂrapa jam, habis itu membawa keÂreta lagi,†ujar Santoso.
Rencananya, Santoso memÂbawa kereta Bima jurusan SuÂrabaya-Jakarta dalam perjaÂlaÂnan balik. Kereta ini tiba di StaÂsiun Cirebon pukul 2 dini hari. “Saya yang akan membawa dari CireÂbon ke Jakarta,†katanya.
Ayah satu anak ini bertugas sebagai masinis dengan sistem enam hari kerja dan satu hari libur dalam seÂminggu. “Jadi hari liÂburnya tidak tentu, tergantung giliran saja,†katanya.
Saat liburan Lebaran, Santoso tidak diizinkan mengambil cuti mulai H-7 sampai H+7 Idul Fitri. Sebab, pada waktu tersebut peÂnumpang yang menggunakan kereta sedang membludak.
“Kalau mau meÂngamÂÂbil cuti sebulan setelah Lebaran. Biasanya baru diperÂboÂlehkan,†katanya.
Selain masinis, pegawai operÂÂsional perjalanan kereta juga tiÂdak boleh mengambil cuti saat Lebaran. “Sedikit terhibur karena banyak juga teman yang bertugas selama Lebaran,†akunya.
Bukan kali ini saja Santoso tak bisa merayakan Idul Fitri berÂsama keluarga. Sudah tujuh kali Lebaran dilaluinya di perjalanan sejak diangkat menjadi masinis.
“Awalnya istri mengeluh deÂngan kerjaan saya. Tapi setelah saya jelaskan bahwa menjadi maÂsinis juga ibadah, akhirnya dia paÂham dan menerima kondisi teÂrÂseÂbut dengan lapang dada,†urainya.
Sebetulnya dalam hati Santoso merasa berat meninggalkan keÂluarÂga pada saat Idul Fitri. TerÂutaÂma saat mendengar gema takÂbir yang bersahut-sahutan di seÂpanjang rel.â€Seringkali hati meÂrinding dan ingin menangis menÂdengar suara takbir. Tapi mau baÂgaimana lagi. Ini bagian dari tugas yang harus diembannya,†katanya.
Menurut dia, kalau terus meneÂrus bersedih justru membuat tidak fokus menjalankan tugas seÂhingÂga bisa membahayakan perÂjaÂlanan kereta.
Untuk menghilangkan kesediÂhan tersebut, Santoso memilih ngobrol dengan sesama masinis. “KaÂlau sudah ngobrol bareng keÂseÂdihan pasti hilang. Mereka sama-sama jauh dari keluarga,†katanya.
Sebetulnya, tutur Santoso, tiga tahun lalu dirinya mempunyai keÂsempatan berlebaran dengan istri dan anak. Kebetulan hari raya itu bertepatan dengan jadwal liburÂnya. “Saya senang bukan keÂpaÂlang bisa berkumpul deÂngan keÂluarga karena ini peristiwa yang sangat langka,†kisah Santoso.
Namun tanpa dinyana, dalam perjalanan ke Jakarta kereta yang dibawanya harus berhenti di teÂngah jalan karena ada rintangan baÂlok kayu di rel yang akan dilalui. Kereta tidak diÂperbolehÂkan melinÂtas sampai dilakukan pemeriksaan bahwa rel aman dilewati.
“Padahal tinggal dua jam lagi sampai Jakarta. Tapi karena proÂses pengangkatan rintangan dari rel memakan waktu lama, akÂhirnya keinginan untuk shalat Id bareng keluarga tidak menjadi keÂnyataan. Mungkin sudah nasib kali,†kenang Santoso.
Walaupun demikian, Santoso sangat mencintai pekerjaannya sebagai masinis kereta karena bisa membantu orang banyak berÂsilaturahmi dengan keluarganya di kampung halaman. “Bila orang yang saya bawa senang, tentu kan saya dapat pahala. Itu ibadah juga,†ujarnya.
Warung Makan Tutup, Sulit Ngisi PerutHandy Talky (HT) di atas meja kerjanya terus-menerus berbunyi. Suara anak buah yang melaporkan kondisi keamanan di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sayup-sayup terdengar.
Dengan tangkas, Bambang S menyambar radio komunikasi itu memberikan perintah kepada petugas di lapangan.
â€Tetap waspada dan laporkan bila ada kejadian yang meresahÂkan maÂsyarakat,†kata pria yang menÂjabat sebagai Kepala Posko KeÂamanan Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu.
Pria yang mengenakan seraÂgam polisi dengan dua melati di pundaknya ini mengaku menÂdapatkan tugas sebagai kepala posÂko keamanan di sini selama Operasi Ketupat. Operasi ini diÂgelar selama 14 hari, dari seÂminggu sebelum hingga semingÂgu setelah Lebaran. “Tidak ada hari libur,†katanya.
Selama operasi berlangsung, kata polisi berpangkat Ajun KoÂmisaris Besar itu, dirinya tidak diperbolehkan mengambil cuti. Setelah operasi baru boleh meÂngambil cuti.
Polisi yang terlibat dalam opeÂrasi hanya boleh cuti kalau menghadapi kondisi daruÂrat. Misalnya, ada anggota keÂluarga yang terkena musibah.
Bambang yang berasal dari Madiun, Jawa Timur ini, meÂngiÂsahÂkan, dirinya tidak pernah berÂlebaran bersama keluarga selama 35 tahun atau sejak menjadi polisi. “Bagi polisi tugas adalah nomor satu, keluarga nomor dua,†ujar Bambang.
Bambang mengatakan, dirinya masuk Kepolisian tahun 1975 melalui jalur Bintara. Setelah 35 tahun berkarier, dia meÂnempati jabatan sebagai Kepala Bagian Pengamanan Objek Vital KepoÂlisian Daerah Metro Jaya.
Lama tidak pernah berlebaran dengan keluarga, Bambang meÂngaku matanya sering berÂkaca-kaca bila mendengar kumandang takbir menjelang shalat Id. Saat itulah dia teringat keluarga.
“Apalagi kalau pas melihat keluarga lain bisa berkumpul bersama, pasti iri melihatnya,†curhat Bambang.
Bambang lalu bercerita ketika masa awal menjadi polisi dan mendapat tugas berjaga di hari Lebaran. Pada 1978, dia ditugasÂkan di Stasiun Pasar Senen. “Waktu itu saya nangis begitu menÂdengar takbir pagi-pagi karena ingat orangtua yang tinggal di Madiun,†kisahnya.
Kesedihannya makin parah lantaran kesulitan mencari maÂkan. Sebab, semua warung maÂkan tutup. Ia pun sempat kÂeÂlaÂparan. “Lengkap sudah penÂdeÂritaan. Saat itu handphone belum ada, ya akhirnya saya ngobrol sama teman-teman yang sama-sama jaga untuk menghilangkan kesedihan,†katanya.
Untuk mengurangi rasa keÂceÂwa keluarganya karena ditinggal bertugas, Bambang memilih nyadÂran atau berziarah ke maÂkam leluhur di Madiun.
“Biasanya kalau sudah diajak nyadran, mereka sudah senang dan tidak terlalu sedih saat diÂtinggal bertugas saat lebaran,†cerita Bambang.
Lumayan, Sekali Jalan Dapat Rp 400 RibuBus dengan sedikit penumÂpang melaju pelan-pelan memaÂsuki Terminal Lebak Bulus, JaÂkarta Selatan. Bus jurusan JaÂkarta-Madiun ini kemudian parkir. “Lagi istirahat sebentar sambil menunggu penumpang penuh,†kata Budi, supir bus PO Rosalia Indah.
Pria yang mengenakan kacaÂmata ini akan membawa peÂnumÂpang yang hendak ke Solo dan Madiun. Bus yang dikenÂdarainya dijadwalkan berangkat pukul 14.00 WIB. “Kalau lanÂcar jam 9 pagi besok sudah samÂpai Madiun. Kalau macet bisa sampai sore hari,†katanya.
Sebagai supir bus malam, Budi mengaku sudah 12 tahun tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. “Pada hari biasa sistem kerjanya dua hari kerÂja satu hari libur. Tapi, kalau Lebaran bisa masuk terus agar semua penumpang bisa terÂangkut,†jelas Budi.
Budi mengaku selalu terÂenyuh bila mendengar suara takÂbir di perjalanan. Ia langsung teringat keluarganya di Solo. “Tapi mau gimana lagi, kalau di rumah terus malah nggak dapat duit,†katanya.
Untuk melepas rasa kangen keluarga, kata pria asli Solo ini mencuri-curi kesempatan meÂnelepon saat bus berhenti di resÂtoran untuk memberi kesemÂpaÂtan penumpang makan malam. “Saya langsung telepon anak dan istri untuk mengobati rasa kangen,†ujarnya.
Perasaan sedih tak bisa kumÂpul keluarga saat Lebaran bisa terobati oleh imbalan besar yang diperoleh. “Kalau Lebaran seÂkaÂli bawa bus ke Madiun bisa dapat 400 ribu. Lumayan bisa beli buat oleh-oleh keluarga,†katanya.
Menurut Budi, keluarganya bisa memahami bila dia tak bisa pulang saat Lebaran kaÂrena harus mengangkut peÂnumpang. KeÂluarÂganya meÂnilai, pekerjaan seÂbagai supir bus juga mulia karena memÂbantu orang mudik.
Polisi Dilarang Ambil Cuti Saat LebaranKepala Biro Operasi Polda MetÂro Jaya Kombes SuÂjarÂÂno meÂÂngatakan, pihak Kepolisian mengÂgunaÂkan kekuatan penuh untuk menÂjaga keamanan maÂsyarakat yang akan merayakan hari raya Idul Fitri.
Untuk memberikan keamaÂnan penuh kepada masyarakat, Sujarno melarang anggota poÂlisi cuti pada saat Lebaran. Mereka harus bekerja ekstra untuk melayani jutaan maÂsyaÂrakat yang akan melakÂsanakan mudik selama H-7 sampai H+7 Lebaran.
“Kalau mau cuti, ya jangan bekerja sebagai polisi. Karena pada saat-saat seperti ini, polisi dibutuhkan sekali untuk memÂberi kenyamanan bagi maÂsyaÂrakat, misalnya kenyamanan saat mudik, saat Idul Fitri, saat rekreasi dan sampai selesainya musim Lebaran,†katanya.
Sujarno mengatakan, dalam Operasi Ketupat tahun 2011, Polda Metro Jaya mengerahkan 2/3 personelnya untuk menjaga keamanan masyarakat Kota Jakarta dan sekitarnya. SebaÂnyak 18.446 personel diturunÂkan dalam operasi ini untuk meÂngantisipasi berbagai keÂmungÂkinan ancaman.
Operasi Ketupat juga melÂiÂbatkan beberapa instansi lain yang berjumlah 2.680 personel dalam bentuk tim gabungan. Sebanyak 1.500 orang dari SaÂtuan Polisi Pamong Praja, 200 orang dari Dinas Perhubungan DKI, 650 orang dari Pemadam Kebakaran, 30 orang Dinas Kesehatan, 100 orang Pramuka, dan 200 anggota TNI.
[rm]