Sidang Lanjutan Uji Materi Perppu 49/1960 di MK, Pemohon: Kita Hanya Mencari Kebenaran

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Sabtu, 31 Mei 2025, 06:42 WIB
Sidang Lanjutan Uji Materi Perppu 49/1960 di MK, Pemohon: Kita Hanya Mencari Kebenaran
Dr. Maruarar Siahaan/Istimewa
rmol news logo Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) kembali menggelar sidang lanjutan Judicial Review (JR) atau uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Perppu PUPN) yang diajukan Andri Tedjadharma selaku pemegang saham Bank Centris Internasional (BCI).

Sidang keempat Perkara Nomor 128/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR, pihak terkait PUPN, serta ahli dan saksi Pemohon (IV). Namun sidang yang menjadi salah satu tahapan penting dalam proses Judicial Review terhadap keberlakuan Perppu yang menurut Pemohon sudah tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai konstitusi, pihak DPR absen. 

Andri Tedjadharma menyampaikan, permohonan uji materi ini bukan untuk mencari kesalahan atau menyalahkan pihak tertentu, melainkan demi menemukan kebenaran yang sejati dan objektif.

"Saya, Andri Tedjadharma, sebagai Pemohon uji materi menyatakan bahwa prinsip dasar saya adalah tidak mencari kesalahan dan tidak menyalahkan siapapun. Saya hanya mencari dan mengemukakan kebenaran yang 'an sich' benar, yang diakui semua pihak berdasarkan dasar dan bukti yang tidak terbantahkan," ujar Andri, melalui keterangannya, Jumat 30 Mei 2025.

Lebih lanjut, Andri menekankan bahwa proses ini adalah bentuk kecintaannya terhadap bangsa dan negara, bukan ajang pertentangan. 

"Tidak ada yang menjadi lawan, semuanya adalah kawan sebangsa setanah air. Jadi tidak ada yang menang dan kalah. Semuanya adalah pemenang karena telah memenangkan kebenaran itu sendiri," lanjutnya.

Andri juga menyinggung bahwa selama 27 tahun ia merasa dizalimi oleh implementasi peraturan yang menurutnya tidak selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, uji materi ini diharapkan bisa menjadi jalan konstitusional untuk memperbaiki sistem hukum yang ada.

"Kalau kita sudah berupaya maksimal dan tidak juga menemukan jalan keluar, maka bisa jadi bukan orang atau lembaga yang menzolimi, tapi undang-undang yang dipakai memang bermasalah," papar Andri.

Dirinya yakin bahwa para Hakim Konstitusi akan menilai perkara ini dengan hati nurani yang bersih demi keadilan dan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Saya yakin dan percaya bahwa Yang Mulia para Hakim akan berpikir jernih karena datang dari hati yang bersih dan mengerti perasaan orang yang dizalimi selama 27 tahun," pungkasnya.

Due Process of Law

Pada kesempatan tersebut, Dr. Maruarar Siahaan selaku saksi ahli yang dihadirkan Pemohon menyampaikan bahwa kepastian hukum adalah kepastian yang adil.  Ia menekankan perkara konkret yang dihadapi Pemohon atas  munculnya utang merupakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang ada pada persidangan perkara Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. 

Dia menjelaskan bahwa hasil audit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh BPK yang dituangkan dalam kronologi Perkara Nomor 350 dikatakan adanya dua rekening bank atas nama Bank Centris Internasional (BCI) dengan nomor rekening yang berbeda. Singkatnya, dana BLBI tidak disalurkan ke BCI dari Bank Indonesia (BI)dengan nomor rekening yang sebenarnya.

“Dari persoalan ini dapat dilihat bahwa tidak boleh ada perampasan tanpa due process of law. Artinya, memberikan kesempatan untuk mengemukakan dasar hukum dan memberikan bukti serta proses ini harus dilakukan secara adil sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28H UUD 1945,” jelas  Maruarar.

Saksi lain yang juga dihadirkan Pemohon adalah Nindyo Pramono. Dia menyampaikan bahwa jika terdapat seorang pemegang saham suatu Perseroan Terbatas Perbankan yang tidak pernah menandatangani PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note Issuance Agreement), APU (Akta Pengakuan Utang), maupun Personal Guarantee, kemudian secara sepihak ditetapkan sebagai penanggung utang oleh PUPN, maka penetapan tersebut tid?? t??at menurut hukum.

"Maka jika pemegang saham tersebut t?t?? ?kan dimintai pertanggungjawaban untuk membayar utang, denda, dan bunga, maka kepada pemegang saham harus dilakukan gugatan PMH terlebih dahulu melalui pengadilan," terang Nindyo. 

"Namun jika seorang pemegang saham PT tidak terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan bersam? dengan PT yang diwakili direksi atau memanfaatkan PT untuk kepentingannya sendiri; tidak pernah menandatangani PKPS, MSAA, MRNIA, APU dan personal guarantee kepada Pemerintah melalui BPPN, maka kepada pemegang saham tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sampai dengan harta pribadinya, berdasarkan doktrin piercing the corporate veil atas kerugian Pemerintah dan tidak dapat ditetapkan secara sepihak sebagai penanggung utang,” imbuhnya.

Sebelumnya, Pemohon merasa penetapan Surat Keputusan PUPN Cabang DKI Jakarta terkait jumlah Piutang Negara atas nama Andri Tedjadharma/Bank Centris Internasional sebesar Rp897,6 miliar, ditambah biaya administrasi sebesar 1 persen atau 10 persen dari nilai penyerahan piutang, tergantung waktu pembayarannya. 

Penetapan ini juga mengacu pada Surat Menteri Keuangan RI, yang menyerahkan pengelolaan piutang kepada PUPN berdasarkan temuan BPK RI dalam laporan keuangan tahun 2002-2003.

Pemohon berpendapat bahwa penyerahan pengelolaan piutang tersebut cacat hukum, karena tidak memenuhi syarat kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. 

Pemohon juga menyoroti kewenangan PUPN yang terlalu luas, seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3), yang menyatakan bahwa PUPN dapat "mengurus piutang-piutang negara tidak harus menunggu penyerahannya." 

Kewenangan ini, menurut Pemohon, telah menyebabkan tindakan sewenang-wenang oleh PUPN, yang menetapkan besaran piutang dan penanggung utang tanpa dasar hukum yang jelas.

Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan penetapan sebagai Penanggung Utang serta penyitaan harta miliknya tanpa melalui prosedur hukum yang semestinya (due process of law).

Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional akibat dari kewenangan yang tidak terbatas yang dimiliki PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) khususnya frasa mengurus piutang negara dengan tidak usah menunggu penyerahannya apabila ada alasan cukup kuat. Bahwa piutang tersebut harus segera diurus. Artinya frasa ini PUPN mengesampingkan piutang negara yang besar menurut hukum.

Dalam provisi petitum, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan PUPN menghentikan dan menunda penyitaan serta pelelangan terhadap seluruh harta milik Pemohon dan istrinya. 

Pemohon juga memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN bertentangan dengan UUD 1945, serta memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk undang-undang baru tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang sesuai dengan UUD 1945.

Lebih lanjut, Pemohon meminta agar seluruh tindakan PUPN, termasuk penetapan piutang negara, penyitaan, surat paksa, dan eksekusi lelang, dinyatakan tidak sah dan tidak dapat dilanjutkan setelah putusan ini dibacakan. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA