Mantra Sivalaya StavaDalam tradisi puja berbahasa Sansekerta kita mewarisi puja perlindungan dari penyakit, segala marabahaya, dan pengaruh negatif akibat ketidakseimbangan kosmik, yang jika diucapkan setiap saat, dipercaya akan melindungi kehidupan seseorang dari gunjangan yang bisa memporak-porandakan kehidupan.
Mantra Śivâlaya Stava antara lain menyebutkan energi penjaga keseimbangan alam:
TathÄ Padmaḥ sthito madhye, Åšivâlaye śūddha-sthÄne ye vÄ sthitÄḥ NÄga-sarvÄḥ, krameôcyanta eva ca Nahuá¹£o Dhá¹›ta-rÄá¹£á¹raÅ› ca, KÄlako Kambalas tathÄ KadrÅ« vÄ VÄsuki[rj jñeyÄḥ, Karkoá¹aka-Dhanañ-jayau. Taká¹£ako Nikumbhas tathÄ, Haridro Rohiṇîti ca ‘Nanta-bhogaḥ sthito madhye, iti NÄgÄḥ parivá¹›ttÄḥ.
(Dan Bunga-Teratai berada di tengah-tengah. Dan semua para NÄga yang hadir di tempat-kediaman Sang Hyang Åšiva yang murni / suci disebutkan sekarang dalam urutan yang seharusnya: Nahuá¹£a dan Dhá¹›ta-rÄá¹£tra, KÄlaka dan Kambala, KadrÅ« dan VÄsuki, Karkoá¹aka dan Dhanañ-jaya; Tatá¹£aka dan Nikumbha, Haridra dan RohinÄ«; Ananta-bhoga berada di tengah-tengah; demikianlah kedudukan-kedudukan para NÄga di alam semesta).
Kearifan Leluhur Nusantara
Sama dengan ketika menghayati Panyondro Ki Dalang, sukma di lubuk sanubari saya tergetar oleh Mantra Sivalaya Stava. Dari para kearifan leluhur Nusantara itu saya memperoleh kesadaran betapa tak terhingga ketinggian, kedalaman dan keluasan makna warisan peradaban leluhur bangsa Indonesia.
Kearifan yang dibutuhkan umat manusia masa kini termasuk demi menghadapi malapetaka peradaban dahsyat seperti pagebluk Corona ternyata sudah dimiliki oleh kakek-nenek moyang bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Jauh sebelum peradaban Barat dipaksakan masuk ke persada Nusantara oleh kaum penjajah.
Jauh sebelum ilmu kedokteran, virologi serta epidemiologi hadir di bumi Indonesia serta jauh sebelum pagebluk virus Corona dibawa oleh bangsa asing merambah masuk ke bumi Ibu Pertiwi, nenek-moyang bangsa Indonesia sudah menyadari kearifan lahir-batin untuk bijak menghadapi malapetaka pagebluk
Sang AstikaFakta telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai sains sebagai warisan peradaban Barat tidak berhasil menanggulangi pagebluk Corona. Terbukti alih-alih pagebluk Corona mereda malah makin ganas merusak kesehatan bahkan merenggut nyawa jutaan manusia.
Leluhur bangsa Indonesia sudah menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan sang tercerahi, Astika, adalah titik balik. Dari apa yang semula “musuh yang harus dimusnahkan†telah berbalik akhirnya dipahami dan disadari
sebagai penyangga kehidupan.
Sang Astika “mendamaikan†dan membuka mata bahwa bangsa Naga sebenarnya adalah pelindung alam. Menjadi kekuatan yang mengikat dan menopang kehidupan. Penjaga keseimbangan.
Namun sambil menunggu ketibaan Astika adalah hukumnya wajib bagi segenap warga Indonesia tidak bersikap pasrah namun tetap secara ketat disiplin mencegah kerumunan sambil senantiasa memakai masker apabila ke luar dari rumah masing-masing selaras kearifan sedia payung sebelum hujan demi preventif dan promotif meningkatkan daya tubuh masing-masing agar tidak terpapar virus Corona.
Matur Suksma.
BERITA TERKAIT: