Bahkan, ada PTS yang hanya menerima satu atau dua digit jumlah mahasiswa. Padahal memiliki banyak prodi. Bisa dibayangkan, bagaimana likuiditas dan
cash flow-nya? Bagaimana kesejahteraan karyawan dan dosennya? Bagaimana dengan pengembangan atmosfer akademiknya? Bagaimana kualitas pembelajarannya? Bagaimana sarana dan prasarananya?
Tentu, ihwal ini, pengecualian bagi PTS yang dimiliki pemodal kakap dan badan usaha negara, relatif aman. Karena injeksi modal tidak bertepi banyaknya. Fasilitas sarana dan prasarana mereka pun, aman sentosa.
Bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terutama PTN-BH jauh lebih aman lagi, karena punya program banyak “jalur” alias “gelombang” penerimaan mahasiswa. Hingga September pun, ada PTN-BH yang masih asyik terima mahasiswa.
Alasannya sih seolah rasional, untuk memenuhi kecukupan biaya PT. Katanya, pemerintah hanya mampu memenuhi subsidi 28 persen dari kebutuhan biaya operasional yang ideal.
Makanya, PTN-BH berusaha memperoleh bantuan kocek masyarakat, melalui UKT lewat “jalur-jalur” itu. Bertalian jumlah PTN juga makin banyak, mereka menyedot jumlah puluhan ribu mahasiswa lewat kebijakan bergelombang-gelombang. Dan tentu, pola gelombang-gelombang itu riskan terhadap perilaku moral hazard bagi pengelola, seperti yang terjadi tahun lalu di Lampung.
Dulunya, PTN itu hanya memiliki dua jalur, tes dan tanpa tes. Dan galibnya, setiap memasuki bulan Juli, PTN tidak menerima lagi mahasiswa baru. Tentu, mereka yang tidak lolos di dua jalur seleksi di PTN itu, mereka berbondong-bondong mencari PTS sesuai yang diharapkan.
Dengan tidak adanya pengaturan jadwal penerimaan mahasiswa bagi PTN seperti dulu, pasti PTS KMKM akan kena getah dan keok saat ini. Dampaknya, PTS KMKM, biaya kuliahnya, pasti banyak yang diobral. Jadilah, PTS dhuafa.
Selain itu, aturan yang ketat dengan menstandarisasi semua PT dengan perspektif (paradigma) negeri dan PTS pemodal kakap, banyak PTS KMKM sulit memenuhi persyaratan itu. Mulai dari soal rasio dosen, mahasiswa, akreditasi, penjaminan mutu, kepangkatan dosen, rasio bangunan perkuliahan, termasuk lab, perpustakaan, ruang praktikum, hingga fasilitas sarana dan prasarana lainnya.
Kendati ada kebijakan MKBM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dan kebijakan lainnya, sejatinya belum mampu mendongkrak kemerdekaan kampus. MBKM lebih banyak membidik kemerdekaan pembelajaran mahasiswa. Sementara dosen masih tersandera dengan pelbagai aturan kaku dan kikuk.
Aturan-aturan yang ketat seperti itu, tentu gampang dimanipulasi. Dosen rawan terseret pada perilaku yg kurang elok, misalnya, plagiasi, menjadi tukang koleksi KUM dan dokumen, dan lainnya, sehingga dosen kehilangan perspektif dan visi pengembangan kemajuan masyarakat.
Ujungnya, PT sulit memberi inovasi demi kemajuan masyarakat. Buktinya, indeks
Total Factor Productivity (TFP) sumber daya manusia Indonesia makin nyungsep. Produktivitas kita rendah, karena kurang di dukung oleh inovasi berbasis pengetahuan dan teknologi. Kemana luaran PT-PT yang hebat itu?
Jika pola-pola kebijakan terhadap pengaturan penerimaan mahasiswa baru itu tidak diatur, jangan berharap angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi akan terdongkrak. Yang memungkinkan kuliah, tidak akan merata. Masyarakat pelosok-pelosok dusun akan sulit terakses karena PTS-PTS KMKM akan mati suri. Hidup segan, mati tak mau. La yamutu wala yahya.
Last but not least, pemerintah memang sengaja "menggorok" mereka supaya cepat mati.
*
Penulis adalah akademisi ITB Ahmad Dahlan Jakarta
BERITA TERKAIT: