Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi Teheran untuk menekan Maroko, sekutu utama Amerika Serikat di kawasan, sekaligus memperluas jangkauan militernya ke kawasan strategis dekat Selat Gibraltar.
Dalam sebuah analisis yang dipublikasikan oleh Foundation for Defense of Democracies (FDD), analis riset Ahmad Sharawi dan Mariam Wahba mengungkapkan bahwa Iran telah melatih pejuang Polisario melalui Hizbullah, proksi utamanya di Lebanon.
“Sekarang, logika di balik ancaman Iran untuk menutup Selat Gibraltar mulai terlihat jelas. Iran melatih pejuang dari Front Polisario yang berbasis di Aljazair, sebuah kelompok militan yang berjuang untuk kemerdekaan Sahara Barat dari Maroko,” tulis keduanya, dikutip Sabtu 19 April 2025.
Menurut mereka, pelatihan tersebut dilakukan di Suriah oleh Hizbullah yang selama ini dikenal sebagai pelatih pasukan proksi Iran di berbagai kawasan konflik.
Mereka menyebut keberadaan pejuang Polisario di Suriah, yang berperang untuk rezim Bashar al-Assad, sebagai bukti bahwa kelompok ini semakin berfungsi sebagai perpanjangan tangan Iran.
Keterlibatan Iran dengan Polisario bukanlah hal baru. Pada tahun 2018, Maroko menuduh Iran memasok senjata ke Polisario melalui Hizbullah.
Menteri Luar Negeri Maroko Nasser Bourita kala itu mengatakan Hizbullah mengirim rudal SAM9, SAM11, dan Strela ke Polisario dengan persetujuan kedutaan besar Iran di Aljazair.
Dugaan ini diperkuat pada tahun 2022, ketika perwakilan Polisario mengklaim bahwa Iran akan mengirimkan drone kamikaze ke kelompok tersebut.
“Beberapa minggu kemudian, perwakilan Maroko untuk PBB menunjukkan gambar yang mengonfirmasi bahwa Iran dan Hizbullah memasok Polisario dengan senjata canggih, termasuk pesawat nirawak Iran,” ungkap laporan FDD.
Serangan kelompok tersebut juga meningkat secara signifikan. Pada November 2024, Polisario meluncurkan roket ke arah sebuah festival nasional Maroko. Media setempat melaporkan bahwa “serangan diluncurkan dari dalam wilayah Aljazair.”
Analis juga menyoroti kedekatan Front Polisario dengan kelompok ekstremis di kawasan Sahel.
“Adnan Abu al-Walid al-Sahrawi, mantan emir ISIS di Sahel, pernah memegang jabatan senior di Polisario,” tulis laporan itu. Namun ia dibunuh pasukan Perancis pada 2021 di Mali.
Laporan tersebut juga menyinggung dugaan pelanggaran HAM di kamp pengungsi Tindouf, Aljazair, tempat kelompok tersebut bermarkas.
“Para pemimpin Polisario telah menghalangi sekelompok anak-anak menyelesaikan pendidikan mereka dan malah memaksa mereka mengikuti pelatihan militer dan aksi bersenjata,” kata sebuah LSM kepada Dewan HAM PBB.
Mengingat peningkatan ancaman tersebut, para analis mendesak agar Amerika Serikat mengambil sikap tegas.
“Amerika Serikat harus mempertimbangkan untuk menetapkan Front Polisario sebagai organisasi teroris asing,” tulis mereka.
Mereka juga menyarankan agar Washington segera membuka konsulat AS di Dakhla, Sahara Barat, guna memperkuat komitmen terhadap kedaulatan Maroko.
BERITA TERKAIT: