Diplomasi Kemanusiaan RI Untuk Rohingya

Selasa, 14 Februari 2017, 18:39 WIB
Diplomasi Kemanusiaan RI Untuk Rohingya
Ilustrasi/Net
DALAM sebuah kesempatan setelah perhelatan ASEAN Retreat di pekan terakhir bulan Desember, Kementerian Luar Negeri Myanmar menyampaikan pernyataan bahwa Pemerintah Myanmar menegaskan kembali kesiapannya untuk membuka akses kemanusiaan dan menjaga komunikasi dengan negara anggota ASEAN untuk mengabarkan perkembangan situasi di Rakhine.

Pernyataan Kementerian Luar Negeri Myanmar tersebut merupakan respon terhadap tekanan dunia internasional, khususnya negara anggota ASEAN atas apa yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Pemerintah Myanmar melancarkan operasi keamanan di belahan utara Rakhine sejak Oktober 2016 untuk memburu kelompok militan yang diduga sebagai dalang serangan ke pos polisi.

Aksi militer Pemerintah Myanmar di Rakhine ternyata membawa dampak negatif bagi kemanusiaan.  Lebih dari seribu bangunan semipermanen dan rumah dihancurkan dan lebih dari seratus ribu orang meninggalkan Rakhine sejak aksi kekerasan SARA meletup (Data UNHCR dan Human Right Watch). Rakhine pun ditutup selama beberapa pekan. Relawan PBB dilarang masuk dan bantuan kemanusiaan dari Program Pangan Dunia (WFP) hampir putus total. Muncul laporan-laporan bahwa telah terjadi pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembumihangusan seluruh daerah terdeteksi Rohingya oleh Pemerintah Myanmar.

Myanmar sejatinya merupakan rumah bagi hampir satu juta orang warga Rohingya. Namun demikian, mereka berstatus sebagai minoritas di tengah mayoritas pemeluk agama Budha di negeri tersebut. Sebagai minoritas, eksistensi mereka dipertanyakan sebagai bagian dari warga Myanmar. Minoritas muslim Rohingya dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Mereka juga tidak memiliki kewarganegaraan, tidak bebas bergerak apalagi bekerja. Alienasi yag mereka terima dari Pemerintah Myanmar menyebabkan beberapa diantara mereka mengambil tindakan perlawanan. Namun sayangnya perlawanan mereka dengan mudah dipatahkan melalui represi dan serangan militer dari pemerintah.

Sirkumstansi Myanmar yang diwarnai represi oleh pemerintah dan etnis mayoritas Myanmar terhadap etnis Rohingya telah menjadi permasalahan regional negara anggota ASEAN. Situasi di Myanmar apabila tidak disikapi secara cepat dan tepat dikhawatirkan dapat berdampak negatif terhadap stabilitas kawasan. Etnis Rohingya yang tidak tahan atas kekerasan yang mereka terima akhirnya eksodus ke luar Myanmar. Kebanyakan dari mereka menuju ke Bangladesh dan Indonesia yang dianggap aman sebagai tempat berlindung.

Menurut data Komisi Tinggi PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, terdapat sedikitnya 32 ribu pengungsi dari Myanmar yang tercatat resmi pada dua kamp penampungan di Bangladesh. Namun jumlah tersebut belum memperhitungkan pengungsi yang tidak tercatat yang tinggal di perbatasan Bangladesh dan Myanmar yang diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Selama satu bulan terakhir saja sedikitnya 30 ribu warga Rohingya yang kabur dari Myanmar dikabarkan menyelinap ke perbatasan teritori-Bangladesh, Cox's Bazar. Mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di kamp-kamp pengungsian.

Sebagai negara kunci Asia Tenggara, Indonesia tidak akan tutup mata dan telinga terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Status sebagai negara muslim terbesar di dunia suka tak suka menghadirkan tekanan yang kuat dari masyarakat domestik terhadap pemerintah untuk segera mengambil tindakan. Belum lagi memperhitungkan dari sisi pertahanan dan keamanan dengan masuknya etnis Rohingya ke wilayah Indonesia. Tentu saja mereka masuk secara ilegal lewat berbagai celah di perairan Indonesia.

Dalam menyikapi kasus Rohingya, Pemerintah Indonesia telah menggunakan jalur diplomatik secara resmi, yakni melalui Kementerian Luar Negeri RI. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi telah mengadakan pertemuan dengan Konselor Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi di Naypyidaw pada 6 Desember 2016. Hasil pertemuan tersebut cukup menggembirakan bagi masa depan Rohingya karena Pemerintah Myanmar berkomitmen untuk memberikan akses yang luas kepada negara anggota ASEAN untuk berkontribusi aktif dalam penyelesaian masalah Rohingya. Aung San Suu Kyi, atas nama Pemerintah Myanmar, juga mengutarakan keinginan Myanmar untuk mendapatkan bantuan peningkatan kapasitas di berbagai bidang, khususnya kapasitas polisi, aparat keamanan, fasilitasi interfaith dialogue, serta upaya rekonsiliasi di Rakhine.

Diplomasi Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI ini patut diacungi jempol mengingat selama ini ada semacam batasan dalam hubungan antarnegara anggota ASEAN yakni prinsip non-intervensi ASEAN. Prinsip inilah yang sedikit banyak menghambat kelenturan diplomasi negara-negara kawasan Asia Tenggara. Banyak negara anggota yang senyatanya tidak mampu mengelola permasalahan sendiri, katakanlah seperti Pemerintah Thailand dengan minoritas muslim di bagian selatan, Filipina dengan para pemberontak Abu Sayyaf dan bandar-bandar narkoba. Namun mereka menolak uluran tangan negara lain dan berlindung pada prinsip non-intervensi ASEAN tersebut. Namun diplomasi kemanusiaan RI yang berlandaskan pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif ternyata mampu menembus sekat-sekat tersebut.

Tentu saja keberhasilan Indonesia yang membuat Pemerintah Myanmar mau membuka diri perlu tindak lanjut dalam bentuk langkah-langkah taktis dan operasional yang komprehensif. Myanmar yang saat ini berstatus sebagai negara demokrasi muda masih perlu ditopang untuk menguatkan infrastruktur demokrasinya. Di sinilah peran dan tanggung jawab Indonesia sebagai negara kunci kawasan dan saudara tua.

Pertama yang bisa dilakukan Indonesia adalah memastikan bahwa Pemerintah Myanmar tetap terbuka untuk menerima kehadiran sukarelawan dari berbagai negara dan bantuan kemanusiaan untuk meringankan beban Rohingya di Rakhine. Rusaknya rumah dan tewasnya sanak saudara menjadi derita tak terperi bagi mereka yang masih hidup. Kedua, Indonesia harus memastikan bahwa tidak ada lagi operasi militer membabi buta yang dilancarkan oleh Pemerintah Myanmar di kawasan Rakhine. Jika tetap dilakukan, Indonesia harus tanpa sungkan menegur dan mengucilkan Myanmar dalam pergaulan Asia Tenggara.

Ketiga, sebagai negara terimbas oleh eksodus Rohingya, Pemerintah Indonesia harus membuat komitmen dan kesepakatan dengan Pemerintah Myanmar mengenai penanganan imigran Rohingya di Indonesia. Mekanismenya bisa saja pemulangan langsung dengan syarat bahwa mereka tidak mengalami represi kembali setiba di tanah air, atau pemulangan secara bertahap seiring dengan pulihnya situasi politik di Myanmar serta penguatan kapasitas Pemerintah Myanmar dalam pemecahan konflik. Pemerintah Indonesia juga seyogianya melancarkan diplomasi kepada Pemerintah Bangladesh, negara terimbas lainnya, agar tidak mengambil kebijakan yang mengancam keselamatan etnis Rohingya.

Terakhir, Pemerintah Indonesia tak boleh segan untuk membangun komitmen penuh dalam penguatan kapasitas Pemerintah Myanmar. Sebagai negara demokrasi muda, Myanmar sangat membutuhkan sokongan penuh dari negara-negara sahabat. Seperti yang diutarakan Daw Aung San Suu Kyi, Myanmar butuh bantuan dalam penguatan aparat keamanan, pelaksanaan dialog antarkeyakinan, serta proses rekonsiliasi.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat mengirimkan aparat kepolisian atau militer untuk memberikan pelatihan secara berkesinambungan bagaimana pemeliharaan keamanan dan pemulihan stabilitas pasca konflik. Indonesia juga bisa mengirimkan para mediator konflik yang pernah berperan mendinginkan konflik RI dengan GAM pada masa lampau. Pengalaman mereka sangat penting untuk ditularkan kepada pihak-pihak berkepentingan di Myanmar. Indonesia sebagai role model kebhinnekaan harus mampu memberikan masukan bagaimana mengelola perbedaan dan keberagaman sebagai aspek perekat, bukan pemecah belah.

Kemanusiaan adalah hal yang sangat penting dalam relasi antarnegara. Terkadang kemanusiaan mampu melampaui sekat-sekat yang ada. Apa yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani konflik di Myanmar adalah diplomasi yang berlandaskan aspek kemanusiaan, bukan pada aspek kepentingan nasional semata. Melalui diplomasi kemanusiaan ini, diharapkan tercipta stabilitas kawasan yang pada akhirnya mampu menopang stabilitas dan ketahanan nasional Indonesia di masa yang akan datang. Semoga. [***]

Boy Anugerah
(Analis Kerja Sama Luar Negeri di Lemhannas RI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA