Koperasi dan Sistem Ekonomi Alternatif

Sabtu, 20 Desember 2025, 04:24 WIB
Koperasi dan Sistem Ekonomi Alternatif
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)
BANYAK pihak, akademisi, praktisi, baik itu pengusaha swasta maupun profesional dan ekonom (bahkan dikalangan pegiat koperasi sendiri) yang meragukan serta melecehkan koperasi. Koperasi juga dikenal dan dipahami oleh publik hanya sebagai salah satu entitas ekonomi atau badan hukum usaha. Sejatinya, frasa Pasal 33 UUD 1945 merupakan pernyataan sebuah sistem perekonomian. Terlalu kecil cakupan konstitusi jika hanya menetapkan sebuah bentuk badan usaha.

Tidak salah memang, apalagi dikaitkan dengan pengajaran ilmu ekonomi di berbagai jenjang pendidikan. Mata pelajaran dan atau perkuliahan dipengaruhi oleh konsep sistem ekonomi kapitalisme. Komunisme dan atau sosialisme sebagai anti tesanya selama era Orde Baru (Orba) justru terlarang dipelajari. Pelarangan ini terlalu emosional dan membuat tidak adanya diskursus akademik. Akhirnya, yang terjadi pendiskreditan komunisme di satu sisi. Di sisi lain, terjadi dominasi sistem ekonomi kapitalisme.

Dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 UUD 1945) telah menegaskan sebuah platform bagi sistem ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Yaitu, terdapat pada ayat 1 bahwa "perekonomian disusun (sebuah bangunan) sebagai usaha bersama (prinsip) berdasarkan atas asas kekeluargaan. Tafsir ayat inilah yang penting dirumuskan dalam sebuah Undang-Undang sistemik. Terdapat dua (2) kata kunci pada ayat ini, yaitu "usaha bersama" dan azas "kekeluargaan" tapi bukan keluarga.

Artinya, apabila pengejawantahan dari Pasal 33 UUD 1945 ini tidak tampak nyata dalam praktek pengelolaan perekonomian bangsa dan negara tentulah telah terjadi penyimpangan yang mendasar dan konstitusional. Harapan publik, jelas ingin praktek inkonsistensi dan penyimpangan kebijakan ekonomi nasional tidak diulangi lagi dan dilanjutkan terus menerus oleh pemerintahan.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pun telah menempatkan Koperasi menjadi misi ke-3, yaitu  relevan lagi, yaitu meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, serta mengembangkan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran serta aktif koperasi.

Lalu, apa langkah yang harus diambil untuk mengatasi agar penyimpangan tidak semakin jauh dan menjadi kebiasaan yang justru memperburuk situasi dan keadaan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia? Salah satunya adalah dengan mengembalikan peran dan fungsi Koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. 

Tujuan Koperasi vs Korporasi

Mengacu pada kata asalnya, Koperasi adalah istilah serapan yang berasal dari Bahasa Inggris, yaitu cooperative. Yangmana,  cecara umum pengertiannya adalah bekerjasama. Kata lain yang biasa dilekatkan untuk badan usaha swasta adalah korporasi. Yaitu, berasal dari kata coorporation yang berarti adalah korporasi atau secara umum dikenal dengan perusahaan besar yang didirikan oleh individu-individu pemilik modal (capital). Dan, korporasi merupakan operasi entitas ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara dengan sistem ekonomi kapitalisme. 

Dari 2 (dua) kata serapan ini saja orang awam sudah bisa menyimpulkan bahwa kata-kata ini memiliki makna yang berbeda, bagaimana bisa kemudian muncul kalimat mengkorporasikan koperasi? Sebab, berdasar latar belakang sejarah pendirian dan motif serta tujuan organisasi koperasi dan korporasi jelas berbeda secara diametral dan mendasar.

Koperasi didirikan atas dasar inisiatif dan partisipasi dari beberapa individu untuk tujuan menolong diri sendiri (self help) dan tolong menolong antar anggota (membership). Sementara korporasi didirikan oleh individu yang memiliki modal (capital ownership) melalui pembentukan badan hukum Perseroan Terbatas (PT) dengan tujuan mencari laba sebesar-besarnya untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (stockholder). 

Latar belakang sejarah Indonesia dimasa kolonialisme Belanda, juga diawali oleh gerakan perdagangan dunia yang dilakukan oleh VOC sebiah korporasi yang memiliki hak monopoli perdagangan di wilayah bagian barat dunia kala itu. Dan, koperasi tumbuh dan berkembang saat masa penjajahan Belanda adalah dalam rangka “melawan” penindasan dan kekejaman korporasi Belanda pada bumi putera melalui skema utang-piutang seperti rentenir.

Diera pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pernah muncul istilah mengkoorporasikan koperasi. Namun, tidak pernah jelas maksud dan tujuan yang hendak dilakukan Presiden Jokowi, apalagi oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Kalau cuma untuk menjalankan prinsip-prinsip manajemen dalam organisasi bisnis atau entitas ekonomi, justru koperasi lebih dulu menerapkan prinsip-prinsip ini sejak pendiriannya. 

Koperasi adalah kumpulan orang, korporasi kumpulan modal, oleh karena itu koperasi tidak bisa dan tidak mungkin di korporasikan. Tujuan koperasi didirikan adalah untuk membangun ekonomi para anggotanya melalui kegiatan usaha atau bisnis, jadi orientasi SHU yang sebesar-besarnya bukan indikator utama.

Meskipun tak dipungkiri setiap Rapat Anggota Tahunan sebagai forum tertinggi koperasi ada keputusan pembagian SHU. Tujuan mengkorporasikan koperasi tidak saja telah tidak sesuai dengan prinsip pendirian koperasi, tapi justru merendahkan martabat bangun usaha koperasi itu sendiri.

Soal kemajuan dan perkembangan usaha harus diupayakan dengan menerapkan ilmu manajemen dan tidak harus mengubah atau menjadikan koperasi seperti korporasi yang sangat berbeda secara diametral dan mendasar. Justru kalau koperasi hanya merubah prinsipnya, maka bangun usahanya bukan lagi koperasi. 

Bukti Kinerja Koperasi

Menurut catatan Kemenkop UKM, terdapat 1.500 koperasi baru yang didaftarkan sehingga total koperasi terdaftar di Indonesia telah mencapai 130.354 unit. Justru angka ini menunjukkan semakin tingginya tingkat partisipasi masyarakat menolong dirinya sendiri (self help) dan mandiri melalui model entitas ekonomi koperasi sebagai solusi untuk mencapai kesejahteraan bersama. 

Bahkan, selama kepemimpinan Presiden almarhum Soeharto yang pro kemandirian koperasi telah banyak prestasi kinerja perekonomian yang ditorehkan serta diakui dunia internasional seperti Bank Dunia (the World Bank). Diantaranya, yaitu tercatat 5 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 8 persen atau lebih.

Yang mengejutkan, pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia 10,92 persen pada tahun 1968 justru ditopang oleh sektor pertanian dan koperasi. Setelah itu, Indonesia kembali mencapai pertumbuhan ekonomi terbaik di kisaran lebih dari 8 persen itu pada tahun 1973 (8,1 persen), 1977 (8,3 persen), 1980 (10 persen), dan 1995 (8,2 persen). 

Kinerja pertumbuhan dan pemerataan ekonomi ini dicapai melalui berbagai program penegakkan ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) secara konsisten. Dan, Koperasi betul-betul menjadi soko guru bagi perekonomian nasional bangsa dan negara mulai dari desa oleh kinerja Koperasi Unit Desa (KUD). Meskipun, tidak dipungkiri perlunya beberapa perbaikan kebijakan bagi pengembangan kelembagaan dan manajemen KUD agar tidak didominasi oleh Ketua saja.

Keberadaan (eksistensi) Koperasi haruslah memberikan banyak manfaat dan kesejahteraan bagi para anggotanya sebagai pemilik. Tujuan kesejahteraan anggota ini diterapkan melalui pengembangan partisipasi anggota sesuai dengan kepentingan ekonomi yang sama. Penerapan paradigma dan prinsip secara konsisten dapat dibuktikan oleh data koperasi berkinerja baik dan positif serta meraih keberhasilan pertumbuhan anggota, tidak saja peningkatan ekonomi dan keuangannya saja.

Sebagai contoh, kinerja yang dicapai oleh Koperasi Karyawan Semen Gresik, di Jawa Timur pada tahun 2023. Koperasi ini memiliki total anggota sejumlah 3.883 orang, karyawan 512 orang, dan 66 kantor cabang. Ada lagi, KPSBU (Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara) Lembang, Jawa Barat yang berdiri sejak 1979, memiliki 7.500 peternak anggota dengan populasi sapi perah sekitar 21.000 ekor. 

Setiap hari, koperasi ini memproduksi lebih dari 100 ton susu serta bisa diharapkan untuk mensukseskan program makan bergizi gratis (MBG) pemerintah. Bukti lain, yaitu infrastruktur gedung monumental keberhasilan koperasi sektor produksi atau non simpan pinjam lainnya adalah berdiri tegaknya gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) nan megah bersebelahan dengan gedung perkantoran PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) di bilangan Semanggi, Jakarta Pusat. 

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak menjadikan koperasi produksi sebagai motor penggerak perekonomian daerah. Melalui berbagai pembangunan sentra industrinya mampu menjadi entitas utama dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa. GKBI berkinerja positif malah tanpa bantuan pembiayaan dari pihak ketiga melalui pendanaan dana bergulir yang menerapkan suku bunga (interest rate) tertentu.

Disamping itu, berbagai catatan kinerja penting telah ditorehkan dalam pembangunan ekonomi bangsa dan negara di bawah kepemimpinannya melalui kontribusi sektor pertanian ditopang oleh entitas ekonomi Koperasi Unit Desa (KUD) serta minyak bumi dan dan (migas) oleh BUMN Pertamina dan PLN. Sangat tepat dan layaklah, model sinergitas koperasi dan BUMN ini kembali diterapkan serta dikembangkan dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Koperasi di Indonesia juga memberikan lapangan pekerjaan secara luas, banyak karyawan yang bekerja di koperasi, dan jumlah karyawan yang bekerja di unit usaha atau usaha yang dijalankan oleh koperasi. Data Kemenkop UMKM per Juni 2019, menunjukkan jumlah total anggota koperasi adalah 22 juta orang.

Koperasi juga tidak perlu pembiayaan dengan cara menggelontorkan dana melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan ini jelas klasik serta sesat pikir atas berbagai permasalahan dan kendala yang banyak dihadapi oleh koperasi selama 25 tahun terakhir. Apalagi dana yang berjumlah Rp10 triliun pada tahun 2025 tidak jelas mekanisme dan ketentuan peruntukkannya.

Apabila hal itu dijalankan dengan menggunakan dana yang bersumber dari APBN senilai Rp10 triliun justru berpotensi disimpangkan dan atau menjadi lahan korupsi. Sebagaimana halnya yang terjadi pada masa awal kabinet reformasi diera pemerintahan Presiden almarhum BJ. Habibie. Kebijakan pemerintah untuk mengalokasikannya pada Koperasi Merah Putih (KMP) dan atau melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) jelas tidak tepat dan akan gagal! 

Afirmasi dan Revisi UU

Usaha Kementerian Koperasi dan UMKM (telah dipisah 2 kementerian) agar koperasi tidak lagi inferior, melainkan menjadi badan usaha yang setara dengan korporasi,bukan saja salah kejadian. Namun, juga menunjukkan pejabat Kementerian Koperasi dan Kementerian UMKM tidak memahami dan tidak mampu membedakan prinsip koperasi di satu sisi dan korporasi di sisi yang lain. Jelas tidak tepat menjadikan koperasi sebagai korporasi, secara normatif kebijakan ini menyimpang dari prinsip badan usaha koperasi.

Yang dituntut oleh publik adalah usaha dan upaya Kemenkop UMKM harus diarahkan untuk menjadi fasilitator bagi kebijakan perkoperasian yang lebih kondusif, inilah masalah utamanya. Jika kebijakan terhadap koperasi dan akses ekonomi yang diberikan setara dengan korporasi, maka koperasi jauh lebih unggul di masa depan. Hal mana telah dibuktikan oleh koperasi di negara-negara lain, yang justru berada dalam sistem ekonomi kapitalisme tapi kebijakan pemerintahnya mengakomodasinya.

Setelah UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi, pada bulan Mei 2014, maka tentu UU Perkoperasian yang berlaku adalah UU sebelumnya yaitu UU Nomor 25 Tahun 1992. Belum ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk mengamandemen Pasal 33  UUD agar kembali mencantumkan kata koperasi sebagai badan usaha yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. 

Ayat (1) dan ayat (4) telah dipersepsikan secara tidak menyatu (konkruen). Pada ayat (1) disebutkan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sedang pasal (4) berbunyi “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, serta tidak ada kata koperasi.

Seharusnya kata koperasi yang sebelumnya ada dalam  penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dikembalikan, dan yang lebih penting adalah Indonesia harus merumuskan UU tentang Sistem Ekonomi Nasional sebagai turunan dari Pasal 33 dan menjadi rujukan bersama dalam pengaturan kebijakan perekonomian nasional, menjadi jelas tidak menerapkan praktek sistem ekonomi kapitalisme maupun komunisme dan yang lainnya.

Yang tidak atau belum dimiliki oleh koperasi selama ini, yaitu pemihakan kebijakan (affirmative policy) pemerintah atas entitas ekonomi yang prinsipnya termaktub pada Pasal 33, ayat 1 UUD 1945. Justru otoritas koperasi membiarkan praktek-praktek penyimpangan yang terjadi atas nama badan usaha koperasi, tapi cara dan proses kerjanya tak berbeda dengan korporasi.

Maka, revisi UU 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang merupakan pengganti UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sangat mendesak (urgent)! Revisi ini harus memuat pembaharuan hukum, sehingga mampu mewujudkan Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang sehat, kuat, mandiri, dan tangguh sangat dibutuhkan. Dengan menyediakan tingkat kesetaraan dilapangan permainan (level of playing field) dalam persaingan pasar.

Sehingga salah kaprah istilah (gramatical) dan sejarah koperasi dan korporasi tidak terlanjur meluas menjadi kebiasaan yang salah dalam memahaminya, dan menimbulkan pemahaman yang salah secara massif pada publik. Bahwa Koperasi dan Korporasi itu berbeda dan tidak bisa Koperasi dikoorporasikan secara prinsip. Banyak pihak yang hanya “memanfaatkan” koperasi untuk tujuan bukan memajukan koperasi atau kepentingan politik semata.

Yang dibutuhkan bagi pembangunan dan pengembangan koperasi adalah perlakuan kesetaraan akses dengan korporasi. Alokasi dana APBN secara sektoral inilah yang akan produktif mendukung visi-misi Asta Cita ke-3 khususnya bagi pengembangan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peningkatan kapasitas organisasi dan manajemen serta jangkauan jaringan kerjasamanya. 

Tentu saja, kebijakan pemberian hak istimewa (privilege) kepada koperasi yang beroperasi di sektor agro-maritim akan mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih dari 8 persen. Sekaligus, pemerataan hasil-hasilnya dari hulu ke hilir untuk mendukung sasaran swasembada pangan (melalui keragaman konsumsi pangan) akan dapat dicapai.

Last but not least  Kemenkop dan Kementerian UMKM dituntut lebih berperan aktif dan menjadi garda terdepan pengembangan koperasi. Agar bisa melakukan upaya kerjasama lebih luas dengan sektor ekonomi lainnya dan mendorong ruang bagi kesetaraan dalam kebijakan ekonomi nasional. Dalam perspektif hubungannya dengan akses pembiayaan lembaga keuangan dan perbankan serta kerjasama usaha menjadi kekuatan utama. 

Disamping itu, sinergi BUMN dan Koperasi sebagai bangun usaha yang dimandatkan dalam konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 adalah tanggung jawab Kemenkop dan Kementerian UMKM. Jika kebijakan ini ditegakkan konsisten, maka Koperasi Indonesia akan maju sebagaimana perkembangannya di negara-negara Eropa dan Asia. Koperasi Indonesia tidak saja mampu bersaing dengan korporasi, lebih dari itu bisa mengungguli kinerjanya. rmol news logo article

Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi dan mantan Pengawas Kopma UGM

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA