Secara umum ada dua faktor penyebab, yakni faktor internal dan eksternal Israel. Yang termasuk kategori faktor internal adalah menguatnya kelompok sayap Kanan secara politik. Kelompok ini dikendalikan oleh Likud dan partai-partai fundamentalis Yahudi yang sangat agresif yang menjadi koalisinya.
Tampilnya kekuatan ini mengendalikan negara Zionis yang didirikan tahun 1948 di atas wilayah Palestina yang berada di jantung negara-negara Arab, ditandai oleh munculnya partai Likud dengan tokohnya Benjamin Netanyahu sejak tahun 1996. Likud berhasil mengalahkan Partai Buruh yang berhaluan Kiri, yang mengendalikan Israel sejak berdirinya.
Benny Gantz yang mencoba menghentikan langkah kelompok garis keras ini, dengan cara mengkonsolidasi kekuatan politik kelompok Kiri dan Tengah, ternyata gagal setelah melalui pertarungan sengit dan panjang lewat pemilu yang diulang hingga tiga kali.
Gantz dengan partainya Biru-Putih kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Benjamin Netanyahu dengan partainya Likud dalam sebuah pemerintahan persatuan. Pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat merupakan bagian dari keputusan politik pemerintahan baru Israel yang didukung oleh koalisi besar. Dengan kata lain, Benny Gantz dan partainya Biru-Putih serta partai-partai lain yang berkoalisi telah mengikuti agenda Likud dan kelompok Kanan garis keras.
Faktor eksternal paling tidak ada dua. Pertama, faktor dukungan Amerika. Sejak naiknya Donald Trump menjadi orang nomor satu dan mengendalikan Gedung Putih, negara ini seakan selalu mengikuti kemauan Israel dengan mengabaikan semua perjanjian internasional terkait Israel-Palestina, termasuk mengabaikan sikap PBB.
Kedua, negara-negara Arab kuat seperti Mesir dan negara-negara Arab kaya di kawasan Teluk yang berpengaruh seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, ternyata bermain mata dengan Amerika dan Israel.
Walaupun tidak mendukung secara terbuka, akan tetapi juga tidak menentang kebijakan agresif Tel Aviv dan Washington. Dalam beberapa kasus bahkan seolah memberikan jalan bagi Tel Aviv dan Washington untuk merealiasikan berbagai kebijakannya yang sangat merugikan Palestina.
Negara-negara Arab yang bersikap tegas menolok agresivitas Israel yang didukung penuh Amerika hanya Yordania, Suriah, dan Qatar. Tiga negara ini tidak memiki kekuatan politik dan meliter yang memadai berhadapan dengan Israel.
Dalam situasi seperti ini Liga Arab yang beranggotakan 22 negara Arab tidak bersuara. Kalau toh nanti muncul suaranya, biasanya tidak diikuti tindakan nyata disebabkan fragmentasi internal yang sangat parah.
Begitu juga nasib organisasi negara-negara Muslim yang terhimpun dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau OIC nasibnya setali tiga uang. Apalagi dua organisasi ini didominasi oleh Mesir dan Saudi Arabia. Secara simbolik Sekretariat Liga Arab berada di Kairo, sedangkan sekretariat OKI berada di Jeddah.
Beruntung ada negara-negara Muslim seperti Iran dan Turki yang memiki kekuatan politik dan militer yang mampu mengimbangi Israel. Bahkan jika tanpa dukungan Amerika, maka sulit Israel bisa mengalahkan Iran atau Turki.
Sebagai Presiden Palestina Mahmud Abbas telah memutuskan membatalkan semua perjanjian damai dengan Israel dan Amerika. Artinya perang besar di Timur Tengah bisa meletus setiap saat.
Sikap Palestina seperti ini bisa dipahami, karena sikap Israel yang mau menang sendiri dan terus-menerus melanggar semua ketentuan dalam perjanjian damai yang dibuatnya dengan Palestina.
Apakah perang besar baru di Timur Tengah bisa dicegah? Kalau tidak kapan akan pecah, dan siapa saja yang akan terlibat? Tampaknya masih ditentukan oleh sejumlah faktor, khususnya sikap Uni Eropa, Rusia, dan China.
Wallahualam.
Dr. Muhammad NajibPengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: