Setelah berlangsung beribu-ribu tahun, banyak yang baru menyadari syariat kurban ternyata tidak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga berhubungan dengan pembanguan sumberdaya manusia dan kesehatan. Apalagi, dunia saat ini dihadapkan pada persoalan
stunting yang menjadi aib dari sebuah negara.
Stunting adalah gizi buruk yang dialami oleh anak lantaran asupan gizi yang kurang, infeksi serta stimulus yang tak memadai. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa ada 146,2 juta atau 22 persen anak di bawah usia 5 tahun mengalami gizi buruk.
Gizi buruk ini, bagi anak usia seribu hari, beresiko fatal terhadap perlambatan pertumbuhan fisik dan otak. Sehingga, seluruh negara di dunia berusaha menjadikan
stunting menjadi
common enemy (musuh bersama). Indonesia juga tidak terkecuali.
Peringkat kasus
stunting dunia, Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara (27,4 persen) yang menempati diperingkat ke-6, di bawah Osiania (41,4 persen), Afrika Tengah (36,8 persen), Afrika Timur (32,6 persen), Afrika Barat (30,9 persen), dan Afrika Selatan (30,7 persen). Dan di Asia Tenggara sendiri, negeri ini berada pada peringkat ke-2 (31,8 persen) setelah Timor Leste (48,8 persen) pada tahun 2020.
Meskipun data
stunting Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Posisi terakhir, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi
stunting menjadi 21,6 persen pada 2022. Yang tertinggi propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 35,3 persen. Dan yang terendah Propinsi Bali sebesar 8 persen. Sementara Provinsi Jawa Timur berada pada peringkat ke-25 dengan prevalensi sebesar 19,2 persen.
Ini berarti, dari 100 anak berusia 5 tahun di Indonesia, terdapat lebih dari 21 anak yang menderita gizi buruk. Sedangkan, dari 100 anak di Jatim, terdapat 19 anak yang mengalami gizi buruk. Angka ini masih berada di atas rerata yang ditolerir oleh Badan Kesehatan dunia yang mematok kurang dari 20 persen.
Untuk menurunkan angka
stunting di atas, pemerintah telah menelorkan kebijakan penambahan gizi bagi ibu hamil dan anak. Mereka diberi makanan tambahan yang bersumber dari protein hewani, baik telur, daging ayam maupun kambing dan sapi. Dua hewan yang disebut terakhir termasuk hewan kurban.
Dalam konteks ini, syariat kurban dapat dimasukkan sebagai ikhtiar untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat luas. Khususnya bagi ibu hamil dan anak. Mereka yang mesti menjadi prioritas dari target group penerima daging hewan kurban itu. Apalagi, proses distribusi daging hewan kurban tak harus dilaksanakan pada 3 hari setelah Idul Adha. Bisa pula di luar bulan Dzulhijjah sekalipun. Pasti syariat kurban bisa dioptimalisasikan pada peningkatan asupan gizi untuk perang melawan
stunting.
Pertanyaan hukum fikih anti
stunting berikutnya, bisakah secara hukum membagikan daging hewan kurban di luar bulan Haji? Para otoritas keagamaanlah yang wajib menjawab masalah hukum fikih ini.
Memang, distribusi daging hewan kurban disyariatkan maksimal tiga hari setelah lebaran. Namun, menyimpan dagingnya boleh melampaui ketentuan hari tersebut, seperti yang dijelaskan dalam kitab As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997 M/1418 H], juz IV, halaman 388, yang artinya:
“Peringatan: tidak makruh menyimpan daging kurban dan daging dam. Pekurban dianjurkan menyimpan sepertiga daging yang memang dialokasikan untuk dikonsumsi."
"Dulu penyimpanan daging melebihi tiga hari sempat diharamkan tetapi kemudian dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika para sahabat kembali bertanya kepadanya, ‘Dulu memang ku larang kalian menyimpannya karena tamu. Kini Allah memberikan kelapangan-Nya. Oleh karena itu, simpanlah daging yang telah jelas bagimu."
Pemerintah bersama dengan ormas keagamaan, pesantren dan masyarakat muslim lain menyediakan
freezer untuk menyimpan daging untuk para ibu hamil dan anak. Mereka mengkonsumsi daging kurban sesuai dengan kebutuhan. Sehingga kebutuhan asupan gizi mereka dapat terpenuhi.
Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa setiap tahun, kebutuhan hewan kurban nasional mencapai hampir 2 juta ekor hewan. Pada 2022 misalnya, kebutuhan pemotongan hewan kurban mencapai 1,81 juta ekor. Jumlah itu terdiri dari 695.574 sapi, 733.784 kambing, 364.393 domba, dan 19.652 kerbau.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penduduk berdasarkan usia 0-4 tahun berjumlah 22,0 juta. Anak di bawah usia 5 tahun ini terdiri dari laki-laki berjumlah 11,3 juta. Dan, perempuan berjumlah 10,7 juta. Dengan prevalensi 21,6 persen pada 2022, maka diperkirakan anak yang mengalami gizi buruk sejumlah 4,7 juta.
Dengan demikian, jumlah hewan kurban 1,8 juta ekor relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan daging anak mencapai 4,7 juta tersebut. Apalagi, kebutuhan ini berdasarkan pada rerata konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia sebesar 2,2 kg, lalu kambing 0,4 kg per kapita. Konsumsi ini sesungguhnya di bawah konsumsi daging di dunia. Masing-masing daging sapi sebesar 6,4 kg dan kambing 1,3 kg per kapita.
Jadi, dengan hewan kurban yang mencapai 695 ribu ekor saja dan rerata per ekor mendapatkan 122 kg daging, maka masing-masing anak beresiko stunting sebanyak 4,7 juta akan menerima daging sebanyak 18 kg per anak. Tonase daging ini sudah jauh di atas rerata konsumsi daging sapi dunia sekalipun. Mereka pasti mendapat asupan gizi hewani yang cukup untuk menghindari malnutrisi.
Dari uraian di atas, semua pasti menyadari potensi besar hewan kurban dalam mengentas
stunting di Indonesia. Tinggal, bagaimana gerakan keagamaan ini dapat dikelola menjadi gerakan pembanguan SDM dan kesehatan. Allah SWT telah mengingatkan dalam QS Al-Nisa' ayat 9, "Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar".
*
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
BERITA TERKAIT: