Namun sejarah panjang republik ini justru menyajikan ironi yang pahit, dimana setiap ledakan komoditas hampir selalu berakhir sebagai ilusi. Booming komoditas datang membawa euforia, tetapi segera pergi meninggalkan ketergantungan, kerentanan, dan struktur ekonomi yang rapuh.
Kita mahir mengeksploitasi, tetapi kerap gagap mengelola. Setiap periode harga tinggi komoditas hanya menghasilkan pertumbuhan sesaat, bukan transformasi struktural. Ketika harga jatuh, ekonomi kembali tersandera.
Pola ini berulang dengan wajah yang berbeda, tetapi dengan substansi yang sama. Seolah di baliknya, bersembunyi sebuah penyakit ekonomi klasik yang kerap menimpa negara kaya sumber daya, yaitu “Dutch Disease”.
Karena itu, perdebatan tentang hilirisasi minerba, banjir izin tambang, atau euforia nikel sejatinya bukanlah diskursus yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari cerita besar tentang bagaimana negara mengelola kekayaan alamnya. Jika akar masalahnya bersifat struktural dan kelembagaan, maka solusinya pun tak bisa semata teknokratis.
Ketika Boom Berubah Menjadi BumerangDalam diskursus ekonomi, Dutch Disease adalah paradoks kemakmuran. Istilah ini lahir dari pengalaman Belanda pada 1960-an, ketika penemuan gas alam dalam skala besar justru menimbulkan distorsi ekonomi.
Masuknya devisa dalam jumlah besar mendorong apresiasi nilai tukar, membuat sektor manufaktur dan industri non-sumber daya kehilangan daya saing.
Barang ekspor menjadi mahal, sementara impor membanjir. Modal dan tenaga kerja berpindah dari sektor produktif jangka panjang ke sektor ekstraktif yang tengah “panas”.
Hasil akhirnya adalah ekonomi yang timpang dan rapuh. Ketika harga komoditas turun, negara kehilangan pijakan. Nigeria dan Venezuela adalah contoh ekstrem bagaimana kekayaan alam, tanpa pengelolaan institusional yang kuat, berubah menjadi kutukan pembangunan.
Indonesia tidak imun terhadap gejala ini. Secara statistik, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja memang relatif terbatas. Namun secara politik-ekonomi, daya magnetnya sangat besar.
Setiap kali harga komoditas melonjak, arah kebijakan fiskal, moneter, dan bahkan imajinasi pembangunan ikut tersedot ke sana.
Dengan kata lain, Dutch Disease yang pernah terjadi di Indonesia bukanlah akibat niat buruk, melainkan konsekuensi logis dari desain kelembagaan yang tidak disiapkan untuk mengelola limpahan kekayaan.
Pasal 33 dan Negara yang Terjebak Menjadi Broker IzinIronisnya, kegagalan Indonesia ini berlangsung di bawah konstitusi yang justru sangat progresif. Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (3), telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun dalam praktik, makna “dikuasai oleh negara” sering direduksi menjadi soal perizinan dan pembagian rente jangka pendek.
Mahkamah Konstitusi, melalui berbagai putusannya termasuk terkait Harga Patokan Mineral, telah menegaskan bahwa penguasaan negara bukan sekadar rechtstitel, melainkan beheersdaad, atau tindakan pengurusan aktif, yang mengatur, mengelola, mengawasi, dan mengarahkan. Sayangnya, arah kebijakan kita justru kerap menjauh dari spirit ini.
UU 2/2025 yang merupakan UU tentang Perubahan Keempat atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) beserta turunannya, seperti PP 39/2025 tentang Perizinan Berusaha, memang bertujuan menyederhanakan. Namun dalam praktik, ia berisiko memperkuat logika negara sebagai “broker izin”.
Padahal, negara hadir seharusnya untuk mempermudah eksploitasi, bukan mengorkestrasi pengelolaan strategis. Akibatnya, pengelolaan SDA terfragmentasi, terikat kepentingan pemegang izin, dan terjebak dalam siklus eksploitasi cepat. Inilah lahan subur bagi Dutch Disease.
Negara Tanpa Instrumen PengendaliBila kita cermati lebih jauh, masalah utama Indonesia bukan kekurangan regulasi. Justru sebaliknya, kita berlimpah aturan. Yang absen adalah instrumen pengendali strategis. Tidak ada lembaga yang secara sistematis dirancang untuk menahan windfall income agar tidak membanjiri ekonomi, mengatur ritme eksploitasi berdasarkan visi lintas generasi, dan mentransformasikan kekayaan alam yang terbatas menjadi modal produktif yang berkelanjutan.
Bandingkan dengan Norwegia atau Botswana. Kunci keberhasilan mereka bukan pada jumlah sumber daya, melainkan pada institusi pengelolanya. Government Pension Fund Global (GPFG) Norwegia, misalnya, berfungsi sebagai penyimpan dan pengarah kekayaan, memisahkan SDA dari siklus politik jangka pendek. Indonesia hari ini nyaris tidak memiliki instrumen sejenis.
APBN menjadi satu-satunya wadah, yang mudah meluap saat booming komoditas dan cepat mengering saat harga terjerembab (bust).
Di sinilah Danantara menemukan signifikansinya. Ia bukan sekadar sovereign wealth fund atau superholding BUMN. Dalam konsep idealnya, Danantara seharusnya bisa menjadi antitesis struktural dari Dutch Disease, dengan tiga fungsi kunci.
Pertama, sebagai mekanisme sterilisasi. Dengan mengkonsolidasikan sebagian keuntungan SDA – baik dari dividen BUMN, royalti, maupun pajak Danantara menarik kelebihan likuiditas dari ekonomi domestik. Tekanan apresiasi rupiah dapat diredam, daya saing industri non-SDA terlindungi.
Kedua, sebagai investor strategis. Dana yang terhimpun diinvestasikan secara global dan domestik ke sektor produktif dan berteknologi tinggi. Dengan begitu, Danantara menciptakan pusat gravitasi baru bagi modal dan talenta, mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif, dan mendorong transformasi ekonomi.
Ketiga, sebagai pelaksana beheersdaad negara yang sejati. Konsolidasi kepemilikan negara atas aset strategis memungkinkan pengelolaan portofolio kekayaan secara profesional, terintegrasi, dan berorientasi jangka panjang. Ini bukan nasionalisasi pasar, melainkan orkestrasi pasar untuk tujuan nasional.
Risiko yang Harus DikelolaTentu, Danantara bukan tanpa risiko. Pengalaman global (seperti 1MDB di Malaysia) menunjukkan bahwa dana kekayaan negara dapat terjebak dalam politisasi, kurang transparan, atau menjadi alat patronase jika tata kelolanya lemah.
Dalam kerangka itu, kekhawatiran publik terhadap konsentrasi kekuasaan ekonomi adalah sah dan perlu dijawab. Namun, risiko ini bukan alasan untuk menolak keberadaan Danantara, melainkan alasan untuk memperkuat desain kelembagaannya. Oleh sebab itu, independensi pengelola, akuntabilitas publik, audit ketat, serta perbandingan kinerja dengan standar global menjadi prasyarat mutlak agar Danantara tidak mengulangi kegagalan negara lain.
Pada akhirnya, Dutch Disease bukanlah takdir bagi negara kaya sumber daya. Ia adalah konsekuensi dari pilihan kelembagaan.
Indonesia dapat terus mengulang siklus lama, dengan mengejar booming sumber daya alam, mengobral izin, dan menanggung kerentanan jangka panjang. Atau, Indonesia dapat memilih jalan yang lebih sulit tetapi lebih berkelanjutan, yakni membangun institusi yang mampu mengubah kekayaan alam menjadi fondasi peradaban ekonomi.
Dalam pilihan inilah, Danantara menemukan takdir penciptaannya. Bukan sekadar sebagai pengelola aset, tetapi sebagai upaya negara untuk akhirnya belajar dari sejarahnya sendiri.
Semoga Indonesia yang masuk dalam kategori Negara-negara rapuh yang kaya akan sumber daya alam yang menguntungkan seringkali kesulitan melindungi perekonomian mereka dari "kutukan sumber daya" yang menghambat pembangunan dan menempatkan mereka pada risiko kemunduran dalam pertumbuhan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pengurangan kemiskinan.
Lembaga perbankan dan keuangan mereka sudah lemah, kurang mampu menyerap dan mengelola guncangan harga dari krisis eksternal. Perekonomian mereka membutuhkan perlindungan dari perubahan harga yang fluktuatif dan investasi yang berkelanjutan serta mampu memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
Baik negara maju maupun negara berkembang telah mendirikan dana kekayaan negara (SWF) untuk mengelola surplus pendapatan negara. Dana ini memiliki potensi besar untuk membantu negara-negara rapuh mengelola arus masuk pendapatan yang tinggi dari sumber daya alam yang menguntungkan dan melindungi perekonomian mereka dari volatilitas dan investasi yang tidak berkelanjutan.
Namun, pemerintah negara-negara rapuh seperti Indonesia yang baru-baru ini mendirikan Lembaga Dana Kekayaan Negara (SWF) atau sedang mempertimbangkan untuk membuatnya harus berhati-hati: agar berhasil, SWF harus dikelola dengan baik, mengikuti standar internasional, melakukan investasi yang bijaksana, dan mematuhi kerangka peraturan yang ketat. Tidak semua negara rapuh mampu melakukan hal-hal tersebut.
Pada akhirnya Presiden Prabowo mengambil kebijakan untuk membentuk Dana Kekayaan Negara (Sovereign Wealth Funds/SWF) atau Danantara yang merupakan alat utama untuk mengatasinya dengan menghemat pendapatan dari sumber daya alam, mencegah perekonomian terlalu panas, menstabilkan ekonomi dalam jangka panjang, dan mengarahkan dana, namun Danantara yang efektif membutuhkan tata kelola yang kuat untuk menghindari korupsi dan memastikan pengeluaran yang bijaksana, tidak seperti pengeluaran ad-hoc yang memperburuk Penyakit Belanda.
Di mana Danantara yang dibentuk oleh Presiden Prabowo diharapkan menjadikan Dana Kekayaan Negara (SWF) yang merupakan dana investasi milik negara yang didirikan untuk mengelola, menyalurkan, dan menginvestasikan surplus pendapatan nasional, biasanya dari ekspor sumber daya alam yang menguntungkan.
Danantara dimaksudkan untuk dijalankan oleh Badan independen dan apolitis yang menentukan bagaimana uang tersebut harus diinvestasikan.
Meskipun sebagian besar dibiayai dengan mata uang asing, Danantara dikelola secara terpisah dari cadangan devisa resmi, dengan menempatkan kelebihan pendapatan ke dalam dana, daripada selama ini membiarkannya masuk ke perekonomian, yang diharapkan pemerintah dapat memperlancar dan mengelola harga pasar dalam jangka panjang, yang merupakan tantangan besar bagi negara-negara kaya sumber daya seperti Indonesia.
Pengamat Politik & Ekonomi
BERITA TERKAIT: