Tulisan panjang lebar itu dimuat di media
online sebelum RUU Cipta Kerja dikirimkan ke Istana. Saya minta agar RUU Cipta Kerja yang baru saja diketok di DPR itu sebaiknya dibahas ulang sampai tuntas dan mantap, sampai benar benar final, lalu diketok (disetujui) ulang di DPR.
Saran saya tidak didengar, baik oleh DPR maupun Pemerintah. RUU 812 halaman itu nekat dikirimkan DPR ke Istana untuk ditandatangani Presiden dan diundangkan sebagai UU. Presiden juga nekat mengubahnya lagi lalu mengundangkannya sebagai UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Saya kira ini sebuah “skandal†administrasi. Publik geger luar biasa karena ada kesalahan pasal. Halamannya juga membengkak. Kali ini pemerintah dan DPR tidak bisa lagi mengelak atau berdalih karena perubahan font, format, ataupun ukuran kertas.
Para penyelenggara negara menunjukkan kecerobohan dan keamatirannya. Masyarakat yang kritis siap-siap mengajukan gugatan atau
judicial review atas UU Cipta Kerja ke MK.
Meski saya awam hukum, saya yakin MK tidak mungkin menolak gugatan tersebut karena kesalahannya begitu kasat mata, bahkan sejak kelahirannya.
MK tidak perlu lagi terjebak membahas pasal per pasal, cukup menyatakan UU itu batal demi hukum dengan saran agar disetujui ulang di DPR dan dikirimkan kembali ke Presiden untuk diundangkan. Tentunya setelah dilakukan penyempurnaan agar tidak ada kesalahan sekecil apapun.
Toh dengan cacat yang melilitnya sekarang, UU Ciptaker ini, pada hemat saya tidak bisa digunakan. Investor khawatir atas keabsahan UU No 11 ini.
Terpenting, MK harus menunjukkan keprofesionalan dan independensinya. Bukan lembaga
Yes Man.
Justru dengan membatalkan UU itu, karena ada kesalahan administrasi, MK sebenarnya menjadi “penyelamat bagi Pemerintah dan DPRâ€, agar tidak hilang muka. Sebab pembatalan dan penyempurnaan UU Ciptaker ini atas perintah Mahkamah Konstitusi.
BERITA TERKAIT: