Kemenhut-Fitra Adu Data, KPK Diminta Turun Tangan

Soal Dugaan Ada Mark Up Anggaran Rp 1,8 M

Minggu, 29 Agustus 2010, 02:00 WIB
Kemenhut-Fitra Adu Data, KPK Diminta Turun Tangan

RMOL.Kemenhut dan FITRA ‘bentrok’ omongan. Kemenhut membantah tudingan dugaan’ mark up dalam proses pengadaan barang dan jasa di Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sebaliknya, FITRA tetap meyakini ada mark up anggaran di Kemenhut. KPK, BPK dan BPKP diminta turun tangan untuk mengaudit anggaran Kemenhut.

Petinggi Kementerian Ke­hutanan (Kemnhut) tersengat da­ta dugaan mark up pengadaan ba­rang dan jasa yang diterbitkan Se­kretariat Nasional Forum Indo­nesia untuk Transparansi Ang­garan (Seknas FITRA).

FITRA mencatat, ada dugaan mark up dalam proyek pengadaan lap­top, kendaraan bermotor roda  dua, kendaraan patroli roda em­pat dan pengadaan pakaian se­ragam PEH di Kemenhut yang to­talnya mencapai Rp1,8 miliar.

Nah, beberapa hari lalu, Se­kretaris Direktorat Jenderal Per­lin­dungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Selaku Kuasa Penggunaan Anggaran, Haryadi Hi­mawan, melayangkan surat pen­jelasan kepada koran ini terkait proyek pengadaaan barang dan jasa di Kemenhut.

Surat tersebut berisi penjelasan terkait proses pengadaan barang dan jasa di Kemenhut, yang sebe­lum­nya sempat diduga FITRA sarat praktik mark up.

Dia membantah, tudingan FITRA yang menyebutkan ada dugaan penggelembungan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Kemenhut.

Sebaliknya dia mengklaim Kemenhut berhasil menghemat duit negara yang dialokasikan di Kemenhut. Dengan mendapatkan harga barang di bawah stan­da­risasi anggaran yang ditetapkan dalam Permenkeu.

“Seluruh pengadaan barang dan jasa telah memenuhi ke­tentuan dan tidak terjadi kerugian ne­gara, sehingga dugaan mark up itu tidak benar dan tidak ber­dasar,” katanya.

Koordinator investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky khadafi, menanggapi santai kla­rifikasi dari Kemenhut.

Uchok menilai, data hasil pelelangan yang dirilis Kemenhut yang digunakan untuk menampik data FITRA, adalah indikasi awal bahwa Kemenhut masih belum transparan.

“Di sinilah bukti dari adanya ‘dusta’ tersebut. Karena ketika kita konfirmasi mereka seolah-olah kebakaran jenggot,” katanya.

Untuk itu, Uchok berharap, seluruh kementerian agar ber­sikap terbuka dalam mengelola anggarannya. Kata dia, hal itu untuk mendukung proses tran­sparansi anggaran sebagai bagian dari reformasi birokrasi.

Kendati sudah dibantah lewat data, Seknas FITRA teta meya­kini ada dugaan penggelem­bungan anggaran dari proses pengadaan barang dan jasa.

Uchok meminta Komisi Pem­be­rantasan Korupsi (KPK), Ba­dan Pengawas Keuangan dan Pem­bangunan (BPKP) serta Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk turun tangan mengaudit Kemenhut.

“Seknas FITRA, tetap yakin, menduga ada mark up dalam pengadaan barang dan jasa di Kemenhut,” pungkasnya.

Anggota Komisi IV DPR, Jafar Nainggolan, melerai perbedaan pendapat keduanya.

Dia mengusulkan, agar dugaan mark up tersebut lebih baik diselidiki dulu. “Nanti kenya­taa­nya bagaimana? Kalau ternyata itu ada faktanya maka harus cepat di­ambiil tindakan. Karena se­benarnya DPR telah merumuskan pro­gram pengalokasian angga­ran­nya kok  masih ada mark up,” katanya.

Djafar berharap, Kemenhut mau terbuka menjelaskan kepada publik terkait proses pengalo­kasian dan penggunaan anggaran yang telah diberikan negara. “Se­hingga, tak ada lagi tudingan-tu­dingan tentang ke mana larinya ang­garan tersebut.”

Yang Satu Bilang Ngirit, Satunya Bilang Ada Mark Up

Tudingan-tudingan yang dilancarkan FITRA dijawab Sekretaris Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut selaku kuasa penggunaan anggaran, Haryadi Himawan.

Memulai penjelasannya de­ngan menjawab tudingan mark up dalam pengadaan 35 unit kendaraan bermotor roda dua.

Menurut FITRA, Kemenhut menetapkan harga per unitnya Rp 25 juta, padahal berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 01/PM.2/2009 Tentang Standar Biaya Umum Tahun 2009, ditetapkan hanya sebesar Rp 20 juta. Dari situ diduga ada penggelem­bu­ngan sebesar Rp 175 juta atau Rp 5 juta per unit.

Dijelaskan Haryadi, penga­daa­n kendaraan bermotor roda 2 berjenis motor trail sebanyak 35 unit, alokasi anggarannya di DIPA ditetapkan sebesar Rp 25 juta par unit, termasuk biaya optional dan biaya pengiriman ke 22 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PHKA.

Setelah dicek di Permenkeu, ternyata standar harga per unit motor jenis trail Rp 25 juta itu belum termasuk biaya optional dan biaya pengiriman.

Sedang dalam realisasi hasil pelelangan umum, Kemenhut bisa mendapat harga Rp 20, 90 juta per unit (belum termasuk biaya optional dan pengiriman). “Jadi, sebenarnya pengadaan kita lebih hemat Rp 4,1 juta per unit dari standar biaya umum,” kata Haryadi.

Berikutnya Haryadi mejawab tudingan FITRA terkait <I>mark up di pos pengadaan 33 unit kendaraan patroli roda empat yang dipatok Kemenhut sebesar Rp 325 juta per unit.

Menurut Permenkeu, penga­daan kendaraan patroli cukup senilai Rp 300 juta per unit. Fitra mengendus ada  pengge­lem­bungan anggaran sebesar Rp 825 juta atau Rp 5 juta per unit kendaraan patroli.

Tudingan ini juga dipatahkan Haryadi. Dia menjelaskan, DIPA anggaran pengadaan ken­da­raan patroli yang dican­tum­kan di Permenkeu Rp 300 juta itu belum termasuk biaya optional dan biaya pengiriman.

Dan realisasi hasil pelelangan harga didapat Rp 299,98 juta per unit belum termasuk biaya optional dan pengiriman. Dengan begitu, Kemenhut juga berhasil menghemat anggaran.

Begitu juga dengan tudingan FITRA dalam proses penga­daan 21 unit kendaraan roda 4 (4 WD). Alokasi anggaran di DI­PA sebesar Rp 325 juta per unit. Harga  tersebut sudah ter­masuk biaya optional dan biaya pangiriman.

Dan dari hasil lelang, Ke­men­hut juga berhasil meng­he­mat anggaran dengan mendapat harga Rp 294,83 juta per unit. “Realisasi anggarannya Iabih hemat Rp 5,17 juta per unit.”

Begitu juga dengan tudingan mark up dalam proyek penga­daan 1150 setel seragam PEH. Menurut FITRA ada dugaan peng­gelembungan karena harga yang dipatok Kemenhut sebesar Rp 600 ribu per setel, karena ber­dasarkan Permenkeu standar harga cuma Rp 340 ribu per setel.

Dijelaskan Haryadi, harga per setel seragam PEH yang dipatok Permenkeu itu belum termasuk kelengkapannya be­rupa atribut, sepatu, kaos kaki serta topi.

Dan realisasi hasil pelelangan Kemenhut berhasil mendapat harga Rp 209,7 ribu per setel seragam belum termasuk keleng­kapannya. Kemenhut irit Rp 130.257 per setel.

Terakhir, Haryadi meng­kla­rifikasi tudingan FITRA terkait pengadaan 7 unit laptop yang di dalam DIPA ditetapkan Rp 20 juta. Dijelaskan Haryadi, hing­ga kini Permenkeu belum meng­atur standar harga pe­ngadaan laptop.

Dan hasil realisasi pelelangan ditetapkan harga satuan laptop sebesar Rp. 16.146.428. lagi-lagi Kemenhut mengklaim te­lah berhemat sebesar Rp 3.853.572 per unit dari pagu anggaran.

Koordinator investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi, tanggapi santai sang­gahan dari Kemenhut tersebut.

Menurut dia, standar harga yang ditetapkan Permenkeu semuanya sudah termasuk biaya optional dan pengiriman. “Karena Permenkeu itu mene­tapkan harga barang dan jasa apa adanya,” katanya.

Uchok juga masih menilai harga laptop yang ditetapkan Kemenhut masih terlalu mahal dan nampak jelas dugaan mark upnya. “Karena sesuai  Permen­keu standar harga laptop itu sudah ditetap seharga Rp 15 juta in clude aksesoris dan ongkos kirimnya,” tandasnya.

“Isu Ini Bisa Melemahkan Kehutanan”

Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif WALHI

Hingga kini Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) be­lum pernah menerima laporan dugaan mark up di Kemenhut. 

Deputi Bidang Investigasi BPKP, Suradji, mengaku belum pernah menerima permintaan mengaudit Kemnehut. “Jadi kami belum tahu kasusnya, seperti apa?” kata Suradji.

Demikian juga KPK. Juru Bi­cara KPK, Johan Budi SP meng­ungkapkan institusinya belum pernah mendapat laporan dari FITRA terkait dugaan <I>mark up di Kemenhut.

“Makanya, silakan saja kalau FITRA mau melapor ke KPK. Nanti datanya kita akan veri­fikasi. Sebelumnya ada baiknya diaudit terlebih dulu oleh BPK, se­hingga kita punya pijakan da­lam menindaklanjuti data tersebut,” kata Johan.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Berry Nahdian Fur­qan, yang mendengar adanya du­gaan mark up di Kemenhut mengatakan, dugaan tersebut akan berpengaruh terhadap ki­nerja Kemenhut.

“Isu ini akan melemahkan agenda perlindungan dan pem­be­nahan kehutanan. Untuk itu isu tersebut harus segera di-clear-kan,” katanya. [RM]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA