Ia menyebut Rusia memiliki pengalaman yang panjang dalam mengembangkan nuklir untuk berbagai keperluan.
“Salah satu peluang terbesar dari kerja sama ini adalah pengalaman panjang yang dimiliki Rusia dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi nuklir. Rusia merupakan negara dengan sejarah yang kuat dalam penggunaan energi nuklir, tidak hanya untuk pembangkitan listrik, tetapi juga untuk keperluan non-energi seperti di bidang kesehatan, industri, serta pertanian dan pangan,” ujar peneliti senior bidang nuklir BATAN ini dalam keterangannya, Senin malam, 7 Juli 2025.
Rohadi menjelaskan Rusia telah menorehkan sejarah penting sejak masa Uni Soviet dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di dunia yang terletak di Obninsk, sekitar 100 km dari Moskow, pada tahun 1954. PLTN ini memiliki kapasitas 5 MW dan menjadi tonggak sejarah pemanfaatan energi nuklir untuk kepentingan sipil secara global.
Selama era Perang Dingin, Uni Soviet mengembangkan berbagai jenis reaktor nuklir, termasuk RBMK dan VVER. Reaktor RBMK dikenal luas karena digunakan di PLTN Chernobyl.
Namun, pasca tragedi tersebut, Rusia melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem reaktor, terutama dengan mengembangkan reaktor tipe VVER (reaktor air bertekanan/PWR). Salah satu varian terbaru, VVER-1200, merupakan reaktor generasi III+ yang mengedepankan fitur keselamatan pasif, efisiensi tinggi dan umur operasi hingga 60 tahun. Reaktor ini telah diekspor dan dibangun di berbagai negara seperti India, Turki, Mesir, dan Bangladesh.
Selain itu, Rusia juga telah mengembangkan PLTN tipe Small Modular Reactor (SMR) yang merupakan adaptasi dari teknologi reaktor nuklir kapal selam. Salah satunya adalah RITM-200 yang hadir dalam dua varian: RITM-200M untuk basis terapung (marine-based) dan RITM-200N untuk basis darat (land-based). PLTN ini memiliki kapasitas 55 MWe dan dirancang untuk beroperasi selama 6–7 tahun tanpa perlu pengisian ulang bahan bakar.
Rohadi menambahkan kerja sama bidang nuklir dengan Rusia memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun Kerjasama itu diiringi pula sejumlah tantangan yang harus dikelola dengan bijak. Salah satunya persepsi publik terhadap kejadian Chernobyl serta kondisi geopolitik saat ini merupakan tantangan yang harus diatasi.
“Karena itu Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis guna memaksimalkan peluang serta mengatasi tantangan yang ada,” tegasnya.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya komunikasi dan edukasi publik yang intensif guna memberikan pemahaman yang benar mengenai teknologi reaktor modern Rusia, seperti VVER, yang telah terbukti aman dan digunakan secara luas di berbagai negara. Sayangnya, sejak dileburnya BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) ke dalam BRIN, Indonesia saat ini tidak memiliki institusi yang secara khusus bertanggung jawab dalam edukasi publik mengenai teknologi nuklir. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali untuk mengaktifkan lembaga semacam BATAN guna memperkuat literasi nuklir di masyarakat Indonesia.
“Tantangan kedua berasal dari dinamika geopolitik global. Dalam situasi internasional yang penuh ketegangan dan perubahan cepat, peningkatan intensitas kerja sama dengan Rusia dapat menimbulkan dampak terhadap hubungan ekonomi dan politik Indonesia dengan negara lain. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merancang formula kerja sama yang tepat dengan Rusia, yang dapat selaras dengan strategi diplomasi dan kepentingan nasional Indonesia secara keseluruhan,” pungkas Rohadi.
BERITA TERKAIT: