Intoleransi Di Purbayan, Momentum Rekonstruksi Toleransi Di Jogja

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 19 Desember 2018, 16:20 WIB
Intoleransi Di Purbayan, Momentum Rekonstruksi Toleransi Di Jogja
Ilustrasi/Net
rmol news logo Kasus intoleransi yang terjadi di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dalam bentuk penolakan salib, doa-doa upacara keagamaan, dan ibadah mendoakan arwah terkait meninggalnya Albertus Slamet Sugihardi menyita perhatian publik.

Direktur Riset Setara Institute, Hailili menyayangkan terjadinya kasus tersebut yang mengindikasikan melemahnya basis sosial toleransi di Yogyakarta.

"Hal itu juga menegaskan paradoks besar bagi Yogyakarta yang mendaku sebagai 'City of Tolerance'," kata Hailili, Rabu (19/12).

Menurut dia, dalam perspektif kebinnekaan dan kesetaraan hak konstitusional untuk memeluk agama secara merdeka, tindakan kelompok mayoritas tersebut tidak dapat dibenarkan.

Lalu, intoleransi yang terjadi seputar meninggalnya Albertus Slamet menyiratkan beberapa sisi minus yakni pengerasan konservatisme keagamaan sudah menjangkau lapis sosial terbawah.

Selain itu, penguatan simbolisme keagamaan tidak hanya berdampak pada penebalan politik identitas tapi juga penguatan kecemasan, ketakutan, dan keterancaman atas simbol-simbol identitas yang berbeda (liyan).

Sisi minus lainnya, kata Hailili, mayoritarianisme hampir selalu bekerja melalui penundukan kelompok minoritas dengan logika kerukunan.

Pernyataan bermaterai yang kemudian dibuat oleh keluarga Slamet, baik dalam simulasi permintaan warga yang mayoritas maupun keikhlasan keluarga yang minoritas, merupakan penundukan kepada yang secara kuantitatif sedikit dan secara sosio-politis lemah menggunakan logika kerukunan.

Kemudian, Kota Toleran 2018 yang dirilis Setara Institute beberapa waktu yang lalu memang masih mencatat masalah besar dalam praktik dan promosi toleransi di Yogyakarta, karenanya meskipun tidak lagi berada di bottom ten, Yogyakarta masih berada di klaster orange dengan skor toleransi 4,883 dalam skala 1-7.

Data studi indexing dimaksud menunjukkan masih sangat rendahnya toleransi di Yogyakarta pada tiga dari delapan indikator, yaitu rencana pembangunan, tindakan pemerintah, dan inklusi sosial keagamaan.

Kasus Purbayan, tambah Hailili, menegaskan buruknya inklusi sosial keagamaan. Hal itu menuntut tindakan pemerintah yang lebih inklusif dan membelajarkan, serta perencanaan program-program pembangunan sosial yang lebih inklusif dan kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.

Dalam konteks itu, Setara Institute meminta Sultan Hamengkubuwono X untuk mengoptimalkan otoritas sosio-politik dan sosio-kulturalnya untuk mengambil peran besar dalam praktik dan promosi toleransi dengan menjamin kesetaraan hak seluruh warga, baik yang banyak maupun yang sedikit.

Selain itu, Setara Institute juga  menuntut agar otoritas bidang pendidikan di kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan ini mengambil prakarsa yang lebih untuk membangun toleransi dan memperkuat kebinnekaan dalam keseharian hidup warganya serta mengonkretkan Pancasila sebagai basis nilai dan sistem etika kolektif.

Setara Instutute juga mengimbau optimalisasi peran para tokoh agama untuk mengarusutamakan moderasi paham keagamaan dan membangun tata sosial yang inklusif dan kohesi sosial yang menghimpun seluruh perbedaan identitas untuk dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

"Kasus intoleransi di Purbayan harus dijadikan pintu masuk untuk membangun kembali toleransi di Jogja," demikian Hailili. [lov]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA