Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Bambang Kristiono mengatakan perubahan UU ITE untuk memenuhi kebutuhan perlindungan hukum di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dengan lebih baik. Artinya, membuat ketentuan hukum terhadap bidang teknologi informasi yang terus berubah dengan cepat tidaklah mudah.
"Karakteristik aktivitas teknologi informasi di dunia siber yang bersifat lintas batas yang tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial negara,” kata Bambang Kristiyanto, Minggu (11/6).
Menurut Bambang, perlu dilakukan sinkronisasi antara RUU ITE dengan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (UU KUHP). Tujuannya, untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul akibat aktivitas di dunia siber.
Bagi Bambang, meskipun aktivitas dunia siber sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun masih tetap melibatkan masyarakat yang hidup di dunia nyata.
Bambang menambahkan bahwa pelaksanaan hak-hak baik di dunia nyata maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia siber sangat berpotensi mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.
"Apabila tidak terdapat harmoni antara hukum dan teknologi informasi,” ujarnya.
Menurutnya, implementasi UU ITE dalam menghadapi sejumlah persoalan perlu diatasi. Salah satu permasalahan yang muncul adalah keberatan masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan atau penghinaan melalui internet.
Catatan Bambang, UU ITE masih dianggap belum mampu menyelesaikan masalah yang ada, sehingga dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk memberikan pedoman terhadap beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Setelah SKB ini muncul justru memicu kontroversi di masyarakat.
Bambang menekankan bahwa penerapan pasal-pasal yang dianggap bermasalah tidak hanya memicu perdebatan di masyarakat terkait dengan aspek keadilannya.
Pengamatan Bambang, yang terjadi justru keprihatinan pemerintah terhadap penerapan pasal yang dinilai tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya aturan tersebut.
“Penggunaan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya pasal-pasal tersebut dianggap dapat menjaring subjek-subjek yang seharusnya tidak menjadi sasaran dari pengaturan Undang-Undang ini,” imbuhnya.
BERITA TERKAIT: