Di tengah ketatnya persaingan perdagangan antar negara, industri tekstil di Indonesia juga mengalami berbagai tantangan. Banyak negara-negara di dunia yang berlomba-lomba untuk memasukkan tekstil murah ke Indonesia.
Akibatnya, tekstil lokal berpotensi untuk sulit bersaing dengan tekstil impor yang memiliki harga lebih murah. Impor tekstil yang tidak terkendali dapat memberikan efek domino bagi perekonomian di Indonesia, misalnya tutupnya usaha tekstil lokal yang berdampak pada hilangnya mata pencaharian para tenaga kerja.
Sebagai contoh, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil mengalami kontraksi pada kuartal II 2024. Dalam konteks ekonomi, kontraksi berarti penurunan aktivitas atau output suatu sektor dibandingkan periode berikutnya.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menyampaikan bahwa industri tekstil dan pakaian jadi pada kuartal II 2024 mengalami kontraksi sebesar 0,03 persen secara year on year (yoy), serta terkontraksi sebesar 2,63 persen secara quarter to quarter (qtq). Edy menuturkan bahwa di kuartal II 2024, terjadi kontraksi baik secara tahunan maupun kuartalan atas pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi.
Pasca pandemi, pertumbuhan atas subsektor tekstil dan produk tekstil belum sepenuhnya pulih seperti saat sebelum pandemi. Kondisi ini dipengaruhi oleh kegiatan ekspor dan permintaan dari pasar domestik yang menurun di tengah kompetisi industri ini.
Menurut data dari BPS, terdapat penurunan serapan tenaga kerja di sektor tekstil dan produk tekstil, yaitu yang semula 3,98 juta di tahun 2023, menjadi 3,87 juta di tahun 2024 akibat penurunan produktivitas industri tekstil.
Selain itu, Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menyebutkan bahwa hingga Mei 2024, terjadi PHK sebanyak 10.800 tenaga kerja di industri TPT. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menyebutkan bahwa faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah derasnya produk impor yang masuk ke tanah air.
Arus impor tekstil yang semakin tidak terkendali akan semakin mengancam eksistensi industri lokal. Dalam rangka mengendalikan arus impor barang, terdapat suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh otoritas Direktorat Jenderal Kepabeanan dan Cukai, yakni kebijakan bea masuk.
Bea masuk merupakan pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang impor yang akan digunakan di dalam Daerah Pabean. Fungsi dari adanya pungutan bea masuk yaitu untuk melindungi industri dan mencegah kerugian dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang impor tersebut.
Selain bea masuk yang berlaku umum, terdapat pula bea masuk tambahan yang dikenakan atas barang impor tertentu yang dianggap memerlukan pengawasan atau pengendalian ekstra oleh pemerintah. Terdapat empat jenis bea masuk tambahan, yaitu Bea Masuk Tindakan Pengamanan, Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Pembalasan, dan Bea Masuk Imbalan.
Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dikenakan atas jenis barang yang sudah terlalu banyak diimpor dalam rangka melindungi industri dalam negeri, terlebih atas barang yang apabila terdapat lonjakan impor dapat menyebabkan kerugian serius di dalam negeri atas barang sejenis.
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dikenakan atas jenis barang yang diimpor dengan harga lebih murah dibandingkan barang sejenis di dalam negeri. Bea masuk Pembalasan dikenakan atas barang impor yang berasal dari negara yang memberlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. Bea Masuk Imbalan dikenakan atas barang impor yang ditemukan terdapat subsidi dari pemerintah di negara pengekspor.
Di Indonesia, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan trade remedies untuk melindungi industri tekstil domestik dari dampak negatif, antara lain:
1.PMK Nomor 176/PMK.010/2022 Tentang pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap impor produk Polyester Staple Fiber (PSF) dari India, Republik Rakyat Tiongkok, dan Taiwan. Peraturan ini berlaku selama lima tahun sampai dengan Desember 2027.
2.PMK Nomor 46/PMK.010/2023 Tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) Dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan ini berlaku selama tiga tahun sampai dengan Mei 2026.
3.PMK Nomor 45/PMK.010/2023 Tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan atas Impor Tirai, Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur, dan Barang Perabot Lainnya. Peraturan ini berlaku selama tiga tahun sampai dengan Mei 2026.
4.PMK Nomor 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan atas Impor Produk Pakaian dan Aksesori Pakaian. Peraturan ini berlaku selama tiga tahun sampai dengan November 2024.
5.PMK Nomor 48 Tahun 2024 Tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Kain. Peraturan ini berlaku selama tiga tahun sampai dengan Agustus 2027.
6.PMK Nomor 49 Tahun 2024 Tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Karpet Dan Tekstil Penutup Lantai Lainnya. Peraturan ini berlaku selama tiga tahun sampai dengan Agustus 2027.
Kebijakan trade remedies yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bertujuan untuk memastikan harmonisasi industri tekstil dalam negeri. Langkah ini bertujuan tidak hanya untuk melindungi sektor tekstil dalam negeri tetapi juga untuk memperkuat daya saingnya di pasar domestik, sekaligus mendukung pertumbuhan berkelanjutan di sektor ini.
Dengan sinergi kebijakan pemerintah yang terarah dan dukungan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, industri tekstil nasional diharapkan mampu berkembang menjadi sektor yang tangguh dan kompetitif.
Upaya ini tidak hanya memperkuat daya saing global tetapi juga membuka peluang lapangan kerja baru, sekaligus memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Artikel ditulis Skolastika Primarosa KrishnaMahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
BERITA TERKAIT: