Dari penelusuran
Rakyat Merdeka, cara mengakses pinjaÂman online pun sangat mudah. Masyarakat dapat mengunduh aplikasi pinjaman online di playÂstore melalui ponsel. Nominal uang yang dipinjamkan biasanya tak seberapa.
Kebanyakan orang meminÂjam Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Berbekal input data dari peminÂjam dan foto kartu identitas/foto diri, dana pun bisa cair dalam sehari dua. Pinjaman ini tanpa harus ada jaminan.
Namun bunganya, kadang luput dari perhatian peminjam. Karena bisa saja pemberi pinÂjaman memberikan bunga tak berdasarkan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Telat per hari, bisa dikenakan denda. Kisarannya Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu.
Ketentuan yang ternyata bikin masalah adalah, pemberi pinjaÂman berhak mengakses nomor kontak di ponsel peminjam. Tak peduli itu kontak teman, saudara, hingga atasan. Jika peminjam belum juga melunasi utangnya, nomor kontak itu bisa dihubungi debt collector.
Seorang peminjam, Bambang, mengaku resah dan sengsara dengan kondisinya sekarang. Gara-gara pinjaman online, dia malah terjerat utang yang terus berbunga. Berikut denda keterÂlambatan. "Jujur, awalnya pinjaÂman online ini seperti malaikat penolong. Nggak tahunya, setan yang menyesatkan," ujarnya.
Karena butuh uang, Bambang meminjam di beberapa aplikasi fintech. Namun keputusannya itu berbuah petaka. Akhirnya dia terlilit utang. "Saya pinjam di satu aplikasi Rp 1 juta. Tapi dapatnya Rp 900 ribu. Tenor 7 hari. Ngembalikannya Rp 1 juta. Telat 1 hari denda Rp 20 ribu," ungkapnya.
Dia merasa kecewa lantaran dipermudah saat meminjam. Tapi tanpa solusi ketika dia bermasalah saat mengembalikan pinjaman. Bahkan, dia malah disuruh debt collector untuk berutang lagi sama aplikasi pinÂjaman online yang lain.
"Adakah kebijakan yang meÂlindungi konsumen pinjaman online? Kami korban pinjaman online bukan tak mau bayar. Tapi kami ingin win-win solution," katanya.
Peminjam lainnya, Kamila menuturkan, dirinya belum daÂpat melunasi pinjaman online. Masalah makin membesar. "Kita aja belum bisa bayar bunga sama pinjamannya. Eh, dendanya suÂdah melebihi bunganya. Benar-benar bikin kita kelilit utang," sebutnya.
Gara-gara belum bayar utang itu, dia malah ketiban malu. Mertuanya ditelepon debt collecÂtor. Teman satu kantor pun juga ditelepon. "Bukan nolong ini mah. Malah bikin malu. Kerja aja nggak konsen. Karena yang dipikirin cuma ini aja," ujarnya.
Korban lainnya, Azizah, juga pernah mengalami hal yang sama. "Saya pernah dipermaluÂkan. Pesan dikirim ke teman saya yang nggak tahu apa-apa. Sakit hati banget. Padahal baru telat sehari. Mana aplikasinya gonta-ganti nama. Sekarang sudah nggak ada di playstore," terangnya.
Menurutnya, pinjaman online seharusnya bisa jadi solusi orang yang lagi terdesak butuh uang. Tapi jika pengembaliannya harÂus dengan bunga tinggi, denda memberatkan, hingga debt colÂlector yang tidak mengenakkan, jelas merugikan peminjam.
Ayu, peminjam lainnya, menceritakan, dirinya terpaksa mengambil pinjaman online karena kebutuhan mendesak. "Saya terpaksa pinjam online untuk biaya medis. Sekarang malah terjebak utang. Rasanya sesak. Sudah tidak sanggup lagi bayarnya," katanya.
Menyikapi maraknya kasus pinjaman online ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sudah membuka posko pengaduanbagi para korban. Sebanyak 1.330 korban sudah mengadukan pelanggaran hukum dan HAM yang mereka alami. Pengaduan berasal dari 25 provinsi.
Hal yang bikin kecewa adalah, tidak ada kejelasan, siapa yang mampu memberikan solusi masalah ini. Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait menuturkan, pihaknya sudah bertemu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"LBH Jakarta kecewa atas sikap OJK. Karena gagal memahami permasalahan fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online (pinjol). Malah menyalahkan korban (
victim blaming),dan bertindak seolah juru bicara perusahaan aplikasi pinjaman online," ujarnya.
Dari posko pengaduan yang dibukanya, LBH Jakarta menyeÂbut, masalah pinjaman online sudah jadi masalah nasional.Namun dalam pertemuan dengan OJK, lembaga negara tersebut menyatakan, kejadian-kerjadian seperti teror, intimiÂdasi, dan pelanggaran hukum lainnya yang dialami para korÂban takkan terjadi. Bila para korban tidak cedera janji atau wanprestasi dalam perjanjian utang piutang.
Pernyataan ini tentu sangat mengejutkan. Karena teror, pelecehan seksual, penyebaran data pribadi, dan lain-lain itu, bukan pelanggaran biasa. Tapi sudah termasuk tindak pidana. "Jika pun ada pelanggaran huÂkum perdata dalam bentuk wanÂprestasi. Seperti terlambat atau tidak mampu membayar. Yang dilakukan para korban tidak lantas menjadikan mereka layak menerima pelanggaran hukum pidana," kata Jeanny. ***