Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagian I

Hari-hari Terakhir PD II di Pasifik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-1'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
LAPORAN: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Rabu, 30 September 2020, 20:35 WIB
Hari-hari Terakhir PD II di Pasifik
Menlu Jepang Mamoru Shigemitsu menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di atas kapal USS Missouri pada 2 September 1945/Repro
rmol news logo Invasi Jepang ke wilayah Asia Pasifik demi memenuhi ambisinya menjadi “Matahari Asia” akhirnya pupus. Jepang takluk tanpa syarat kepada sekutu 14 Agustus 1945. Kekalahan itu menandai berakhirnya perang dunia kedua di Asia Pasifik.

Jepang melibatkan diri dalam kancah PD II dengan menyerbu Pearl Harbor, Hawaii. Serangan terhadap pangkalan Armada Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Asia Pasifik itu membuat AS menyatakan perang terhadap Jepang.  

Tak hanya Pearl Harbor, Jepang juga menyerang pangkalan udara AS di Filipina. Menyusul daerah koloni Inggris seperti Hongkong, Malaya, Borneo, dan wilayah lainnya di sekitar Asia.

Jepang juga menduduki wilayah Hindia Belanda yang merupakan jajahan Belanda. Untuk memperkuat kekuatan perangnya, di beberapa wilayah pendudukan di Asia Tenggara dan Timur itu, Jepang melakukan perekrutan pasukan.

Sejak kurun 1941 hingga 1944, Jepang berhasil menguasai wilayah yang meliputi wilayah Asia Tenggara dan Cina bagian Timur.

Pada sisi yang lain, gabungan pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada) menggelar Operasi Overlord atau Invasi Normandia pada tanggal 6 Juni 1944. Sekitar 3 juta tentara menyeberangi Selat Inggris menuju Prancis untuk membebaskan Prancis yang diduduki tentara Nazi, Jerman.

Invasi Normandia sukses. Jerman menyerah tanpa syarat kepada sekutu di Reims, Prancis, 7 Mei 1945. Peristiwa itu menandai akhir Perang Dunia II di benua Eropa.

Meski demikian, Perang masih berkecamuk di kawasan Asia Timur. Jepang yang merupakan blok poros Axis dengan Jerman dan Italia, masih mendominasi.

Sejak Agustus 1942, pasukan sekutu yang merupakan aliansi dari Amerika Serikat, Inggris Raya turun ke medan perang Operasi Samudra Pasifik. Gempuran tentara sekutu membuat Jepang mengalami kekalahan berkepanjangan di front Pasifik Barat Daya. Gagal dalam kampanye militernya di Mariana dan Filipina.

Pada Juli 1944, setelah Saipan jatuh ke tangan sekutu, Jenderal Hideki Tōjō yang diangkat sebagai Perdana Menteri Jepang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan. Namun Filipina pun berhasil direbut Sekutu.

Pada paruh pertama tahun 1945, kekuasan Sekutu makin meluas. Wilayah Iwo Jima dan Okinawa, berhasil direbutnya. Okinawa menjadi pijakan strategis Sekutu untuk menyerbu ke pulau-pulau utama Jepang.

Di sisi lain, setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai menggerakkan pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, memperkuat 40 divisi yang telah bercokol di sana sejak tahun 1941. Divisi ini menjadi penyeimbang kekuatan jutaan Tentara Kwantung-tentara grup komando paling besar dan bergengsi di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada saat itu.

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang berhasil melemahkan kekuatan armada dagang Jepang. Sebagai negara yang minim sumber daya alam, Jepang sangat bergantung kepada bahan mentah dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang, terutama minyak bumi.

Situasi bertambah parah akibat kehancuran kawasan industri di Jepang oleh bom pihak sekutu. Roda ekonomi penyokong perang bagi Jepang, runtuh. Produksi batu bara, besi, baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.

Kekalahan demi kekalahan itu membuat Angkatan Laut Kekaisaran Jepang tidak lagi efektif. Serangan Sekutu terhadap galangan kapal di Kure, Prefektur Hiroshima, meluluh-lantakkan AL Jepang.

Yang tersisa tinggal enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur.  Namun, kapal itu pun tidak punya bahan bakar yang cukup untuk berlayar.

Kyushu menjadi wilayah yang menentukan gerak maju pasukan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang. Markas Besar Angkatan Perang Kekaisaran menyimpulkan, tidak ada harapan untuk memenangkan pertempuran.  Satu-satunya jalan adalah mengorbankan nyawa pasukan sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.

Menahan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang berencana mempertahankan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go. Berbeda dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai saat menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini seluruh kekuatan perang dipertaruhkan di pantai.

Strateginya, menyerang pasukan Sekutu dengan 3.000 pesawat kamikaze-pasukan bunuh diri, sebelum mendaratkan transportasi amfibi di pantai Kyushu. Bila langkah ini gagal, 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yo akan dikerahkan. Pada saat itu, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan". Jika Sekutu berhasil mendarat di pantai Kyushu, sisa 3.000 pesawat kamikaze akan dikerahkan untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain.

Strategi pertahanan Kyushu dirancang berdasarkan asumsi bahwa Uni Soviet tidak akan ikut campur dalam perang ini. Pada kenyataannya, Soviet justru bergabung dengan Sekutu ikut memerangi Jepang.

Dewan Penasehat Militer

Dalam PD II di kawasan Asia Timur, pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi. Saat PM Suzuki membentuk kabinet pada April 1945, keanggotaan dewan penasehat militer terdiri dari Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō, Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami, Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai, Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijiro Umezu, dan Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian diganti oleh Laksamana Soemu Toyoda).

Rapat dewan penasehat militer kerap dihadiri langsung Kaisar Hirohito atau Penjaga Cap Pribadi Kaisar Koichi Kido.

Meski telah mengalami banyak kemunduran dalam perang besar itu, bagi Jepang, menyerah tanpa syarat ke Sekutu (kapitulasi) hampir tidak terpikirkan. Sebab dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.

Sejarawan Richard B Frank dalam buku Downfall: the End of the Imperial Japanese Empire (1999), menyebutkan, walaupun PM Suzuki melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang namun dia tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu.

Namun seusai perang berakhir, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahan mengaku secara rahasia merundingkan perdamaian tanpa mengumumkannya. Mereka berdalih melakukan haragei (seni berkomunikasi dengan sikap dan kekuatan kepribadian dan bukan melalui kata-kata).

Sebelum akhirnya menyerah kalah, dewan penasehat militer sepakat bahwa perang tidak berjalan lancar. Tetapi mereka tidak satu suara tentang cara terbaik bernegosiasi dengan Sekutu untuk mengakhiri perang.

Ada dua kubu, bertolak belakang. Faksi damai menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin menjadi mediator perundingan penyelesaian perang dengn Sekutu. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur hingga akhir. Tujuannya, agar jatuh korban lebih banyak di pihak Sekutu sehingga mereka mau menawarkan syarat yang lebih lunak.

Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang, 40 tahun sebelumnya. Perang itu tidak menentukan pemenang, namun diakhiri dengan Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.

Pada akhir Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka.

Proposal itu dikirim melalui saluran AS dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal (AS) Douglas MacArthur. Kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, proposal itu diberikan kepada Presiden Franklin D Roosevelt.

Namun dokumen tersebut ditolak Presiden Roosevelt. Proposal yang ditawarkan Sekutu saat itu hanyalah menerima penyerahan Jepang tanpa syarat. Pada sisi lain, proposal ini juga ditolak keras pihak Jepang.

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe menyampaikan memorandum kepada Kaisar Hirohito. Isinya berupa analisis situasi. Fumimaro Konoe mengingatkan Kaisar bahwa bila perang diteruskan maka kekaisaran kemungkinan akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.

Dikutip buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, "Jijûchô no kaisô", Chûo Kôronsha, (1987), Kaisar Hirohito menunggu pertempuran menentukan (tennozan). Ia yakin, masih terlalu dini menawarkan perdamaian pada  Sekutu. "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer," tegas Hirohito.

Pada 5 April 1945, Uni Soviet secara sepihak mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang yang telah ditandatangani tahun 1941.

Sikap Soviet itu dipengaruhi oleh Konferensi Yalta Februari 1945, dimana Sekutu menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan janji dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari 3 bulan setelah Jerman menyerah.

Walaupun secara hukum, Pakta Netralitas Soviet-Jepang tetap berlaku hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946),  tapi pembatalan itu secara jelas menunjukkan niat Soviet terhadap Jepang.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov di Moskow dan duta besar Soviet di Tokyo Yakov Malik, mencoba meyakinkan Jepang bahwa masa berlaku Pakta Netralitas itu belum berakhir.

Dalam serangkaian rapat tingkat tinggi pemimpin Jepang pada Mei 1945, Dewan Penasihat Militer Jepang membahas serius cara mengakhiri perang. Namun tidak satu pun anggota dewan militer yang setuju dengan syarat-syarat Sekutu.

Pada masa itu, siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang nyawanya akan terancam. Ada bahaya pembunuhan oleh sekelompok perwira angkatan darat Jepang yang menilai mendukung kapitulasi artinya sama dengan berkhianat.

Tak heran, rapat dewan penasehat militer berlangsung tertutup dan rahasia. Hanya bagi keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar.  Bahkan tidak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.

Menteri Luar Negeri Jepang Shigenori Togo adalah yang pertama menyadari kemungkinan sekutu telah membuat konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka ikut memerangi Jepang. Togo mencoba mendekati Uni Soviet untuk meminta mereka tetap mempertahankan netralitas, atau jika mungkin, membentuk aliansi kekuatan perang dengan Jepang.

Sementara Angkatan Darat berkeras agar Jepang tidak menyerah.  Mereka mengeluarkan dokumen berjudul “Kebijakan Fundamental untuk Diikuti Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang”. Kebijakan itu menyatakan bahwa rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni 1945. Ada pun Menlu Togo menentangnya, sedangkan lima anggota lain mendukung. (bersambung..) rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA