Kurang lebih 10 menit Gubernur terima telelepon Presiden. Balik ke tempat makan, aku tanya: "Presiden bicara apa?". Gubernur jawab: "Presiden ingatkan jangan pernah korupsi". "Itu saja?", tanyaku lagi. "Fokus di situ", jawab Gubernur.
Presiden tahu bahwa korupsi adalah problem utama di negeri ini. Korupsi ada di semua institusi pemerintahan. Bahkan kita kesulitan untuk menyebut satu institusi yang bebas korupsi. Amat sulit!
Kalau ada pejabat yang ditangkap polisi, jaksa atau KPK, itu karena nasib sial saja. Nasib sial berlaku "random sampling". Sampel acak. Lebih banyak koruptor yang selamat dari pada yang tertangkap. Saya yakin anda setuju pernyataan saya ini.
Korupsi di Indonesia dilakukan secara terstruktur, sistematis (terencana) dan masif (berjamaah dan kolaboratif). Hampir tidak mungkin korupsi di Indonesia dilakukan sendirian. Inilah yang membuat Indonesia sakit. Sakitnya parah. Bahkan akut.
Korupsi dimulai sejak penganggaran, biaya pengamanan legislasi dan hukum, proyek fiktif dan fee proyek atau pengadaan, manipulasi pajak, bancakan BUMN, permainan perbankan, penerbitan HPH, perizinan tambang hingga makelar kasus, setoran para napi dan berbagai macam pungutan liar lainnya. Modus IPO untuk menyedot dana BUMN beberapa tahun belakangan ini juga sedang jadi tren. Nilainya ratusan triliun.
Karena masifnya korupsi, pertumbuhan ekonomi kita rendah dan lapangan kerja menyempit, angka pengangguran dan kemiskinan terus naik, jarak orang kaya dan orang miskin makin lebar, hukum tidak tegak dan keadilan semakin jauh.
Akibat korupsi, Indonesia menjadi negara yang jauh tertinggal, bahkan dari negara-negara tetangga. SDM dan pendapatan perkapita Indonesia jauh dari Malaysia, Singapura dan China. Bahkan dari Brunei dan Thailand.
Padahal, kita lebih dulu merdeka dan Sumber Daya Alam kita lebih melimpah. Indonesia menjadi negara ASEAN dengan pemasok TKI dan TKW (non skilled) terbesar di dunia.
Ini disebabkan oleh lapangan kerja di dalam negeri yang amat sangat terbatas sekali. Terhadap Indonesia, negara-negara sebelah melihat dengan sebelah mata. Ini semua diakibatkan utamanya oleh korupsi.
Problem korupsi telah terjadi puluhan tahun. Terutama sejak Orde Baru, dan seiring berjalannya waktu semakin canggih dan vulgar. Jika Era Orde Baru korupsi dilakukan di bawah meja. Era Reformasi, terutama 10 tahun terakhir ini, meja-kursi juga ikut dikorupsi. Terang-terangan dan tak lagi sembunyi-sembunyi.
Pertanyaannya: "Apakah Presiden bisa berantas korupsi?" Jawabnya: bisa. Tapi, dengan syarat. Apa syaratnya?
Pertama, Presiden dan lingkaran istana harus memastikan diri tidak terlibat korupsi. Jika istana ikut menciptakan oligarki dan terlibat korupsi, maka jangan harap "narasi anti korupsi" itu efektif. Rakyat butuh bukti, bukan narasi.
Kedua, Presiden harus lebih dulu bersihkan para aparat penegak hukum dari praktik-praktik koruptif. Penegakan hukum hanya bisa berjalan jika para penegak hukum bersih. Mulai dari polisi, jaksa, KPK hingga hakim. Selama para penegak hukum masih jual beli kasus dan membuka ruang negosiasi, jangan harap korupsi surut.
Lihat kekayaan para penegak hukum, terutama yang sudah senior. Mayoritas melampaui gaji dan tunjangan. Dari mana kekayaan itu? Dari sini anda bisa membaca dan menyimpulkannya.
Presiden hanya perlu bilang kepada Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK dan Hakim Agung: "pastikan anak buah anda bekerja dengan benar, jangan ada yang jual beli pasal. Jika tidak sanggup, aku ganti". Simpel! Tentu, Presiden harus lebih dulu membuktikan bahwa dirinya tidak melanggar hukum. Maka, ini akan sangat efektif.
Dalam buka
II Principe, seorang filsuf politik, sejarawan dan penulis Italia Niccolo Macheavelli (1469-1527) mengatakan: "idealnya pemimpin itu dicintai dan ditakuti. Kalau tidak dua-duanya, lebih baik pemimpin itu ditakuti". Bagus juga kalau presiden ditakuti bawahan dan dicintai rakyatnya. Ini bicara ideal.
Ketiga, Presiden perlu melakukan pemberantasan korupsi dengan sistematis (terencana), taktis dan konsisten. Jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Sebab, korupsi di Indonesia sifatnya bukan kasuistik, tapi masif. Korupsi di Indonesia sudah menjadi habit dan kelaziman yang diwariskan turun temurun, dari anak ke cucu lalu ke cicit, dan bahkan telah berbentuk mafia.
Korupsi di Indonesia melibatkan empat pihak: pengusaha, pejabat, aparat hukum dan orang yang punya akses kepada kekuasaan. Ini sudah menjadi jaringan mafia. Publik menyebutnya sebagai
extra ordinary crime. Bahasa sederhananya: ya mafia. Kalau sudah bekerja ala mafia, ini bukan lagi pencurian uang negara, tapi perampokan. Maka, cara mengatasinya juga harus ekstra.
Niat dan semangat Presiden melawan perampokan uang negara perlu kita apresiasi dan kita dukung. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku. Karena itu, kita tidak hanya mendukung presiden melawan korupsi, tapi juga mendukung presiden memenuhi tiga syarat dan ketentuan yang berlaku dalam melawan korupsi. Tanpa terpenuhi tiga syarat itu, sulit kita berekspektasi.
Tony RosyidPengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BERITA TERKAIT: