Situasi ini menegaskan bahwa persoalan tidak berhenti pada individu pelaku, tetapi berakar pada ekosistem politik elektoral yang permisif terhadap praktik jual beli suara. Pemilihan yang mahal dan transaksional menciptakan beban politik sejak awal masa jabatan, sehingga kewenangan publik berisiko diperlakukan sebagai instrumen pengembalian biaya politik. Dalam konteks inilah pendidikan pemilih menjadi agenda reformasi paling mendasar. Pemilih yang menormalisasi transaksi suara berpotensi melahirkan kepemimpinan yang menormalisasi transaksi jabatan seolah seperti “ jual beli putus antara pemimpin dan rakyatnya”
Dengan demikian, kasus OTT Bupati Lampung Tengah tidak dapat diposisikan sebagai anomali, melainkan bagian dari pola struktural yang bersifat nasional dalam praktik pemilu pada pemerintahan daerah. Usia jabatan yang relatif singkat, namun telah dirusak dengan indikasi penyalahgunaan kewenangan yang sistematis, melibatkan keluarga terdekat yang mencerminkan adanya orientasi kekuasaan yang telah dibentuk sejak awal. Secara konseptual, hal ini menunjukkan adanya relasi kausal antara tingginya biaya politik Pilkada dan kecenderungan korupsi sebagai mekanisme pengembalian modal politik.
Kekecewaan terhadap kepemimpinan tersebut tidak hanya datang dari publik luar, tetapi juga dari lingkaran internal pemerintahan sendiri. Fakta bahwa sebagian besar orang dalam terlihat kecewa menunjukkan adanya keretakan legitimasi sejak dini, sekaligus memperkuat dugaan bahwa praktik penyalahgunaan kewenangan telah berlangsung secara sadar, diketahui dan terstruktur.
OTT Lampung Tengah karenanya tidak tepat dibaca sebagai perkara suap biasa. Ia merupakan potret pemerintahan daerah yang terperangkap dalam jejaring nepotisme dan kartel politik. Kekuasaan bertransformasi menjadi instrumen pemungutan rente, proyek proyek publik yang bernilai tinggi direduksi menjadi komoditas bagi keluarga dan kroni kerabat terdekat maupun kelompok tertentu, bahkan muncul disini keterlibtaan “peran perantara politik dalam distribusi proyek yang memanfaatkan pelaku dari oknum DPRD terbukti dengan 5 orang tersangka yang ditetapkan oleh KPK.
Dalam konfigurasi semacam ini, pejabat publik berisiko bergeser dari pelayan kepentingan umum menjadi pengelola kepentingan terbatas, dampaknya tidak hanya berupa kerugian keuangan negara, tetapi juga kerugian sosial jangka panjang berupa degradasi layanan publik, erosi kepercayaan masyarakat, dan kemunduran kualitas demokrasi lokal.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa yang dihadapi dari kejadian ini bukan sekadar penyimpangan administratif, melainkan distorsi serius terhadap mandat rakyat. Korupsi kepala daerah kerap berakar pada apa yang dikenal sebagai“komitmen biaya kampanye”dan dirusak oleh kendali “orang- orang terdekat yang mengusungnya” yang pada praktiknya menggeser orientasi kerja kepala daerah., alih-alih berfokus pada kepentingan publik, kebijakan dan proyek rentan diarahkan untuk memenuhi ekspektasi tim pendukung, jejaring bisnis, dan para perantara kepentingan alias bayar jasa atas terpilihnya menjadi Bupati.
OTT ini juga semestinya memberikan pelajaran penting bagi masyarakat luas bahwa politik uang hampir selalu bermuara pada tingginya biaya publik. Ketika kepemimpinan lahir dari transaksi, korupsi kerap dipersepsikan sebagai jalan pintas utama guna menutup beban biaya politik. Satu suara yang ditukar dengan imbalan sesaat berpotensi menghasilkan kerusakan tata kelola pemerintahan dalam jangka panjang, sekaligus memperlemah hak-hak sosial masyarakat dan kualitas demokrasi lokal serta menimbulkan kerugian yang lebih besar .
Oleh karena itu, kasus OTT Bupati Lampung Tengah harus menjadi peringatan keras, bukan hanya bagi pejabat publik agar tidak menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga bagi masyarakat untuk menyadari bahwa kualitas demokrasi tidak cukup diukur dari terlaksananya pemilu semata, melainkan dari keberanian bersama menolak politik uang sejak masa kampanye dan bahkan hari hari menuju pencoblosan di bilik suara.
Dari perspektif hukum pidana korupsi, perbuatan yang terungkap dalam OTT ini patut dibaca dalam kerangka penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri atau orang lain, Suap maupun Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai kejahatan jabatan. Dalam konfigurasi semacam ini, korupsi tidak berdiri sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai kejahatan sistemik (systemic corruption) yang memenuhi unsur mens rea sejak awal masa kekuasaan dan dijalankan dengan pelaku turut serta secara berkelanjutan melalui jaringan kepentingan yang sama diantara mereka yang terlibat.
Dengan demikian, penegakan hukum tidak cukup berhenti pada penindakan individual, melainkan harus diarahkan pada pembongkaran struktur kejahatan, siapapun yang terlibat dalam perkara ini termasuk lakukan strategi follow the money, yaitu menelusuri jejak dana atau aset hasil tindak pidana dan pemutusan mata rantai biaya utang politik yang melahirkan korupsi. Tanpa koreksi serius terhadap tata kelola politik dan kesadaran pemilih, praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan hanya akan berulang dengan wajah dan aktor yang berbeda, sementara kerusakan publik terus diwariskan dari satu periode kekuasaan ke periode berikutnya.
Azmi SyahputraDosen Hukum Pidana Universitas Trisakti.
BERITA TERKAIT: