Namun sayang, responnya setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Perbincangan di elite politik, kelompok pertama hanya bilang perlunya GBHN. Kelompok kedua, ingin mengembalikan kedudukan MPR tetapi Pilpres tetap dengan Pilpres langsung. Kelompok tiga, ingin MPR dikembalikan seperti sebelum amandemen, tetapi suara ini nyaris tak terdengar. Semua berjalan alot, sehingga berhenti.
Umumnya mereka punya kesadaran, perlunya perencanaan pembangunan yang berkesinambungan. Di dalam UUD 1945 dinamai garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Beda dengan sistem presidensial hasil amandemen; rencana pembangunan dari visi dan misinya Presiden. Sehingga, Presiden selesai menjabat, pergi tak pamit, tak pula memberi pertanggungjawaban.
Mereka ada juga yang sadar, bahwa sistem ketatanegaraan kita perlu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Tetapi mereka juga kebingungan antara berpikiran pragmatis, partaiku atau golonganku dapat apa nantinya. Jarang yang berpikir strategis konseptual dalam kesisteman demi bangsa dan negara. Ujung- ujungnya kebingungan; karena bingung dan berpikir sektoral, akibatnya tidak menemukan kata sepakat, alias macet.
Kabar tersebut tertangkap di kupingnya para punakawan. Seperti biasa para Punakawan Semar, Gareng (G), Petruk (P) dan Bagong (B) sambil makan singkong goreng dan secangkir kopi sore ngrumpi ngobrol soal-soal negara.
G : Romo, jujur saja ya,… Negara kita itu demokratis apa nggak sih?
B : Romo, pertanyaan Gareng penting. Romo perlu menjawab.
Semar : Anak-anakku bocah bagus, jika kalian rajin baca buku pengetahuan pasti ngerti. Kalian hanya baca komik, yo mesti bingung.
P : Romo itu aneh, tidak menjawab malah nyindir. Petruk baca di media, sekarang demokrasi mati. Pak Kwiek Kian Gie, begitu juga yang lain, bilang takut jika mengutarakan pendapat yang beda. Padahal masuk era reformasi, maunya negara ini dibikin demokratis. Bagaimana pendapat Romo?
Semar : Ngger anakku, demokratis atau tidak, ukurannya macem-macem, tergantung sing ngomong. Dulu sistem pemerintahan kita ya demokratis. Cuma kata si pengamandemen UUD 1945 dan asing, tidak demokratis karena ada MPR dan Presiden dipilih MPR.
Padahal ‘founding fathers’ di Pembukaan UUD 1945 sudah menekankan ‘Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’. Berdasar kepada ‘………Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dst’.
Nilai tersebut ditransformasikan ke dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 : ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR’. Sedang di Pasal 6 ayat (2) : ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak’. Jadi kurang opo maneh?
Negara berkedaulatan rakyat dan di tangan rakyat, itu ciri negara demokratis. Jadi, kita itu negara demokratis. Kalau Pilpres oleh MPR, itu kan caranya. Karena ada yang pingin demokrasi liberal seperti Amerika Serikat, lalu dibilang kita tidak demokratis. Padahal, Amerika Serikat saja Pilpres tidak seperti di Indonesia.
Beberapa negara yang Kepala Pemerintahan dipegang Perdana Menteri, juga ada yang tidak dipilih langsung rakyat. Setelah Pilpres dipilih rakyat langsung, kita seperti dininabobokan. Bangga dapat nomor sebagai negara demokratis.
G : Apa maksud Romo dininabobokan?
B : Reng, kamu tahu lagu ninabobok? Karena dipuji sebagai negara demokratis, di antara kita banyak yang terlena. Mata dan hati tertutup, tertidur. Tidak mau mikir, pelaksanaan kedaulatan rakyat yang cocok untuk Indonesia itu sebenarnya seperti apa.
Umumnya, jarang yang sadar, bahwa Pilpres dan Pilkada langsung sudah membelah persatuan kita. Mungkin ini maunya asing. Sistem ini memang ada yang menyukai, utamanya Parpol, karena diuntungkan. Hanya Parpol yang punya hak usung calon Presiden dan Wapres. Tetapi bagi kepentingan bangsa dan negara jelas merugikan, khususnya terhadap Persatuan Indonesia, tidak dihitung.
Semar : Seratus untuk Bagong. Cara melaksanakan kedaulatan rakyat yang cocok dengan budaya kita, adalah musyawarah perwakilan. Jangan dikira ‘founding fathers’ kita tidak ngerti sistem-sistem Barat. Bapak bangsa kita ngerti, tetapi tidak milih demokrasi Barat, karena bisa merusak budaya kita.
Kalian pasti mengamati, sejak ada Pilpres dan Pilkada langsung, sosial budaya kita rusak. Ketidakjujuran dan ketidakadilan menjamur.
Orang mudah bohong, memfitnah, mencaci, umbar kebencian, tidak toleran, korupsi, radikal, dll. Bukan saja rakyat kecil, pejabat dan kelas menangah ke atas pun melakukan. Perpecahan terjadi tidak saja di keluarga, tetapi juga di RT, RW, organisasi-organisasi, masyarakat luas, dll.
B : Apa yang diomongkan Romo benar. Kondisi sosial budaya kita sebelum Pilpres langsung tidak seperti ini. Padahal Persatuan Indonesia itu sangat penting bagi kehidupan bernegara. Persatuan Indonesia yang dibangun susah payah untuk melawan penjajah, sekarang sedemikian mudahnya rusak, akibat salah pilih cara pemilihan Presiden.
G : Tapi anehnya, elite politik kok malah berpikir akan mendahulukan bikin GBHN dibanding mencari penyebab rusaknya sosial budaya, dan mancari jalan keluar agar Persatuan Indonesia tidak koyak, ya.
Semar : Romo juga heran. Untuk apa mendahulukan GBHN tetapi persatuan terbelah? Pembangunan itu memerlukan persatuan dan stabilitas dalam segala bidang. Makanya cita-cita nasional, ‘Persatuan’ itu nomor dua setelah merdeka. Mestinya cara berpikirnya tidak sepotong-potong, tetapi harus komprehensif dan integral dalam sebuah sistem.
G, P, B : Haa… apa itu Romo? Nalarnya bagaimana?
Semar : Gampangnya begini tole anakku; kalian mau mendirikan rumah kan bikin podasi dulu. Nah, ketika kita akan mendirikan negara Indonesia Merdeka, para ‘founding fathers’ pertama-tama juga mencari, menyusun atau membuat pondasi negara yang disebut ‘Dasar Negara’. Romo tidak akan ngulangi prosesnya ya. Kalian sudah ngerti bukan?
B : Betul. Bagong ingat, Romo pernah cerita. Bagong juga baca beberapa literatur yang memberikan penjelasan, nilai-nilai dalam Pancasila itu bersumber dari budaya bangsa.
Buku tulisan Yudi Latif : ‘Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasilaâ€, juga buku Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. : ‘Filsafat Hukum Pancasila dan Semiotika Hukum Pancasila’ dan bukunya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari : “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945†memberikan gambaran yang jelas tentang Pancasila.
Semar : Wouuw… kamu hebat Bagong. Romo ngaku kalah. Mata Romo sudah tak tahan baca.
B : He he he…. Tetapi lanjutannya Romo saja.
Semar : Baik tole anakku. Setelah dasar negara Pancasila disepakati, selanjutnya nyusun Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar, yang dikenal dengan UUD 1945. Nah, pasal-pasal UUD 1945 itu merupakan jabaran dari nilai-nilai Dasar Negara, Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945.
Kalau Bung Karno mengenalkan Sila keempat Pancasila sebagai Demokrasinya Indonesia, maka pasal-pasal dalam Undang- undang Dasar ya harus ngikuti nilai-nilai tersebut bukan?
Coba bayangkan, kalian bikin rumah dengan pondasi gaya Betawi. Tetapi di atasnya kalian bangun gaya Spanyolan, bisa nggak? Kuat nggak? Tentu mudah roboh karena arsitektur bangunan beda dengan pondasinya.
G, B, P : Ha ha ha… karena Romo tidak punya gelar profesor doktor, njelasinya ya gaya Warung Tegal, lugas, gamblang, murah dan kenyang. Romo tidak pakai istilah demokrasi Barat, demokrasi liberal, ‘one man one vote’yang invidualistis, sehingga gamping bangiit, saya menerimanya.
Semar : Kalau GBHN disusun MPR, berarti perlu legalitas. Padahal MPR saat ini tidak punya produk hukum lagi. Ketetapan MPR sudah tidak ada lagi. Agar Presiden tunduk untuk melaksanakan GBHN dari MPR, berarti Presiden harus ‘Mandataris MPR’. Padahal, Parpol masih suka Pilpres dipilih langsung rakyat, jadi mana mungkin?
Belum lagi soal siapa anggota MPR saat ini. Anggota DPR plus DPD, nyaris orang-orang Parpol. Semua anggota melalui pemilihan yang sarat dengan ‘money politic’. Tidak ada Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagaimana ciptaan ‘founding fathers’. Sehingga keterwakilan rakyat tidak tampak. MPR bukan lagi sebagai representasi rakyat Indonesia.
Dengan demikian, jika sistem masih menggunakan demokrasi liberal, yang kuat itu yang menang. Pemilik modal atau kapitalis yang menang. Tidak menutup kemungkinan para konseptor GBHN adalah jago-jagonya kaum kapitalis. Mereka akan leluasa mendikte, pembangunan apa yang mereka inginkan.
Karena mereka sudah menguasai lahan dan tambang (misalnya), mereka bisa saja mendikte untuk memindahkan Ibukota Negara, Propinsi ataupun Kabupaten. Mereka bisa mendikte memindahkan ataupun membuat lapangan terbang dan pelabuhan yang bisa mendukung kepentingannya.
Semua tersusun dalam GBHN dengan argumentasi yang cantik sehingga bisa diterima, walaupun tentu ada yang mengkritisi. Tapi apalah artinya kritik, jika ‘sistem’ sudah dikuasai pemilik modal. Namun, apalah artinya GBHN yang disusun MPR tersebut, jika Presiden bukan Mandataris MPR. Apakah akan dipaksakan?
Pemaksaan Presiden yang bukan Mandataris MPR untuk melaksanakan GBHN produk MPR, jelas itu penyimpangan dari pemahaman Presidensial, dimana Presiden dipilih rakyat langsung. Dalam sistem Presdiensial, pembangunan didasarkan visi dan misinya Presiden, walaupun dia hanya dipilih 50 persen plus 1 orang.
B : Waduh… apakah yang disampaikan Romo tersebut yang akhirnya angin sepoi-sepoi MPR akan bikin GBHN maju mundur, terus macet?
Semar : Bagong anakku cah bagus, Romo ora ngerti opo sebabnya. Penjelasan Romo tadi, pendapat Romo saja. Romo hanya ingin membandingkan dengan pemikirannya ‘founding fathers’, yang runtut; seperti ini.
Setelah Dasar Negara ditetapkan, nilai-nilainya melandasi sistem ketatanegaraan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Ps. 1 ayat 2). Siapa MPR? MPR representasi rakyat Indonesia, anggotanya diatur (Ps.2 ayat 1). Bagaimana rakyat bisa menyalurkan keinginan membangun
negara untuk kesejahteraan? MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN (Ps. 3).
GBHN tentu ada yang menjalankan; siapa? Presiden. Dalam ‘Sistem Pemerintahan Negara’ ditentukan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawahnya majelis. Kemudian dalam ‘Kekuasaan Pemerintahan Negara’, kekuasaan dan kewenangan Presiden, cara pemilihan Presiden, semua diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUD 1945. Inilah yang disebut dengan ‘Sistem Pemerintahan Sendiri’ atau Sistem Pemerintahan MPR.
Sedang Prijanto, dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) lebih suka menyebut dengan Sistem Pemerintahan Pancasila. Mengapa, karena dilandasi nilai-nilai Pancasila. Negara lain memakai sistem Parlementer, Presidensial atau kombinasi keduanya, silakan saja. Kita harus bangga dengan milik dan cara sendiri.
Baca :
Menepis Pendapat Amien Rais (Bagian 6): Soal Presiden Memegang Kekuasaan Membentuk Undang-undangB : Romo hebat. Rasa nasionalisme Romo seperti ‘founding fathers’. Saat ini, sulit dicari tandingannya. Lanjutken Romo.
Semar : Sehingga pertanyaan kritisnya ‘Mengapa hanya GBHN’ yang dipikirkan? Konon kata petinggi Parpol, masalah Pilpres secara langsung tunda dulu. Ini kan pikiran yang sifatnya sektoral. Apa karena Pilpres secara langsung memberi kenikmatan Parpol, sehingga ditunda dan dibiarkan? Padahal Pilpres secara langsung merusak Persatuan Indonesia.
Seharusnya, semua harus berpikir komprehensif dan integral, meninggalkan kepentingan kelompok dan golongan, menatap ke depan demi bangsa dan negara. Persatuan Indonesia adalah utama, GBHN dari MPR sangat diperlukan, Presiden sebagai Mandataris MPR agar bisa melaksanakan amanat GBHN syarat utama.
G : Sore ini Romo panjang banget ceritanya. Biasanya kalau ditulis paling 900-an kata, tapi sore ini lebih 1600 kata.
G, P, B : Terima kasih Romo atas penjelasannya.
Semar : Romo juga terima kasih, kalian mau mendengarkan. Semoga ngerti dan bermanfaat. Insya Allah, aamiin.
Penulis adalah Aster KSAD 2006 hingg 2007, yang juga Wagub DKI 2007 hingga 2012
BERITA TERKAIT: