PT Ashmore Asset Management Indonesia memperkirakan, ekspektasi saat ini The Fed masih lebih bullish karena pasar memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 75 bps di akhir tahun, dibandingkan dengan indikasi The Fed sebesar 50 bps.
Pasar terus memantau kabar tentang stimulus yang diberikan oleh pemerintah China, karena skalanya lebih besar dari yang diperkirakan.
Bank sentral China atau People's Bank of China (PBoC) menggelontorkan sejumlah stimulus, mulai dari memangkas suku bunga hingga menyuntikan likuiditas di sistem perbankan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen.
Namun para ekonom melihat stimulus ini agak terlambat, dan beberapa bahkan percaya bahwa stimulus ini tidak cukup.
China tertekan deflasi akibat penurunan pasar properti dan melemahnya kepercayaan konsumen. Sementara, ketergantungan China pada ekspor harus bergumul dengan ketegangan perdagangan global.
"Tapi poin utamanya adalah bahwa suku bunga diturunkan sebesar 20 bps dibandingkan dengan ekspektasi pemotongan 10 bps, selain itu Rasio GWM juga diturunkan sebesar 50 bps dibandingkan dengan ekspektasi pemotongan 25 bps," ungkap Ashmore, dikutip dari Indopremier.
Ashmore berpendapat, stimulus baru-baru ini efektif dalam jangka pendek namun tidak akan berkelanjutan, mengingat sifat stimulus tersebut yang lebih mengarah pada kebijakan moneter.
Pemulihan jangka menengah dan panjang akan membutuhkan upaya dari sisi fiskal.
Investor juga masih berada dalam situasi wait dan see karena adanya pemilihan presiden AS yang akan datang, selain ingin melihat lebih banyak bukti dari data makro.
"Oleh karena itu, kami berpikir bahwa aliran dana yang masuk ke China hanya bersifat sementara dan dapat berbalik lebih cepat jika data mengecewakan," tegas Ashmore.
Di tengah banjirnya stimulus yang diberikan pemerintah China, pasar saham Indonesia juga bakal terdampak.
Dalam jangka pendek, gelondongan stimulus ini akan menjadi sentimen negatif untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Mengenai ekuitas Indonesia yang terpukul minggu ini, Ashmore menekankan bahwa penting untuk diingat bahwa kita telah mengalami reli selama beberapa minggu dan mencapai level tertinggi baru, sehingga koreksi seperti pada pekan ini adalah hal yang wajar.
"Kondisi makro ekonomi secara keseluruhan masih sangat kondusif untuk pasar saham Indonesia terutama dengan akan dilantiknya presiden baru. Sejarah menunjukkan bahwa calon presiden baru cenderung mendukung kebijakan pro-pertumbuhan pada periode pertama mereka," papar Ashmore.
Imbal hasil SRBI juga mengalami penurunan tajam di mana lelang terakhir untuk tenor 12 bulan berakhir dengan imbal hasil rata-rata 6,81 persen dibandingkan dengan puncaknya di 7,54 persen.
BERITA TERKAIT: