"Pelapor atau saksi yang merupakan whistleblower adalah salah satu pendukung penting dalam penegakan hukum pidana, khususnya dalam kasus-kasus kejahatan terorganisir. Namun ternyata ancaman terhadap mereka masih tetap terjadi," jelas Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justices Reform (ICJR) Supriyadi Widodo dalam keterangannya, Selasa (22/8).
Menurutnya, ancaman yang ditujukan bagi para pelapor dan saksi khususnya kasus korupsi tidak hanya berupa ancaman fisik. Ada pula ancaman hukum melalui pelaporan balik, penyerangan secara psikologis dan administratif. Supriyadi mencontohkan kasus Stanly Ering sebagai whistleblower yang terancam penjara karena mengadukan dugaan korupsi di Universitas Negeri Manado ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2011 lalu. Di mana, Stanly membuka kasus korupsi yang dilakukan Rektor Unima Philotus, yang mana pihak terlapor kemudian melaporkan balik dirinya ke Polda Sulut pada 17 Februari 2011 dan kemudian didakwa dengan pasal 311 KUHP. Pada 8 Maret 2012, Stanley diputus bersalah dan 23 Juli 2013 hakim kasasi tetap menghukumnya selama lima bulan penjara.
"Saat ini, dia sedang menunggu perintah eksekusi penjara dan kembali dituduh melakukan pencemaran nama baik berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE," jelas Supriyadi.
Kemudian kasus yang dialami Daud Ndakularak, seorang pelapor korupsi asal Waingapu, Nusa Tenggara Timur. Sejak 2010, Daud menjadi terlindung sebagai pelapor tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dia melaporkan penyelewengan dalam pengelolaan dana kas APBD Kabupaten Sumba Timur tahun anggaran 2005-2006 yang proses penyidikannya telah ditangani Polres Sumba Timur dan telah diputus oleh Pengadilan Tipikor Kupang. Namun, tindak pidana korupsi yang dilaporkannya justru membuat Daud dijadikan tersangka, yang mana saat ini dia sudah ditahan di Kupang sejak 14 Agustus 2017.
"Situasi ini menunjukkan kepada publik bahwa menjadi whistleblower atau pelapor di Indonesia dapat merugikan pribadi dan keluarga. Karena sangat rentan atas pembalasan dan minim perlindungan negara," ujar Supriyadi.
ICJR khawatir kasus-kasus seperti itu nantinya akan menyurutkan langkah para pelapor kasus korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, ICJR mendorong agar aparat hukum menghentikan serangan balik kepada pelapor-pelapor korupsi yang beritikad baik. Jaksa Agung juga perlu mencermati proses penuntutan terhadap mereka.
"ICJR juga meminta agar LPSK melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan dan memonitor pengadilan yang memeriksa perkara para whistleblower. Termasuk melakukan pengkajian atas seluruh pelapor yang pernah dilindungi untuk melihat adakah serangan balik yang didapatkan atas laporan yang mereka ungkap," demikian Supriyadi.
[wah]
BERITA TERKAIT: