Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengenal Sayyid Qutub, Pejuang Islam Garis Keras Di Mesir

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Senin, 22 Juni 2020, 14:37 WIB
Mengenal Sayyid Qutub, Pejuang Islam Garis Keras Di Mesir
Sayyid Qutub Ibrahim Husain Shadilli/Net
NAMA lengkapnya Sayyid Qutub Ibrahim Husain Shadilli, lahir pada 9 Oktober 1906, di sebuah desa bernama Musha, di Provinsi Asyut yang dikenal sebagai salah satu basis santri di Mesir. Ayahnya adalah seorang aktivis Islam yang terobsesi menegakkan Syariat Islam dalam bernegara.

Konon pada usia 10 tahun, Qutub sudah hafal Al Qur'an. Ia juga dikenal sebagai kutu buku. Bacaannya meliputi tema-tema yang sangat luas. Disamping buku-agama ia juga membaca buku-buku sejarah, politik, sastra, sampai buku-buku detektif. Perhatiannya sangat besar pada dunia pendidikan. Saat itu ia sudah mengkritik sistem pendidikan tradisional yang dipraktikan di Mesir.

Pada usia 23 tahun, ia berangkat ke Ibukota Kairo dengan tujuan melanjutkan studinya. Qutub belajar di sebuah lembaga pendidikan yang dikelola Inggris. Dia mulai menulis dan menerbitkan buku. Karya pertamanya berjudul Ashwak yang berarti duri.

Qutub muda kemudian dikenal sebagai sastrawan berkat karya-karyanya yang dipublikasikan dan dibaca secara luas. Hal ini membuka jalan baginya untuk belajar ke Amerika dengan beasiswa.  

Tahun 1947-1950, ia kuliah di Colorado State College of Education (sekarang bernama University of Northern Colorado) di Greeley, Colorado. Saat inilah salah satu karyanya yang menumental lahir. Lewat buku yang diberi judul: "Al Adalah Ijtima'iyyah Fil Islam" (Keadilan Sosial dalam Islam) yang diterbitkan pada 1949, Qutub mengungkapkan pandangannya tentang dunia Barat yang dilihatnya di Amerika.

Ia kembali ke Mesir lebih cepat dari yang direncanakan. Qutb tidak menyelesaikan studinya, karena ia sangat kecewa dengan Amerika yang saat itu menjadi salah satu negara yang sangat dikagumi oleh masyarakat Mesir.

Qutub kemudian menulis buku dengan judul: The America that I Have Seen (Amerika yang Telah Saya Lihat). Isinya tidak lain dari kritik terbuka atas kehidupan masyarakat Amerika, yang dinilainya sangat hedonis, dalam arti terlalu berorientasi kepada kehidupan benda, individualis, hanya berpikir untuk kehidupan duniawi, rasis serta kurang menghargai seni.

Qutub menolak nilai-nilai Barat dan semakin mengokohkan keyakinannya pada nilai-nilai Islam. Keseriusannya terlihat dari keputusannya untuk keluar dari pegawai negeri, kemudian menyatakan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM) di awal 1950-an.

Ia kemudian dipercaya sebagai pemimpin redaksi majalah Mingguan IM: Al-Ikhwan al-Muslimin. Bersamaan dengan itu, dirinya juga dipercaya sebagai anggota komite kerja dalam dewan pembimbing IM di tingkat pusat. Berkat pemikirannya dan kemampuannya dirinya kemudian dikenal sebagai salah satu ulama intelektual di Mesir.

Suasana bathin aktivis IM saat itu sangat tidak suka dengan penguasa. Setahun sebelumnya tepatnya 1949, pendiri sekaligus Ketua IM yang sangat karismatik dan dicintai rakyat Hasan Al Banna dibunuh secara misterius. Ia merupakan korban operasi intelijen kolabirasi penguasa dengan penjajah Inggris, yang khawatir karena pengaruhnya semakin luas di semua lapisan masyarakat Mesir.

Qutub kemudian menjadi penghubung IM dengan jajaran Perwira Muda yang dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser, sebaliknya jajaran Perwira Muda  menunjuk Anwar Sadat untuk berhubungan dengan IM.

Kepentingan dua kelompok ini bertemu. Jika IM memandang pemerintahan yang dipimpin Raja Faruk saat itu didikte oleh penjajah Inggris dan keinginannya untuk menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara, sementara kelompok Perwira Muda yang merupakan perwira pribumi Mesir memandang pemerintahan Mesir dikuasai oleh keturunan Turki dan keinginan mereka untuk mengusir penjajah Inggris dari tanah air mereka.

Raja Faruk kemudian digulingkan oleh kelompok perwira muda yang didukung oleh IM pada 1952, melalui kudeta tidak berdarah. Dalam perjalanannya dua kelompok ini pecah kongsi. Nasser yang memimpin kelompok Perwira Muda memilih Nasionalisme Arab yang sekuler sebagai ideologi negara dengan sistem pemerintahan otoritarian yang militeristik. Di sisi lain, IM menginginkan ditegakkannya nilai-nilai Islam dalam sebuah pemerintahan yang demokratis.

Qutub yang kecewa kemudian menjauh dari kekuasaan, dan selanjutnya membangun kekuatan perlawanan. Dalam sebuah peristiwa upaya pembunuhan Nasser yang gagal, Qutub dituduh sebagai salah seorang aktor intelektualnya, yang menyebabkan dirinya kemudian dijebloskan ke dalam penjara.

Ia mengalami penderitaan yang luar biasa baik secara fisik maupun psykhis. Ia bukan saja tetap tegar, akan tetapi terus melawan dari penjara dengan melalui tulisan. Paling tidak dua karya besarnya lahir saat itu, yang dikemudian hari menjadi buku panduan kelompok-kelompok pejuang Islam garis keras: Fi Zilal Al Qur'an (Di Bawah Naungan Al Qur'an) dan Ma'alim Fittariq (Milestone/Tonggak). Karya kutub tidak kurang dari 24 buku dan 581 artikel yang diterbitkan.

Qutub sempat dibebaskan pada tahun 1964 atas permintaan pribadi Perdana Menteri Irak Abdul Salam Arif. Namun beberapa bulan kemudian ia kembali dijebloskan ke penjara. Dalam persidangan, Qutub didakwa menyebarkan kebencian di masyarakat melalui buku-buku yang ditulisnya, disamping terlibat dalam persekongkolan upaya pembunuhan Gamal Abdul Nasser saat berpidato di sebuah lapangan terbuka di kota Iskandariyah. Ia dan enam anggota IM lain kemudian dijatuhi hukuman gantung pada tahun 1966.

Walaupun IM tetap menjadi organisasi politik sebagaimana jati-diri saat didirikannya, akan tetapi sejak saat itu muncul faksi-faksi sempalan bersenjata pecahannya yang melakukan peperlawanan, yang kemudian menyebabkan timbulnya linkaran setan kekerasan, dalam arti kekerasan yang dilakukan penguasa dibalas oleh rakyatnya sendiri. Hal ini bukan hanya terjadi di Mesir, akan tetapi di sebagian besar negara Arab.

Hal ini juga mempengaruhi suasana politik secara keseluruhan di Mesir, dimana sulit sekali terjadinya negosiasi dan kompromi diantara tiga kekuatan politik utama. Pertarungan segi tiga yang saling menghabisi antara kelompok Islam, sekuler, dan militer dalam memperebutkan kekuasaan terus berlangsung sampai sekarang.

Ideologi politik yang dibangun Qutub sempat tenggelam oleh hiruk-pikuk Nasionalisme Sekuler Arab yang dipelopori Gamal Abdul Nasser ternyata tidak pernah mati. Akan tetapi Ia tetap hidup di bawah permukaan, yang kemudian muncul bila momentumnya tiba.

Paling tidak sudah dua kali muncul momentum yang membuka jalan semangat jihad yang ditanam Qutub merebak ke permukaan. Pertama, tahun 1979 yang diinspirasi oleh Revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomaini. Kedua, pada akhir tahun 2011 saat Arab Spring sebagai bentuk tuntutan demokratisasi di dunia Arab yang mayoritas masih dikelola secara otoriter.

Kapan momentum baru muncul kembali untuk ketiga kalinya? Isu Palestina sebagai masalah politik bila tidak terselesaikan secara damai, apalagi masalah ini terkait dengan Kota Suci yang mengakibatkannya tumpang-tindih dengan masalah agama, sehingga bukan mustahil bisa menjadi pelatuknya. Wallahua'lam. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA