Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Idola Tegal Yang Dirongrong Pemberontak

Sabtu, 30 Mei 2020, 14:50 WIB
Idola Tegal Yang Dirongrong Pemberontak
Komplek Makam Tegal Arum di Kabupaten Tegal/Net
KEJAYAAN kerajaan-kerajaan di Jawa kerap diistilahkan dengan berbagai terminologi sastrawi: "negeri kang panjang punjung pasir wukir", "gemah ripah loh jinawi", "tata tentrem karta raharja" dan lain sebagainya.

Istilah-istilah itu mulai menggema saat nusantara dikuasi Majapahit pada abad ke-13. Majapahit dikenal sebagai Kerajaan penguasa lautan dunia.

Kedigdayaan maritim nusantara kemudian memudar saat Majapahit bangkrut dan kepemimpinan nusantara diteruskan Demak, Pajang dan Mataram Islam.

Kerajaan Mataram merupakan penerus Majapahit yang terbesar di tanah Jawa. Keraton yang berpusat di sekitar wilayah Surakarta dan Yogyakarta itu membawahi wilayah yang kini masuk dalam Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur (termasuk Madura), dan sebagian Jawa Barat.

Terinspirasi oleh kisah kebesaran Majapahit, seorang raja Mataram bernama Amangkurat Agung atau Amangkurat Tegal Arum mencoba membangkitkan lagi sektor kemaritiman nusantara.

Untuk memuluskan cita-citanya, ia membangun wilayah Tegal di kawasan pantai utara Jawa Tengah, untuk dijadikan pelabuhan besar di nusantara. Namun, keinginan itu menjadi salah satu ihwal terjungkalnya sang raja dari kekuasaan.

Raja bergelar lengkap Sri Susuhunan Amangkurat Agung tersebut merupakan raja keempat Keraton Mataram (1645-1677). Nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas (GRM) Sayidin. Sejak remaja, ia dikenal gemar mencari ilmu, menjalani lelaku, dan taat kepada orang tua.

Ayahnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma, pernah memimpin penyerbuan Mataram ke Batavia. Sayidin kecil mewarisi kebijaksanaan kepemimpinan dari Sultan Agung yang dikenal sebagai umaro yang sekaligus ulama.

GRM Sayidin kerap mengunjungi kawasan pantai utara Jawa. Ibundanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Batang atau GKR Kulon, adalah putri Pangeran Adipati Huposanto yang merupakan Bupati Batang. GRM Sayidin mendapatkan pengetahuan mengenai dunia kelautan, pelayaran, dan pelabuhan dari kakeknya.

Menurut Adipati Huposanto, wilayah pantura yang paling cocok dikembangkan menjadi pelabuhan maritim adalah pesisir Tegal.

Saat menjadi raja, Amangkurat Tegal Arum membangun wilayah Tegal menjadi sebuah bandar yang ramai. Ia memindahkan pembangunan Mataram ke bagian barat dan utara, karena pada saat itu bagian timur sudah lebih maju dan mandiri.

Kadipaten Surabaya yang dipimpin mertuanya, Pangeran Pekik, telah menjadi metropolis dengan pelabuhan maritim yang besar. Pembangunan wilayah Tegal, selain diniatkan untuk membangun sentra maritim baru, juga demi pertimbangan pemerataan dan keadilan.

Namun, kebijakan tersebut tak serta merta diterima para adipati di bagian timur (Bang Wetan). Terjadilah persaingan politik dan bisnis antara pantura bagian barat dan Bang Wetan. Kemudian, Sri Amangkurat difitnah, namanya dijelek jelekkan, reputasinya dirusak. Berbagai hoax tentang sang raja disebarluaskan oleh "geng" Bang Wetan.

Pangeran Pekik, meskipun memiliki pertalian darah sebagai mertua, muncul sebagai oposan terbesar sang raja. Adipati Surabaya itu melihat konflik dengan Amangkurat sebagai peluang untuk menaikkan cucunya, putra mahkota Pangeran Adipati Anom, menjadi raja Mataram.

Demi ambisi politik dan bisnisnya, Pangeran Pekik bersekongkol dengan pengusaha asal Madura dan Makassar. Kelompok Madura dipimpin oleh Trunojoyo dan kelompok Makassar dipimpin oleh Karaeng Galengsong. Saat itu, keduanya merupakan pelaku bisnis kelautan yang menguasai nusantara bagian timur.

Kebetulan sekali, Trunojoyo dekat dengan Panembahan Rama, paman Amangkurat Agung yang berdomisili di Kajoran. Interaksi bertahun-tahun dengan Panembahan Rama memungkinkan Trunojoyo menyerap pengetahuan tentang seluk beluk pertahanan Mataram.

Pemberontakan yang dilancarkan bang wetan dengan operator Trunojoyo dan Karaeng Galengsong itu pada akhirnya berhasil mendongkel Amangkurat Agung dari tahta. Ia wafat di Tegal Arum pada 1677 dan digantikan oleh putra mahkota Pangeran Adipati Anom, yang kemudian bergelar Amangkurat II.

Sebagian orang Jawa percaya Amangkurat Agung bukan hanya bijak dalam memimpin tapi juga sakti mandraguna. Masyarakat pantura sekitar Tegal bahkan dikenal sangat mengidolakan sang raja, walau banyak catatan sejarah yang sumir tentangnya.

Sampai sekarang, tubuh Amangkurat Agung diyakini masih utuh dan tidak membusuk di makamnya di Tegal Wangi Pakuncen Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Dulu, makamnya hanya ditutup kaca sehingga setiap orang yang berziarah dapat melihatnya. Wajahnya selalu kelihatan tampan dan muda. Kuku dan kumisnya yang terus tumbuh, setiap tahun dicukur oleh petugas perwakilan Kraton Surakarta sebagai penerus Mataram.

Namun, kondisi makam yang dibiarkan terbuka serta tradisi memotong kuku dan rambut setiap tahun itu berakhir pada tahun 1960. Atas masukan para tokoh agama dan pertimbangan Kraton Surakarta, makam tersebut akhirnya ditutup secara permanen dan diberi batu nisan. Tujuannya, agar tidak melestarikan kemusyrikan.

Walaupun begitu, Kraton Surakarta hingga saat ini masih terus memberikan penghormatan kepada mendiang sang raja. Upacara "jamasan" digelar di komplek makam itu pada setiap bulan Sura (Muharram) dalam penanggalan Jawa. Upacara tersebut selalu ramai dihadiri khalayak. rmol news logo article

Dr. Purwadi M.Hum
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA