Mengutip laporan
Associated Press, Selasa (26/9), lusinan masyarakat adat yang menggunakan hiasan kepala bulu kuning tradisional dan cat tubuh di badannya terlihat menari, bernyanyi, melompat-lompat di depan kamera, hingga meneteskan air mata, setelah mendengar keputusan tersebut.
“Saya gemetar. Butuh beberapa saat, tapi kami berhasil. Perasaan yang sangat indah dan kuat ini. Tidak diragukan lagi, nenek moyang kami hadir,” kata salah satu warga dari kelompok Masyarakat Adat Xokleng-Laklano, Jessica Nghe Mum Pripra, di ibu kota Brasilia.
Keputusan itu diambil Mahkamah Agung Brasil setelah mereka menolak gugatan yang diajukan oleh negara bagian Santa Catarina dan didukung para petani, yang berupaya menghalangi kelompok masyarakat adat untuk memperluas wilayah klaim mereka.
Menurut negara bagian itu, tanggal diundangkannya Konstitusi Brasil 5 Oktober 1988, harus menjadi batas waktu ketika masyarakat adat menduduki tanah secara fisik atau secara hukum berjuang untuk menduduki kembali wilayah tersebut.
Sembilan dari 11 hakim di pengadilan tinggi kemudian menolak argumen tersebut dan memilih untuk mendukung kelompok masyarakat adat yang mempunyai dampak luas terhadap wilayah-wilayah di seluruh negeri.
“Wilayah yang ditempati oleh masyarakat adat dan wilayah yang terkait dengan nenek moyang dan tradisi masyarakat adat, memiliki perlindungan konstitusional, meskipun tidak diberi batas wilayah,” kata Hakim Luiz Fux, yang memberikan suara yang menghasilkan mayoritas.
Kelompok hak asasi manusia adat berargumentasi bahwa konsep batas waktu tersebut tidak adil, membahayakan status ratusan wilayah Adat Brasil, dan tidak memperhitungkan pengusiran dan pemindahan paksa penduduk asli, khususnya selama dua dekade kediktatoran militer Brasil.
Penyelidik khusus PBB untuk hak-hak masyarakat adat, Francisco Cali Tzay, pada 2021 lalu telah mendesak Mahkamah Agung Brasil untuk terus melindungi tanah adat pribumi di negara itu, daripada berpihak kepada kepentingan bisnis.
“Berdasarkan konstitusi, masyarakat adat berhak atas kepemilikan permanen atas tanah yang secara tradisional mereka tempati,” kata Tzay dalam pernyataannya.
Menurutnya, keputusan yang memihak kepentingan bisnis dapat melegitimasi kekerasan terhadap masyarakat adat dan mengobarkan konflik di hutan hujan Amazon dan wilayah lainnya.
Kemenangan masyarakat adat ini tidak terlepas dari peran Presiden Luiz Inacio Lula da Silva yang menjabat pada Januari lalu. Ia telah memberikan perhatian yang jauh lebih besar terhadap tuntutan masyarakat adat dibandingkan pendahulunya, Jair Bolsonaro.
Lula diketahui telah membentuk Kementerian Masyarakat Adat pertama di negara tersebut, yang dipimpin oleh perempuan adat Sonia Guajajara, dan menetapkan batas delapan wilayah adat baru.
BERITA TERKAIT: