"Petani tembakau lebih banyak jadi korban daripada diuntungkan. Fakta empiriknya, yang selama ini dipinggirkan dan paling buruk haknya adalah para buruh rokok dan petani tembakau. Ini data statistik yang bicara," jelas Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam diskusi "Harga Rokok Naik untuk Siapa" di Cikini, Jakarta, Sabtu (27/8).
Lalu mengapa YLKI menyerukan anti rokok dan menyetujui kenaikan harga rokok? Menurut Tulus, yang membuat petani tembakau dan buruh rokok itu terpuruk bukanlah kebijakan level lokal atau nasional dan juga bukan kenaikan tarif cukai.
"Yang merusak adalah impor tembakau. Bukan aturan level lokal atau nasional tetapi dominannya impor yang membuat rusak. Produksi rokok nasional 299 miliar batang per tahun tapi 60 persen tembakau impor," jelasnya.
Di saat produksi rokok terus meingkat, ada industri-industri yang berguguran disebabkan kalah bersaing dengan industri rokok besar yang bisa bersponsor dan beriklan dengan dana besar.
"Lonceng kematian buruh rokok adalah karena konversi dari manusia ke mesin. Selain itu impor tembakau. Tragisnya, keuntungannya diperoleh pihak luar negeri . datangkan tembakau impor, diporduksi di sini, keuntungan di ekspor ke luar, lalu penyakitnya ditinggal di sini," ucap Tulus.
[ald]
BERITA TERKAIT: