Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Air Mata dan Doa Banjir di Pemakaman Umum

Tradisi Nyekar dan Ziarah Jelang Ramadhan

Senin, 01 Agustus 2011, 08:03 WIB
Air Mata dan Doa Banjir di Pemakaman Umum
Ziarah kubur marak menjelang Ramadhan
RMOL. Ziarah kubur marak menjelang Ramadhan. Bagi sebagian muslim, rasanya kurang afdol melaksanakan ibadah puasa bila belum nyekar ke makam leluhur maupun sanak keluarga.

Tiga hari menjelang puasa, sua­sana TPU Menteng Pulo, Casa­blanca, Jakarta Selatan mendadak ramai. Pemantauan Rakyat Mer­deka kemarin, salah satu pema­kaman besar di ibukota ini telah di­penuhi orang sejak pagi. Ribu­an penziarah datang silih ber­ganti. Kebanyakan mengajak ke­luarga. Tapi ada juga yang datang sendirian.

Deretan makam yang tertata ra­pi penuh warna-warni kembang yang ditaburkan peziarah. Bau wa­ngi bunga melati pun tercium be­gitu memasuki areal pemakaman.  

Di salah satu makam, satu ke­luarga tampak khusyuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan mela­fal­kan doa-doa. Mata mereka ter­pejam sambil menengadahkan ke­dua tangan menghadap langit.

Beberapa peziarah terlihat me­nitikkan air mata. Sayup-sayup terdengar suara isak tangis. Orang yang berada di sampingnya men­coba menenangkan sambil meng­usap lembut punggungnya.

“Saya datang ke sini mau lihat makam ibu. Rasanya rindu sekali, karena ibu baru meninggal dua bu­lan lalu,” ujar Septiani (30). Ma­­tanya masih berkaca-kaca se­perti habis menangis. Ia datang ke sini bersama keluarganya.

Sebelum memasuki areal pe­ma­kaman, keramaian sudah ter­lihat di sekitar pintu masuk TPU. Deretan mobil terparkir rapi di jalan Casablanca. Di atas trotoar di depan pemakaman berjejer rapi puluhan pedagang bunga tabur. Jarak meja pedagang yang satu dengan lainnya berdekatan. Di atas meja dipajang bungkusan bunga tabur, bunga melati, dan air kembang.

Tak hanya ramai para peziarah dan pedagang kembang tabur, pe­dagang makanan dan minuman pun ngumpul di sini. Mereka hen­dak mengais rezeki dari tradisi nye­kar menjelang Ramadhan. Pe­dagang bakso, sate, bakpao, kue cubit, kerak telor dan lainnya ber­jejer di kanan dan kiri jalan pe­ma­kaman.

Para pembersih makam, pem­baca doa, tukang payung, dan ju­ru parkir juga tak menyia-siakan ke­sempatan. Para pembersih ma­kam langsung menawarkan ja­sanya kepada peziarah yang datang.

Ada juga yang langsung mem­bersihkan makam tanpa diperin­tah lebih dulu. Bermodalkan sapu lidi dan gunting rumput mereka membersihkan makam yang ter­lihat kurang terawat.

Daun-daun kering dan sampah yang berserakan dipungut. Rum­put di sekitar makam yang sudah panjang dipangkas sehingga ter­lihat rapi. Nisan yang sudah ber­debu pun dibersihkan dengan ka­in lap basah. Dalam sekejab nisan yang terbuat dari marmer itu kembali.

Itu dilakukan untuk mengharap imbalan dari peziarah yang le­luhur maupun sanak saudaranya dimakamkan di situ. Uang yang diterima dari peziarah lalu dibagi rata. Bukan orang dewasa, bebe­rapa bocah ikut-ikutan jadi pem­bersih makam dadakan ini.

Sama seperti tukang bersih ma­kam, tukang payung pun meng­hampiri peziarah untuk mena­war­kan jasa memayungi dari terik matahari. Makin banyak jumlah keluarga peziarah, makin banyak pula tukang payung yang mena­war­kan jasa.

Tukang payung ini dengan sa­bar menunggu hingga para pe­ziarah selesai berdoa dan mena­burkan bunga. Sama halnya de­ngan tukang bersih makam, me­reka pun mengharapkan imbalan uang dari peziarah.

Momen nyekar ini juga mem­bawa keuntungan bagi pembaca doa. Di sekitar makam, terlihat pu­luhan orang pembaca doa. Me­ngenakan peci, baju koko, sarung dan buku yasinan mereka keliling makam menawarkan jasanya.

Umumnya, peziarah menggu­na­kan jasa mereka agar lebih khu­s­yuk saat nyekar. Beberapa pe­ziarah langsung memanggil pem­baca doa begitu tiba di sini. Para pembaca doa ini tak mema­tok tarif. Berapa pun uang dibe­ri­kan akan diterima.

Sayangnya, para peziarah yang datang kurang menjaga kebersi­han. Plastik pembungkus kem­bang tabur berserakan di hampir semua areal pemakaman. Pada­hal, pengelola makam sudah me­nyediakan beberapa tempat sam­pah yang diletakkan di pinggir jalan.

Suasana ramai juga terlihat di TPU Karet Bivak di Jalan Penjer­nihan Raya, Jakarta Pusat. Ratu­san orang datang ke sini untuk ber­ziarah menjelang Ramadhan.

Di sekitar pintu masuk pema­ka­man dipenuhi pedagang bunga tabur. Suasana yang sama juga su­dah terlihat di sepanjang trotoar Jalan Penjernihan Raya. Sempit­nya lahan parkir yang disediakan, memaksa peziarah yang tak ke­bagian tempat untuk memarkir kendaraannya di jalan. Dari tiga lajur yang tersedia, satu lajur di­pakai untuk parkir mobil. Aki­batnya arus lalu lintas di jalan itu menjadi tersendat.

Rahmat (35), warga Pasar Rum­put, Manggarai, Jakarta Se­latan memilih berziarah ke ma­kam ayahnya menjelang Rama­dhan. Menurut bapak tiga anak ini, ini sudah dilakukan sejak la­ma. Tak hanya ke makam orang tua, dia juga ziarah ke makam le­luhur untuk berdoa.

“Setiap tahun kita selalu me­nyempatkan ziarah, apalagi kalau sudah dekat puasa pasti ke sini (TPU Karet). Di sini jadi ramai se­kali karena sudah tradisinya se­perti itu,” ujarnya.

Hal yang sama juga dilakukan Dewi  (32). Warga Tanah Abang ini menuturkan, tradisi nyekar su­dah diajarkan orangtuanya sejak masih kanak-kanak. Selain untuk berdoa, nyekar sebelum Rama­dhan dipercaya dapat menenang­kan arwah mereka yang sudah tiada.

 â€œYa, kami doakan semoga me­reka tenang di sisi Tuhan. Dengan begitu, kami anak-anaknya juga didoakan biar sehat-sehat dan dilimpahi rezeki yang banyak,” ujarnya.

Penjual Kembang Dan Pembaca Doa dapat Untung

Banyak orang yang kecipra­tan rezeki dari tradisi nyekar menjelang Ramadhan. Para pe­dagang kembar, tukang bersih makam, pembaca doa, tukang payung, pedagang makanan dan minuman hingga juru parkir.

Sutini (42), pedagang bunga tabur mengungkapkan hingga pukul 15.00 WIB bisa mengum­pulkan uang Rp 400 ribu. “Se­be­­narnya minggu lalu su­dah ra­mai. Tapi mulai ramai la­gi Ju­mat sam­pai Minggu. Se­lama be­berapa hari pendapatan saya ba­nyak. Al­hamdulillah,” kata dia kepada Rakyat Merde­ka, kemarin.

Satu kantong plastik bunga tabur dijual seharga Rp 5 ribu. Be­gitu juga bunga melati dan air kembang. “Hari biasa kem­bang tabur dijual Rp 2 ribu, ka­lau sekarang dijual Rp 5 ribu. Ada juga yang jual 10 ribu tiga bungkus,” jelasnya.

Dalam sehari keuntungan bersih yang diperoleh Sutini men­capai Rp 150 ribu. Ia tak bisa memperbesar keuntungan lantaran harga bunga juga naik menjelang Ramadhan.

“Modalnya lumayan besar, ka­rena harga kembang dinaik­kan sa­ma penjualnya. Biasalah, me­re­ka juga coba cari untung. Ini kan cuma setahun sekali,” ujarnya.

Sutini adalah salah satu peda­gang kembang dadakan. Ia me­manfaatkan tradisi nyekar se­belum Ramadhan untuk mem­pe­roleh rezeki lebih. Sehari-hari perempuan yang tinggal di Cita­yeum, Bogor ini hanyalah ibu rumah tangga. “Saya hanya jualan kembang musiman setiap mau Ramadhan saja. Semua yang dagang kem­bang di sini rata-rata penjual musiman.”

Hal yang sama dirasakan As­ri, pedagang bunga tabur lain­nya. Dia menuturkan, penjua­lan­nya meningkat sampai 50 persen beberapa hari terakhir lantaran banyak warga yang ziarah di TPU Menteng Pulo menjelang Ramadan. “Minimal dapat Rp 1 juta sehari. Biasanya tidak sampai segitu.”

Asri mengungkapkan, pada hari biasa pendapatannya hanya Rp 200 ribu. “Karena di hari bia­sa, warga yang berziarah umum­nya da­tang Sabtu-Minggu saja.”

Pedagang bunga tabur lain­nya, Mimin juga mengalami pe­ningkatan omzet hingga 30 per­sen. “Kemarin dapat sampai Rp 800 ribu.”

Tak hanya pedagang bunga tabur, Wawan Awih (40), tu­kang bersih makam turut me­raup rejeki selama beberapa ha­ri belakangan. Dalam sehari, ia bisa mengantongi uang sebesar Rp 30-40 ribu dari menawarkan jasa membersihkan makam.

“Dari jam 12 siang saya su­dah ngantongin 15 ribu. Kalau kemarin rada mendingan dapat 30 ribu. Kalau hari-hari biasa pa­ling dapat 15 ribu. Itu juga ka­lau ada yang nguburin atau ada yang mau gali,” tuturnya.

Tak seperti pedagang bunga tabur, tukang bersih makam ti­dak mematok tarif atas jasa me­reka. Wawan menerima berapa­pun uang yang diberikan pe­ziarah.

“Kita dikasih seikhlasnya. Ka­dang cuma seribu, paling ge­de 5 ribu. Berapa aja mah kita am­bil,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai buruh ini.

Sementara itu, Karyoto (48), pembaca doa menuturkan diri­nya bisa mengantongi Rp 50 ri­bu setiap hari. Ayah tiga anak ini datang ke TPU Menteng Pul­o sejak Jumat lalu.

“Kalau Sabtu kemarin dapat 11 makam. Kalau hari ini ham­pir 20. Jumat total Rp 80 ribu. Sabtu menurun jadi Rp 60 ribu. Kalau hari ini sampai Maghrib nanti mungkin dapat lebih Rp 100 ribu,” ungkapnya.

Pria yang sehari-hari jadi guru ngaji di daerah Klender, Ja­karta Timur ini juga tak me­nentukan tarif bagi setiap pe­ziarah yang menggunakan jasa­nya. “Cuma se­ikhlasnya para pem­beri, be­ra­papun dikasih saya terima. Ra­ta-rata ngasih­nya Rp20 ribu, ada yang ngasi 200 ribu tapi di­b­agi 4 orang pem­baca doa. Ke­betulan ma­kamnya Mama Lau­ren yang di­doain,” ujarnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA