"Jadi nanti ketika kampanye, pasti metode yang dilakukan semua pasangan calon adalah mendatangi komunitas-komunitas warga di Jakarta untuk berdialog. Kesempatan ini harus dimanfaatkan komunitas warga untuk menyodorkan kontrak politik yang poin-poinnya sesuai kesepakatan warga," ujar anggota DPD RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta, Fahira Idris, Senin (26/9).
Tetapi ada catatan pentingnya. Kontrak politik tidak hanya sehelai kertas yang tidak bermakna, karena itu Fahira menyarankan warga juga membuat poin-poin kontrak politik di baliho besar untuk kemudian ditandatangani pasangan calon dan diletakkan di tempat-tempat strategis, dan dipublikasikan secara massif lewat berbagai platform saluran komunikasi, terutama media massa dan media sosial.
"Ini untuk memberi efek psikologis. Mungkin kalau cuma sehelai kertas daya ingat kita tidak terlalu kuat. Kalau lewat cara-cara 'tidak biasa' seperti ini, nanti setelah terpilih, mereka akan 'dihantui' untuk segera merealisasikan kontrak politik yang mereka sepakati," terang Fahira.
"Jika perlu, setelah terpilih, isi kontrak politik dibuatkan prasasti. Pasangan calon terpilih diminta datang dan menandatangani sekali lagi kontrak politik yang sudah mereka setujui saat kampanye. Jika janjinya menata permukiman kumuh, ya harus ditata, bukan digusur," lanjutnya.
Fahira berharap, Pilkada DKI Jakarta menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia bahwa kelompok pemilih punya kuasa paling besar menentukan siapa calon pemimpin yang benar-benar sesuai kehendak rakyat, bukan partai politik maupun tokoh-tokohnya.
"Saat dicalonkan kemarin, semua pasangan calon sudah menandatangani kontrak politik dengan parpol pengusung. Kini saatnya, warga Jakarta sebagai pemegang kuasa tertinggi menyodorkan kontrak politik kepada semua pasangan calon. Tunjukkan warga punya kuasa, karena itu esensi demokrasi," jelas Fahira.
[ald]
BERITA TERKAIT: