Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Juli Budi Winantya, mengungkapkan bahwa situasi ini akan membawa risiko sekaligus peluang bagi Indonesia.
“Perang dagang ini satu sisi memang ada risikonya, di sisi lain juga ada opportunity-nya, ada peluangnya yang bisa kita dapatkan,” kata Juli dalam Taklimat Media, di Jakarta pada Kamis 6 Maret 2025.
Ia menjelaskan bahwa salah satu dampak negatifnya adalah meningkatnya inflasi global akibat aksi balasan dari negara-negara yang terkena tarif impor AS. Sebagai contoh, China telah menerapkan tarif impor hingga 15 persen sebagai respons terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump.
“Memang yang terkait dengan apabila perang dagang diikuti retaliasi (kebijakan balasan) tentunya ada tendensi harga inflasi global akan cenderung meningkat,” katanya.
Namun, Juli juga menyoroti potensi peluang bagi Indonesia jika negara-negara yang terkena tarif impor AS mengalami hambatan dalam memasarkan produknya. Menurutnya Indonesia dan negara lain dapat mengambil alih pasar tersebut.
Juli menambahkan bahwa perang dagang ini bisa memperlambat ekspor Indonesia. Namun, di saat yang sama, Indonesia berpeluang mengisi celah yang ditinggalkan oleh negara-negara yang terkena tarif.
“Ini justru bisa (kesempatan) masuk negara-negara lainnya gitu, termasuk ke Indonesia dan ini justru harganya akan lebih murah. Jadi memang ada dua sisi, satu sisi memang bisa meningkatkan inflasi, tetapi di sisi lain juga ada kemungkinan untuk membawa inflasi lebih jauh, begitu juga dengan pertumbuhan,” tuturnya.
Adapun perang dagang ini semakin memanas setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif impor baru terhadap Kanada, Meksiko, dan China.
AS mengenakan bea masuk 25 persen untuk Meksiko dan Kanada, serta menggandakan tarif impor barang-barang dari China. Dalam kesempatan tersebut, China dan Kanada langsung merespons dengan tindakan balasan.
BERITA TERKAIT: