Pemerintah pusat dan peÂmerintah daerah diharapkan segera mengatasi bencana ini. Jhohannes Marbun, warga Sumatera Utara, yang berkunÂjung dan melakukan sejumlah kegiatan lingkungan di Kawasan Danau Toba (KDT) akhir tahun mengaku resah. Hal ini dia ungÂkap kepada
Rakyat Merdeka. Joe --sapaan akrabnya—mengÂgambarkan, hingga awal Januari ini, tumpukan longsor tak juga tuntas dibereskan. "Ada beberapa titik di Kawasan Danau Toba yang terkena bencana longsor dan benÂcana alam lainnya. Termasuk banÂjir. Di daerah Desa Sibaganding, dekat Parapat, selama satu bulan ini jalan utama yang tertimbun longsor," tuturnya.
Joe yang merupakan aktivis lingkungan dan kebudayaan itu menilai, tak ada upaya seÂrius untuk mencegah dan meÂnangani bencana-bencana di sana. "Bencana alam tersebut seharusnya bisa diminimalisir, bila kita peka terhadap alam dan lingkungan di sekitar. Termasuk kawasan Danau Toba yang rentan bencana," ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) ini menilai, tak seharusnya masyarakat di KDT menanggung akibat bencana. Bila pemerintah pusat dan pemerintah daerah sungguh-sungguh menjalankan fungsinya. Sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Bencana yang ada, nilainya lagi, tidak terlepas dari dugaan kealpaan dan pengabaian. Hingga tidak seriusnya pemerÂintah melestarikan lingkungan hidup di sekitarnya dan menangÂgulangi bencana yang ada.
Indikatornya, terang Joe, sederhana saja. Danau Toba menjadi potensi utama kaÂwasan bahkan turut diabaikan. "Tak heran, terjadi tindakan eksploitatif terhadap Kawasan Danau Toba malah dibiarkan. Bahkan pemerintah turut menÂdukung," bebernya.
Sejak beberapa tahun silam, peÂmerintah sudah mengakui bahwa Danau Toba tercemar. Pemerintah juga telah mengetahui maraknya penebangan kayu secara illegal. Bahkan, Bank Dunia pun yang dianggap sumber terpercaya oleh Pemerintah sudah memberi kajiÂannya. Hingga pemerintah menÂgumumkan bahwa Danau Toba telah rusak parah.
Namun menurut Joe, sampai saat ini tidak ada tindakan radikal Pemerintah dalam melakukan perbaikan. "Pemerintah sebagai eksekutif tidak seharusnya sibuk berwacana membuat pernyataan. Tapi harusnya bertindak nyata," ingatnya.
Jadi, Joe mengingatkan, janÂgan sampai masyarakat marah dan menggeruduk aparatur peÂmerintah. Karena mereka meraÂsa tak ada tindakan serius dalam mengatasi persoalan yang ada.
Bagi Joe, sudah sewajarnya masyarakatlah yang menyamÂpaikan pernyataan maupun sikap. Bila tindakan pemerintah ditengarai bertentangan dengan peraturan hukum, maupun keÂbijakan yang ada Bahkan dirasa mencederai kepentingan publik.
"Demikian pula, legislatif sebagai representasi masyarakat, harus menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya," tuturnya.
Di lapangan, lanjut Joe, bisa dilihat bersama, penebangan hutan sudah parah terjadi. Hal itu jelas telah memutus mata rantai ekosistem kawasan Danau Toba. Tak heran pula mengakibatkan terjadinya bencana longsor dan banjir bandang. Seperti yang terjadi di Sibaganding dan beberapa daerah lain di kawasan Danau Toba dalam satu bulan terakhir.
Dia menyayangkan, hingga kini, penyebab utama terjadinya longsor dan banjir di sejumÂlah titik kawasan Danau Toba seolah belum menjadi perhatian utama. Program penanggulanÂgan bencana mulai pencegahan, harusnya menginventarisasi potensi dan kerentanan terhadap bencana.
"Juga sosialisasi di sekolah dan komunitas masyarakat, menyiapkan rambu keselamaÂtan. Hingga pelatihan serta pemberdayaan masyarakat sadar bencana," ingat Joe.
Tak hanya itu, masih menurut Joe, soal penindakan. Yakni langÂkah pengawasan dan penegakan hukum, dia nilai juga belum menÂjadi arus utama bagi stakeholders di Kawasan Danau Toba.
"Kejadian tenggelamnya anak-anak usia sekolah warga Kawasan Danau Toba di beberÂapa titik perairan Danau Toba, menjadi contoh minimnya upaya penanggulangan bencana," dia mengingatkan.
Masalah lainya, termasuk pula tidak adanya kebijakan penangÂgulangan bencana di kabupaten-kabupaten Kawasan Danau Toba dan penerapannya. Sebagaimana turunan dari Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. ***