Sunnah juga termasuk bagaimana bentuk atau wujud implementasi perintah atau berbagai ketentuan di dalam Al Qur'an yang bersifat umum, menjadi pedoman pelaksanaannya secara teknis yang detail. Karena itu, para ulama kemudian merujuk pada Rasulullah, sehingga Nabi Muhammad juga dikenal sebagai Uswathun Hasanah (contoh yang baik) atau Qudwah (model yang ideal).
Lawan dari "Sunnah" adalah "Bid'ah". Kalau istilah "Sunnah" berkonotasi positif, maka istilah "Bid'ah" berkonotasi negatif. Akan tetapi dalam perkembangannya, khususnya akhir-akhir ini, dua istilah ini mengalami distorsi makna maupun penggunaannya.
"Sunnah" seringkali mengalami penyempitan makna. Misalnya dalam masalah pakaian, yang secara substansial memiliki fungsi untuk menutup aurat, kemudian bergeser pada bentuk pakaian yang dikenakan oleh Nabi. Hal ini tentu tidak salah, akan tetapi cara berfikir seperti ini akan mematikan daya kreasi dalam desain yang termasuk wilayah ijtihad.
Lebih fatal lagi, jika bahan, bentuk dan warna pakaian yang dipilih berbeda dengan dengan apa yang dikenakan Nabi dianggap sebagai bid'ah. Kemudian vonis dijatuhkan dengan memggunakan Hadits yang berbunyi:
Kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar, yang artinya: Semua bid'ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.
Imam Asy-Syathibi dalam Al I’tishom memberikan penekanan kategori bid'ah pada aspek ibadah mahdhah atau berbagai bentuk ibadah yang sudah baku. Dengan kata lain, kreasi atau inovasi pada ibadah yang masuk kategori gairu mahdhah bukanlah hal yang bisa disebut bid'ah.
Dengan demikian berbagai bentuk kreasi baru dan inovasi dalam dunia sosial, politik, ekonomi, sain, dan teknologi, sepanjang tetap berada dalam koridor Al Ql Qur'an dan Hadits tidak termasuk kategori bid'ah. Lebih dari itu, kreasi dan inovasi dalam masalah ini bahkan bernilai positif yang masuk kategori "tajdid" atau pembaharuan.
Berkat semangat dan keberhasilan pembaharun (tajdid) di wilayah politik, ekonomi, sain, teknologi, sosial dan budaya, umat Islam di masa lalu tampil memimpin dan memberikan konstribusi dalam membangun peradaban, baik dalam ilmu kedokteran, industri, arsitektur bangunan, ilmu astronomi, ilmu matematika, ilmu sastra, dan banyak bidang lain.
Saat ini kebanyakan umat Islam disibukkan oleh berbagai bentuk Sunnah yang hanya berdimensi individual sehingga manfaatnya hanya bersifat personal, sementara yang berdimensi sosal yang memberi manfaat bagi masyarakat luas kurang mendapatkan perhatian.
Masalahnya menjadi lebih fatal, jika interpretasi terhadap Sunnah-Sunnah yang dipilih menggunakan kerangka berfikir simple minded. Dimensi geografis, sosial, budaya, dan kesejarahan sebuah masyarakat dimana kita hidup diabaikan begitu saja.
Hal ini nampak nyata dalam persoalan kepemimpinan dan bagaimana negara harus dikelola, sebagaimana dicontahkan oleh Rasulullah yang kemudian diikuti oleh Khalifahu Rasyidin (empat khalifah sesudahnya).
Menariknya, dari empat Khalifatu Rasyidin yang semuanya diakui hebat, baik dalam perspektif moral, spiritual, maupun capaian duniawi, terpilih atau dipilih dengan cara berbeda. Khalifah pertama, Abu Bakar Assiddiq dipilih atas usulan Umar bin Khattab, lalu mendapat persetujuan warga yang hadir di tempat yang dikenal dengan nama Saqifah Bani Saidah.
Khalifah kedua Umar bin Khattab terpilih atas dasar penunjukkan dari Khalifah sebelumnya. Sedangkan Khalifah ketiga Usman bin Affan dipilih melalui tim kecil berjumlah 6 orang yang dibentuk oleh Khalifah sebelumnya. Khalifah terakhir Ali bin Thalib dipilih secara aklamasi oleh massa.
Meskipun demikian semua cara di atas berdumpu pada Al Qur'an (surah As Syura 36-39), yang mengatur bagaimana prinsip musyarah menjadi fondasi utama dalam memilih pemimpin dan dalam mengelola negara.
Tantangannya saat ini, jika Rasulullah dan Khalifahu Rasyidin yang mengamalkan Sunnahnya dalam mengelola Negara Madinah sebagaimana diceritakan di atas, maka kini setelah rentang waktu yang panjang hampir 15 abad, bagaimana ayat yang sama dengan merujuk Sunnahnya ini harus diimplementasikan?
Masalah ini belum banyak dielaborasi secara memadai oleh para ilmuwan politik Islam kintemporer. Akibatnya banyak pemimpin Islam kehilangan pegangan yang memadai dalam mengelola negara. Karena itu ruang ijtihad di wilayah ini terbuka sangat lebar.
Ijtihad
(Pembaharuan) yang dimaksud, baik dalam pengertian reinterpretasi makna dari ketentuan yang terdapat di dalam Al Qur'an, maupun bagaimana memahami Sunnahnya dengan bekal ilmu yang memadai, dikaitkan dengan perkembangan sain dan teknologi, maupun perubahan sosial akibat berbagai faktor yang membuat masyarakat saat ini jauh berbeda dengan masyarakat yang hidup di zaman Rasulullah dan para sahabat.
Begitu juga terkait masalah bid'ah, kemiskinan ilmu diikuti dengan pola pikir sederhana (
simple minded), sering menyebabkan tidak sedikit kelompok masyarakat yang anti bid'ah hanya berhenti pada slogan semata, atau salah sasaran dalam aksinya.
Sementara bid'ah yang nyata-nyata dipraktikan oleh sejumlah negara Arab dalam masalah kepemimpinan dan pengelolaan negara, tidak mendapatkan perhatian sama sekali.
Sistem kerajaan dimana raja memiliki wewenang absolut, atau kepemimpinan yang diwariskan berdasarkan hubungan darah, sejatinya merupakan bid'ah yang sangat nyata.
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi
BERITA TERKAIT: