Rata-rata mereka berusia lanÂjut. Pria dan wanita itu bukan sedang berjemur di pantai, meÂlainÂkan berbaring di atas rel keÂreta di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Tak jauh dari situ terdapat sebuah stasiun.
Tak lama setelah berbaring, tuÂbuh mereka terlihat kejang-keÂjang. Tapi mereka justru meÂnikÂmatinya. Tak tampak ekspresi keÂsakitan di raut wajahnya.
Kejang-kejang itu berasal dari aliran listrik rel yang masuk ke daÂlam tubuh. Para lanjut usia (lanÂsia) itu mengatur posisi seÂdemikian rupa agar bisa meraÂsaÂkan sengatan setrum. UmumÂnya memilih posisi telentang dengan leher dan kedua tangan diletakÂkan di rel kanan. Sementara kaki di rel kiri.
Ada yang tampak tak puas dengan sengatan arus listrik yang dirasa lemah. Agar bisa meraÂsakan arus lebih besar, mereka menyiapkan dua kain dan satu botol air.
Kain yang jadi alas untuk tempat merebahkan leher dan kaki di rel lalu disiram air sampai basah. Air kembali disiramkan bila kain mulai mengering. BahÂkan ada yang lebih ekstrim. SeÂorang wanita berkerudung langÂsung menyiramkan air ke besi rel. Tak sedikit terlihat rasa khawatir di wajahnya akan tersengat arus listrik yang kuat.
Rel itu ramai dikunjungi seteÂlah pukul empat sore. WaÂlaupun berbahaya karena sewaktu-waktu keÂreta melintas, warga tetap meÂlakukannya. Berbaring di atas rel dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Sri Mulyati (50) misalnya, meÂngaku menderita penyakit gula, asam urat, kolestrol tinggi, darah tinggi dan sesak nafas. Selama 13 tahun dia berobat ke dokter dan alternatif. Tapi penyakitnya tak kunjung sembuh.
Setahun lalu Sri mendengar kaÂbar dari tetangganya soal “terapi†berbaring di atas rel. Setiap hari dia datang ke sini. Ibu tujuh anak ini merasa kesehatannya membaik.
“Setelah satu tahun saya coba terapi di sini udah mendingan. Terakhir saya ke dokter tiga bulan yang lalu. Dulu gula saya sempat 500, pas saya periksa turun jadi 160,†katanya ketika ditemui
RakÂyat Merdeka, Selasa (19/7).
Sri yang tinggal di daerah KaÂlideres, Jakarta Barat ini menÂgÂhabiskan waktu dua jam berÂbaÂring di atas rel.
“Saya diantar suaÂmi setiap sore ke sini. Nanti puÂlangÂnya dijemput lagi. Kalau nggak datang ke sini, badannya langÂsung terasa nggak enak,†ucapnya.
Hal senada diutarakan KusÂmiati (67), warga Semanan, Rawa Buaya. Sejak lama dia menderita diabetes dan darah tinggi. Setelah mendengar khasiat terapi ini dari tetangga, ia pun mencoba. Terapi ini dia lakoni sejak tahun lalu.
“Saya dulu
macem-macem penyakitnya. Sekarang udah baiÂkan. Setelah dicek ke dokter hasilÂnya juga lebih bagus. MaÂkannya juga lebih enakan sekaÂrang,†katanya.
Dulu Kusmiati sering merasaÂkan sakit di kepala. Setelah disetrum di atas rel, sakit keÂpaÂlaÂnya sirna. Dia menduga aliran listrik yang mengenai lehernya menyebabkan aliran darah ke kepalanya lebih lancar.
“Dulu selalu makan obat, seÂkaÂrang udah jarang. Saya udah lama nggak ke dokter. Kalau nggak ke sini berasa kangen. Coba aja sambil merem, terasa di
surge (surga—red),†ujarÂnya deÂngan logat Betawi yang kental.
Begitu juga dengan Santi (43). Setelah mencoba berbaring di atas rel sejak tiga bulan lalu, dia merasa tubuhnya jauh lebih sehat, lebih enak makan, enak tidur dan kadar kolesterol-nya turun. Dia merasa terapi ini bermanfaat unÂtuk kesehatannya.
“Sebelumnya saraf leher saya terjepit, sekarang sudah sembuh. Saya sudah sempat 20 kali terapi ke rumah sakit, tapi hasilnya kurang mengembirakan. Vertigo saya juga sembuh. Dulu kolesÂterol saya di atas 250, sekarang normal. Ternyata setelah terapi semua penyakit saya sembuh, gratis pula,†ujarnya.
Biaya pengobatan yang mahal yang membuat wanita yang seÂhari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ini mencoba terapi yang tidak lazim itu. Dalam sehari, Santi biasanya mengÂhabiskan waktu setengah jam untuk berbaring di atas rel.
“Saya tau ini dari tetangga dan saudara saya yang udah
nyobain. Buktinya banyak yang sembuh penyakitnya, saya pikir kenapa saya tidak mencoba. Habis kalau nggak kayak gini, mahal biaya dokter,†ucapnya.
Bermula dari Haji BatakTerapi berbaring di atas rel di Rawa Buaya, Jakarta sudah berÂlangsung sejak dua tahun lalu. Tapi tak ada warga yang tahu siÂapa yang memulainya. Warga meÂmercayai aliran lisÂtrik yang maÂsuk ke dalam tubuh bisa meÂnyemÂbuhkan berbagai penyakit.
Kusmiati mendengar kabar dari tetangga bahwa terapi ini perÂtama kali dilakukan pria yang biasa disapa Pak Haji. “Dulu ada Pak Haji orang Batak menderita stroke dan diabetes. Hartanya abis buat berobat ke mana-mana tapi nggak sembuh-sembuh. Karena frustasi dia duduk-duduk di atas rel, terus nekad nyobain. Akhirnya sembuh,†ujarnya.
Cerita sama juga didengar Sri Mulyati. Kata dia, Pak Haji itu yang pertama kali merasakan khasiat berbaring di atas rel kereta dua tahun lalu. Aksi ini kemudian diikuti warga.
“Pak Haji yang pertama. Saya lupa nama aslinya. Orangnya suÂdah pindah dari sini. Saya taunya dia orang Batak,†kata Mulyati.
Santi mendengar kabar sedikit berÂbeda. Pegawai negeri sipil di Dinas Pariwisata pemerintah seÂtempat ini mendengar kabar terapi ini baru berlangsung 1,5 tahun. Tapi tak tahu siapa yang memeloporinya.
“Awalnya warga sini yang nyoÂbain, akhirnya menyebar dari mulut ke mulut. Sekarang buÂkan orang sini aja, banyak orang luar yang juga datang terapi,†katanya.
Sedangkan Karsem (45) meÂnyebutkan orang-orang mulai ramai berbaring di atas rel kereta sejak setahun lalu. “Saya nggak tahu siapa yang mulai. Tau-tauÂnya banyak warga aja yang nyoÂbain. Karena banyak yang ngaku sembuh, saya juga jadi ikutan nyoba,†katanya polos.
Menkes:Mirip FisioterapiAksi warga yang berbaring di atas rel untuk menyembuhkan peÂnyaÂkit, mengundang perÂhatian Menteri Kesehatan (MenÂkes) Endang Rahayu SedyaÂningsih. Meski konsepÂnya mirip deÂngan fisioÂterapi di rumah saÂkit, Menkes tak menganjurkannya.
“Konsepnya hampir sama dengan orang yang melakukan fisioterapi di rumah sakit. UnÂtuk meregangkan otot karena ada aliran listrik,†kata Endang.
Kenapa tidak dianjurkan? Menkes beralasan, konsep itu beÂlum terbukti bisa meÂnyemÂbuhkan penyakit. Orang yang melakukannya bisa tersengat listrik. Bahaya pun mengancam mereka, karena sewaktu-waktu kereta lewat.
“Itu belum bisa dipastikan (daya sembuhnya). Cuma itu yang saya bilang tadi, konsep aliran listrik itu dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Tapi saya sangat-sangat tidak meÂnganjurkan karena bisa kesetÂrum, aliran listriknya kan tidak diukur dengan jelas.
Kedua, kaÂlau ada kereta lewat bagaiÂmaÂna? Berbahaya kan bagi keseÂhatan dan keselaÂmatan,†katanya.
“Karena belum teruji secara klinis dan medis, sebaiknya teÂrapi tersebut dihentikan. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan warga,†lanÂjutnya.
Kelebihan Arus, Tubuh HangusPT Kereta Api Indonesia (KAI) mengimbau warga agar tak berÂbaring di atas rel kereta. TinÂdaÂkan ini membahayakan kÂeÂseÂlaÂmatan, juga dilarang.
“Itu sangat berbahaya dan juga ada larangan orang mauÂpun barang berada di jalur kereÂta api,†kata Kepala Humas PT KAI Daops I, Mateta Rizalul Haq.
Mateta menjelaskan, kereta tak seperti mobil yang bisa berÂhenti mendadak saat direm. WaÂlaupun rem telah ditarik, keÂreta tetap meluncur kendati tak kenÂcang. “Bagaimana nanti kalau mereka ketiduran (saat kereta datang)†kata Mateta.
Mateta juga mengÂkhaÂwaÂtirÂkan warga yang berbaring di rel bisa menghambat lalu lintas keÂreta. PT KAI, kata di, sudah memÂberitahukan bahaya dan peraturan yang berlaku. “SeÂcara nonformal sudah dilaÂkuÂkan, kan kita ada pemeriksa jalur KA. Tapi apa pun alaÂsanÂnya, keberadaan mereka dilarang oleh ndang-undang,†tegasnya.
Kereta api yang lewat meÂmang meninggalkan jejak arus listrik pada rel yang dilaluinya. Arus listrik ini bisa mencapai tegangan tinggi dan memÂbaÂhaÂyaÂkan keselamatan manusia.
Menurut Mateta, bila terjadi kelebihan arus, tegangan listrik di rel bisa mencapai 5-10 volt setiap kali KA melintas. Arus listrik tersebut bisa membuat hangus.
Senada dengan PT KAI, PeÂmerÂÂintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas KeÂsehatan juga mengimbau maÂsyaÂrakat tidak melakukan tindaÂkan yang dapat membahayakan keselamatan mereka.
Untuk mengantisipasi makin banyak orang yang berbaring di rel, pihaknya akan mengÂinstruksikan kepada puskesmas kelurahan dan kecamatan seÂtempat untuk memberikan peÂnyuluhan.
[rm]