Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, langkah tersebut berimplikasi serius terhadap sejarah, hukum tata negara, dan fondasi demokrasi di Indonesia.
“Pemberian gelar ini bukan hanya perkara pantas atau tidak pantas. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan arah demokrasi Indonesia ke depan,” ujar Bivitri kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.
Menurutnya, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat mengaburkan landasan historis reformasi yang melahirkan berbagai perubahan institusional, termasuk pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimasukkannya pasal-pasal hak asasi manusia (HAM) ke dalam UUD 1945.
“Kalau Soeharto dianggap pahlawan, seolah-olah kita kehilangan dasar sejarah atas lahirnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi itu. Reformasi bisa kehilangan maknanya,” jelas dia.
Bivitri juga menyoroti bahwa penyandingan nama Soeharto dengan tokoh-tokoh lain dalam daftar usulan, seperti Marsinah, terkesan sebagai upaya untuk mengaburkan fakta sejarah.
“Seolah pemberian gelar ini prosedural biasa. Kalau Soeharto diusulkan sendirian, mungkin masyarakat lebih mudah menolak. Tapi kalau bersama tokoh lain, kita jadi ragu dan sungkan, apalagi harus berhadapan dengan keluarga para calon penerima gelar,” ungkapnya.
Lebih jauh, Bivitri mengingatkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa berdampak pada legitimasi perubahan konstitusi pascareformasi.
“Kita bisa kehilangan dasar sejarah yang menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945 itu perlu, karena kekuasaan Soeharto dulu terlalu besar. Dulu tidak ada Pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden dua periode, tidak ada MK. Saya khawatir langkah ini menjadi pembenaran untuk mengubah kembali konstitusi,” beber dia.
“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, nanti bisa saja muncul argumen, ‘Soeharto saja dipilih tujuh kali, kenapa tidak boleh lagi?’ Itu yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita,” pungkas Bivitri.
BERITA TERKAIT: