Berita di atas dikirim Anthony kepada penulis melalui WhatsApp, tanggal 28/1/2024. Membaca artikel Anthony, penulis ingat pernyataan Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI yang dikutip media pada 17/2/2020 bahwa "Paling mahal 1 triliun untuk kuasai parpol. Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur kita, dan walikota, karena sistem yang kita punya."
Tentu semua paham, yang dimaksud sistem kita punya, adalah sistem UUD NRI Tahun 1945 atau konstitusi hasil amandemen yang sering disebut UUD 2002, karena ditandatangani tahun 2002.
UUD 2002 inilah yang saat ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dampaknya kita rasakan, betapa jauhnya dari cita-cita bangsa Indonesia ataupun yang terkecil jauh dari cita-cita reformasi tahun 1998.
Berdasarkan rangkaian data dan fakta, maka UUD 2002 patut dinilai adanya kekuatan tertentu yang berkehendak mengendalikan atau untuk: (1) menguasai perpolitikan, (2) menguasai perekonomian, dan (3) menduduki jabatan presiden di Indonesia, dengan cara mengubah persyaratan, yang awalnya orang Indonesia asli, diubah menjadi Warga Negara Indonesia.
Apabila kita dengarkan pengakuan dari JE. Sahetapy dalam videonya yang beredar luas, bahwa usul perubahan syarat presiden Indonesia tersebut muncul dari pikiran dan ucapan pribadinya. Artinya, perubahan materi muatan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 tanpa melalui kajian atau tidak disertai naskah akademik.
Oleh karena itu, penulis mengajak bagi yang berpendapat, apa salahnya, toh hal itu sudah menjadi hukum positif untuk meninjaunya dari perspektif kelahiran pasal tersebut.
Ketiga hal tersebut sering menjadi topik pembicaraan oleh teman-teman penulis baik para politisi, purnawirawan, aktivis maupun mantan pejabat yang tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) seperti almarhum Jenderal Djoko Santoso, Hariman Siregar, Taufiequrachman Ruki, Bambang Wibowo, Jenderal Agustadi, Laksamana Tedjo Edhy, Marsekal Imam Sufaat, M Hatta Taliwang, Edwin Sukowati, dan masih banyak lagi.
GKI bersama organisasi seperjuangan, yaitu Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri dan Organisasi seperjuangan (FOKO) yang dibina Jenderal Try Sutrisno, di antaranya almarhum Jenderal Widjojo Soejono dan almarhum Letjen Sayidiman, yang sering melakukan penilaian situasi secara bersama-sama di Parley Jalan Raya Patal Senayan Kav 3B, Senayan.
Pikiran dan pendapat dari masing-masing dihimpun dalam buku yang disunting B Wiwoho:
Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945? Semua merasa prihatin menghadapi situasi bangsa dan negara, yang disebabkan sistem UUD 2002 yang dinilai oleh banyak tokoh, materi muatannya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam amandemen UUD 1945, hadir Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing, tidak saja memasok konsepsi, tetapi juga hadir dalam persidangan PAH BP MPR; hal ini merupakan fakta, bahwa amandemen UUD 1945 ada intervensi asing. (Valina Singka Subekti,
Menyusun Konstitusi Transisi, hlm. 81).
Terkait judul artikel ini dan berita kunci di atas, penulis ingat apa yang pernah disampaikan oleh almarhum Jenderal Djoko Santoso, yang waktu itu sebagai Lurah dari Alpajuli Darat, yang selalu mengingatkan untuk meningkatkan rasa nasionalisme untuk melawan oligarki ekonomi, dengan konsepsi Beli Indonesia.
Konsepsi Beli Indonesia merupakan konsepsi gerakan dari gagasan Heppy Trenggono, yang hakikatnya sebagai edukasi kepada masyarakat Indonesia agar mencintai dan bersedia untuk membeli dan menggunakan produk industri dan hasil pangan yang dihasilkan bangsa sendiri.
Konsepsi Gerakan Beli Indonesia ini, mengantarkan Heppy Trenggono memperoleh Gelar Doktor Kehormatan (
Doctor Honoris Causa) dari Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.
Bagi pimpinan daerah, beberapa kabupaten yang menerapkan konsepsi Beli Indonesia ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Hal inilah yang mendorong Lurah Alpajuli Darat, Djoko Santoso waktu itu, mengajak untuk meningkatkan konsepsi Beli Indonesia tidak hanya pada persoalan mencintai dan membeli hasil buah tangan dan kerja bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga termasuk meningkatkan perasaan nasionalisme yang berhubungan diubahnya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945: "Presiden ialah orang Indonesia asli". Inilah salah satu poin yang ikut mendasari, perlunya kembali ke UUD 1945, untuk disempurnakan dengan adendum.
Kecintaannya terhadap bangsa dan negara, mendorong Djoko Santoso dan kawan-kawan aktivis menyelenggarakan Kongres Nasional Boemipoetra di Jakarta pada 28-31 Maret 2019, yang sebelumnya diawali dengan Pra Kongres di Makassar, Yogyakarta, Padang, dan Surabaya.
Hasil kongres nasional di Jakarta ditindaklanjuti sampai dengan berdirinya Perkumpulan Forum Silaturahmi Boemipoetra Nusantara (FSBN) yang telah tercatat resmi di Kemenkumham, dengan Kep Menkum HAM Nomor AHU-0007657.AH.01.07 Tahun 2020.
Setelah Jenderal Djoko Santoso wafat, estafet kepemimpinan di Alumni Perwira lulusan AKABRI Darat tahun 1975, yang terwadahi dalam Sekretariat Bersama Alumni Tujuh Lima Darat atau Sekber Alpajuli Darat, bersifat kolektif kolegial yang diawaki Letjen Erwin Sudjono, Letjen Syaiful Rizal dan Letjen Liliek AS. Sumarjo.
Dalam reuni yang ke-48, dengan Ketua Panitia Koordinator Harian Alpajuli Darat, Mayjen Bambang Sumarno dan motor acara reuni Mayjen Sularso, mampu membangun suasana kecintaan keluarga besar Alpajuli Darat kepada bangsa dan negara, dengan menghadirkan Band Aula Telur, anggota Alpajuli Darat.
Kecintaan terekspresikan secara atraktif melalui vokal group 23 purnawirawan Alpajuli Darat bersama istri, yang menyanyikan lagu
Rayuan Pulau Kelapa, dengan sisipan pesan moral pentingnya Persatuan Indonesia, dari penulis, yang menyitir pendapat Ernest Renan, ilmuwan dan filsuf Perancis abad-18 tentang makna Bangsa.
Dalam rangka menghadapi gurita oligarki ekonomi, di akhir sajian yang atraktif tersebut, Alpajuli Darat mengajak Beli Indonesia, melalui lagu
Dondong Opo Salak. Lagu ini mengingatkan bagaimana cara almarhum Djoko Santoso mengingatkan kepada teman-teman untuk mencintai Indonesia secara total.
Artinya tidak hanya mencintai apa yang dihasilkan Indonesia, tetapi juga mencintai bangsa asli atau yang pertama mendiami Nusantara sebelum bernama Indonesia, atau bukan bangsa pendatang yang bertujuan berdagang di Nusantara.
Hendaknya hidup kita sarwa atau serba Indonesia. Kita punya dondong, salak, duku dan lain-lain buah yang tak kalah dengan buah impor. Belilah apel manalagi dari Malang dari pada apel dari China, Amerika, Australia, dan lain-lain, walaupun apel manalagi ibaratnya sedikit asem.
Itulah ibarat bentuk kecintaan serba Indonesia yang sering disampaikan almarhum Lurah Alpajuli Darat, Djoko Santoso. Apakah lagu
Dondong Opo Salak hanya bermakna tersurat untuk memilih dondong, salak atau duku dalam upaya melawan oligarki ekonomi dengan Beli Indonesia, atau memiliki makna lebih luas dalam arti politik keindonesiaan?
Jawaban atas tafsir lagu
Dondong Opo Salak apakah mengandung tamsil yang lebih luas atau tidak, tergantung hati dan kecerdasan masing-masing dalam menangkapnya; Wallahu a’lam bish shawabi.
Semoga terinspirasi, amin.
Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012; Inisiator Gerakan Kebangkitan Indonesia
BERITA TERKAIT: