Mereka bersekongkol dengan investor asing. Tidak semata investor China, Jepang, Korea, tapi juga negara-negara Barat.
Lingkungan alam yang makin rusak, cuaca yang tidak bersahabat, tenaga kerja domestik termarjinalkan. Bahkan, rakyat makin merana, karena aksesnya terbatas ke sumber daya-sumber daya tersebut. Rakyat terkucilkan di kawasan kaya sumber daya alam.
Para eksploitator alam itu, nyaris telah meninggalkan ampas-ampas sumberdaya, yang tidak punya nilai ekonomis lagi. Mereka bergembira ria mengeruk keuntungan di tengah kebodohan kita dan penderitaan rakyat.
Pemerintah keok alias lemah berhadapan dengan mereka, karena mereka ini digdaya. Mereka memiliki cuan dan mampu mendeterminasi hitam-putih wajah politik Tanah Air.
Kasus teranyar, bagaimana PP 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang direncanakan berlaku akhir Agustus 2023 ini, proses pembuatannya penuh misteri dan penuh lobi-lobi.
PP ini mewajibkan paling sedikit 30 persen devisa hasil ekspor dari komoditas ekstraktif itu disimpan di bank domestik dan masuk ke sistem pencatatan keuangan Indonesia.
Yang menarik, para eksportir itu masih memperoleh insentif menggiurkan. Misal, keringanan PPh jika devisa hasil ekspor itu dideposito di bank dalam negeri. Bayangkan, mereka hanya wajib menyimpan 30 persen plus keringanan pajak.
Harapan pemerintah, dengan PP dan insentif itu, paling tidak ada tambalan penambahan cadangan devisa 60,9 miliar dolar AS. Dengan begitu, cadangan devisa nasional akan terdongkrak melebihi angka 210 miliar dolar AS, yang selama ini cadangan devisa kita malas bergerak naik, bahkan selalu tergerus.
Tapi anehnya, kebijakan PP yang sudah diteken itu disambut dingin oleh pasar. Sejatinya, PP itu menguatkan devisa dan mengokohkan kurs rupiah, karena bakal banyak cuan yang mengalir ke dalam negeri.
Faktanya, kurs rupiah tidak mau beringsut kuat. Artinya, ke mana devisa ekspor itu mengalir? Tentu, para eksportir sangat rasional dan culas, mengeruk hasil alam Indonesia, tapi keuntungannya di simpan di negeri asing, di negara-negara surga pajak,
tax haven, tempat berlindung dari kewajiban pajak, karena mereka memperoleh fasilitas insentif dan keamanan.
Merujuk data CNBC Indonesia Intelligence Unit (CIIU) ditemukan fakta mengejutkan. CIIU memperkirakan, tiap tahunnya ada sekitar Rp 2.478 triliun atau 167 miliar dolar AS Dana Hasil Ekspor (DHE) dari eksportir asal Indonesia disembunyikan atau disimpan di sistem perbankan Singapura.
Nilai itu diperoleh dari rerata nilai ekspor Indonesia sejak 2014 hingga 2022, dikurangi dengan estimasi jumlah dolar AS milik eksportir yang dikonversi ke rupiah.
Ini baru di Singapura. Belum lagi di simpan di Hongkong, Inggris, Panama, Swis, dan lainnya yang tentu jauh lebih empuk.
Mengapa hanya diwajibkan 30 persen bagi eksportir? Mengapa tidak ada tindakan tegas kepada mereka ini? Tentu angka 30 persen itu sudah kompromi dan sangat minimal. Makanya tidak memberi efek signifikan bagi kinerja ekonomi nasional, terutama dalam penguatan cadangan devisa dan kurs rupiah.
Memang bangsa ini selalu tergadai oleh para cukong. Perilaku ini tidak jauh beda imperialisme VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) perusahaan multinasional pertama di dunia, milik Belanda di zaman penjajahan.
VOC mengeruk keuntungan berlipat-lipat, mengeksploitasi tenaga kerja, menghisap rakyat, dan menentukan hitam-putih wajah Hindia-Belanda.
Sudah 78 tahun kemerdekaan kita, tapi tetap di sandera oleh VOC. Karena negara kita memang sudah “dipenggal” oleh para oligarki ekonomi-politik.
*Penulis adalah Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
BERITA TERKAIT: