Acara ini bukan sekadar ruang silaturahmi pasca Idulfitri, tetapi menjadi momen strategis bagi GM FKPPI untuk menyuarakan posisi moral dan politiknya dalam dinamika pertahanan nasional.
Bertempat di Premier Lounge SCBD, forum ini dihadiri oleh puluhan peserta dari kalangan pemuda, akademisi, serta perwakilan komunitas strategis. Hadir pula Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Dito Ariotedjo, yang memberikan sambutan dan dukungannya terhadap inisiatif GM FKPPI.
“Kementerian Pemuda dan Olahraga mengapresiasi kegiatan ini sebagai ruang yang membangun nalar kritis dan semangat kebangsaan. Saya mendorong GM FKPPI untuk terus menyelenggarakan diskusi-diskusi konstruktif serta aktif memberikan informasi yang akurat di tengah maraknya penyebaran disinformasi, fitnah, dan kebencian yang mengancam kohesi sosial bangsa,” ujar Dito dalam sambutan penutupnya.
Diskusi panel menghadirkan dua tokoh pemikir kebijakan pertahanan dan transformasi sosial: Dr. Rasminto, (Direktur Eksekutif Human Studies Institute) dan Prof. Dr. Abdul Haris Fatgehipon, M.Si., (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta sekaligus pakar resolusi konflik dan relasi sipil-militer).
Acara dibuka secara resmi oleh Ketua Umum PP GM FKPPI, Shandy Mandela Simanjuntak, S.H., M.H. Dalam pidatonya, ia menyampaikan keresahan generasi muda atas arah baru UU TNI yang dinilai sarat potensi ketimpangan kekuasaan antara sipil dan militer.
“Kami berasal dari keluarga besar pejuang. Darah TNI-Polri mengalir di tubuh kami. Tapi justru karena itulah kami paham bahwa kekuatan sejati militer terletak pada pengabdian, bukan dominasi. UU TNI yang baru disahkan harus melibatkan rakyat, terutama generasi muda yang akan mewarisi dampaknya,” ujar Shandy.
GM FKPPI dibentuk sebagai sayap pemuda dari Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). GM FKPPI menaungi anak-anak dari purnawirawan TNI dan Polri yang sejak lahir tumbuh dalam kultur kedisiplinan, pengabdian, dan cinta tanah air.
Organisasi ini berakar kuat pada nasionalisme organik—bukan hasil didikan akademis semata, melainkan pengalaman langsung dalam keluarga yang berjuang mempertahankan NKRI.
Dalam konteks itu, posisi GM FKPPI terhadap isu pertahanan nasional selalu dibangun atas prinsip menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kedaulatan rakyat. Mereka menolak militerisme, tetapi juga tak anti-militer. Mereka memahami peran penting TNI sebagai garda terdepan pertahanan, namun dengan koridor demokrasi yang sehat.
UU TNI yang Baru Disahkan dalam Sorotan Kritis
Paparan pertama disampaikan oleh Dr. Rasminto, yang mengurai urgensi yuridis dan institusional dari UU TNI yang baru disahkan. Ia menekankan bahwa perubahan konstelasi keamanan global dan kawasan Asia-Pasifik menuntut adaptasi struktur TNI yang lebih responsif dan legal formal.
“Pembentukan struktur seperti Kogabwilhan dan Koopsus belum sepenuhnya diakomodasi dalam UU TNI sebelumnya. Revisi ini dibutuhkan agar struktur organisasi dan operasi TNI memiliki dasar hukum yang kuat dan relevan terhadap tantangan mutakhir, termasuk serangan siber dan penanggulangan bencana,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan kesejahteraan prajurit dan memperkuat sinergi antara TNI, Polri, dan pemerintah sipil.
“Kalau kita bicara pengabdian militer, maka kita juga bicara tentang keadilan sosial dan perlindungan bagi mereka yang berada di garis depan,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Abdul Haris Fatgehipon mengangkat dimensi historis pembentukan TNI oleh kaum muda. Ia menekankan bahwa sejak awal, keberadaan TNI adalah hasil dari kesadaran generasi muda tentang pentingnya pertahanan yang merdeka dan berbasis kedaulatan rakyat.
“Kita harus ingat bahwa kekuatan TNI di masa revolusi bukan sekadar senjata, tapi integritas dan loyalitas terhadap rakyat. UU TNI yang baru disahkan harus menjaga semangat itu, bukan menjauhkannya,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kontrol sipil terhadap militer di tengah tantangan kontemporer.
“Patriotisme bukan berarti diam. Justru ketika kita bicara, berdiskusi, dan mengkritisi demi republik, itulah bentuk tertinggi cinta tanah air,” tandasnya.
Sesi tanya jawab berlangsung dinamis. Beberapa peserta menyuarakan kekhawatiran bahwa perluasan peran TNI dalam bidang non-militer dapat menciptakan ruang abu-abu antara fungsi sipil dan militer. Di sisi lain, muncul harapan agar TNI lebih siap menghadapi tantangan baru seperti siber, bencana iklim, dan ancaman non-tradisional lainnya, tentu dalam bingkai demokrasi dan supremasi sipil.
Forum ini ditutup dengan penyerahan plakat kepada para narasumber, disusul ramah tamah antar peserta. Namun yang lebih penting dari semua prosesi itu adalah benih kesadaran yang tumbuh di antara generasi muda tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam menentukan arah strategis bangsa.
“Kami bukan anti TNI. Justru karena kami bagian dari keluarga besar TNI, kami ingin militer kita dihormati karena pengabdiannya, bukan ditakuti karena kekuasaannya,” pungkas Shandy.
BERITA TERKAIT: