Hal itu diungkapkan langsung oleh Kasatgas Direktorat Monitoring KPK, Kunto Ariawan saat diskusi media bertajuk "Modus Korupsi Sektor Pertanahan" yang diselenggarakan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu sore (29/3).
Kunto mengatakan, pihaknya mengambil sampel di Jabodetabek, yakni sebanyak 12 kantor pertanahan. Dari penelusuran itu, KPK menemukan banyak persoalan, salah satunya soal ketepatan waktu.
"Mengenai ketepatan waktu, hampir semua, mungkin semua kantor di Jabodetabek itu ketepatan waktunya tidak ada yang tepat. Rata-rata ketidaktepatan waktu itunya sekitar tiga bulan, dibandingkan dengan waktu yang seharusnya dapat diberikan ketika kita mengakses layanan pertanahan," ujar Kunto.
Kunto menerangkan, pelayanan dalam pengurusan sertifikat tanah terjadi perbedaan waktu. Di mana, ketika mengurus melalui PPAT, bisa selesai kurang dari tiga bulan. Sedangkan ketika mengurus sendiri, bisa selesai di atas tiga bulan.
"Jadi ada perbedaan kepengurusan. Sehingga kita jadi malas melakukan pengurusan sendiri. Itu berdasarkan survei kami, 65 persen itu ngurusnya lewat notaris. Bahkan 7 dari 12 kantah yang kami survei itu, 90 persen layanan pertanahannya itu menggunakan notaris. Di Jakarta Utara itu bahkan 100 persen pengurusan layanan pertanahan untuk balik nama itu bisa sampai dengan 100 persen," kata Kunto
Selanjutnya kata Kunto, persoalan yang ditemukan KPK adalah terkait biaya. Padahal kata Kunto, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah memiliki aturan biaya. Akan tetapi, ditemukan adanya biaya-biaya tak terduga ketika melakukan pengurusan melalui jasa PPAT.
"Tetapi kalau kita menggunakan jasa notaris itu kan, pembiayaan bisa bengkak. Misalnya untuk cek sertifikat saja kadang diminta sampai dengan Rp 250 ribu. Ketidakpastian biaya ini lah yang menyebabkan layanan di BPN kurang memenuhi aspek transparan," terang Kunto.
Kemudian persoalan lain yang ditemukan, yaitu terkait dengan prosedur atau kelengkapan dokumen. Di mana, di setiap kantor pertanahan memiliki persyaratan dokumen yang berbeda-beda ketika melakukan pengurusan sertifikat tanah.
"Tapi masalahnya tambahan dokumen ini kadang tidak diinformasikan di awal. Sehingga masyarakat itu sering, (berprasangka) 'kayanya dipersulit nih, dokumen saya tidak segera diproses'. Dan mengkomunikasikan kembali kepada masyarakat juga sepertinya kurang baik," terang Kunto.
Kemudian kata Kunto, temuan KPK lainnya adalah, adanya dokumen yang sudah selesai diproses, akan tetapi belum diserahkan kepada masyarakat. Terkait itu, KPK menemukan alasan yang berbeda-beda
"Bisa jadi karena memang masyarakat itu tidak tahu kalau dokumennya selesai. Karena tidak ada pemberitahuan dari BPN. Sehingga dia tidak mengambil berkas tadi di BPN. Tapi bisa jadi juga yang kedua, ada permasalahan masyarakat tersebut belum membayar jasa ke notaris, sehingga notaris enggan untuk mengambil dokumen tersebut," pungkas Kunto.
BERITA TERKAIT: